"Melihat peta arah politk Taliban, maka isu mendasar bukanlah perubahan sistem pemerintahan dari rezim sebelumnya, melainkan sekadar rekontruksi pemerintahan yang masih tetap dalam kendali Amerika dan sekutunya, juga pion politiknya yang akan terus membungkam para pejuang mujahidin atau masyarakat yang menghendaki perubahan sistem."
Oleh. Maman El Hakiem
NarasiPost.Com-Sudah menjadi topik utama berita dunia. Taliban akhirnya mengambilalih kekuasaan di Afghanistan. Presiden resminya, Ashraf Ghani, kabur dari singgasananya di Kabul, Afghanistan. Terjadi ketakutan masyarakat saat Taliban kembali menguasai pemerintahan, setelah dua puluh tahun lamanya hidup dalam rezim boneka buatan Amerika pasca tragedi WTC (11/9/2001) Afghanistan menjadi sasaran serangan Amerika dengan isu Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Dalih perang melawan terorisme (war on terorism) menjadi alasan pembenaran tindakan brutal Amerika dan sekutunya menghabisi para pejuang mujahidin yang ada di Afghanistan.
Afghanistan adalah negeri kaum muslim yang terjajah, selain masih banyaknya pertikaian antarsuku, seperti Tajik dan Pashtun. Pasthun, suku mayoritas di Afghnistan yang mendapat dukungan Pakistan dari segi moril dan materil, tidak lain merupakan pion Amerika. Taliban dibentuk untuk menggantikan kekuasaan Gulbuddin Hekmatiyar karena kelemahannya dalam peseteruannya dengan kekuataan bersenjata pimpinan Ahmad Shah Masud dari suku Tajik pada tahun 1994. (Buku “Negeri-Negeri Kaum Muslim Yang Terjajah”, hal: 96)
Taliban berasal dari bahasa Pastho, artinya “murid”, kelompok milisi ini telah berhasil meraih tampuk kekuasaan, namun karena adanya pergeseran arah politik yang tidak dikehendaki tuannya dengan isu “Imarah Islamiyah” nya dan perlindungan terhadap Osama Bin Laden, menjadi alasan Amerika untuk menghabisinya. Namun, inilah perjalanan politik yang tidak lepas dari intrik dan kelicikan. Setelah dua puluh tahun Amerika melancarkan misi politik kerasnya, ternyata tidak membuahkan hasil, malah mengalami kerugian dengan banyak korban, setidaknya 2.400 prajurit AS tewas. (BBC News, 29/2/2020)
Amerika akhirnya meneken kesepakatan dengan Taliban di Doha (Qatar) untuk mengakhiri perang yang melelahkan tersebut, militer AS dipaksa untuk hengkang kaki dari Afgabistan. Namun, jika masyarakat cerdas membaca politik Amerika, tentu semua adalah siasat Amerika memenangkan pengaruh hegemoninya di tengah serangan ekonomi Cina. Amerika mengalihkan strategi perangnya menjadi negosiasi kepentingan ekonomi dan politik ideologis jangka panjang. Karena itu, kembalinya Taliban mengambil alih kekuasaan, tidak akan pernah lepas dari kebijakan politik Amerika, baik secara langsung maupun melaui pionnya di Kawasan Asia Tengah, seperti Pakistan yang sangat fleksibel.
Angin perubahan politik di Afghanistan masih harus diperjuangkan rakyatnya, terutama mereka yang benar-benar ikhlas ingin menerapkan aturan Islam secara kafah. Calon kuat presiden yang akan didaulat Taliban adalah Mullah Abdul Ghani Baradar, tahanan AS yang disimpan di Pakistan sejak tahun 2010 dan dibebaskan tahun 2018 sebagai bagian dari negosiasi antara Taliban dan AS.
Melihat peta arah politk Taliban, maka isu mendasar bukanlah perubahan sistem pemerintahan dari rezim sebelumnya, melainkan sekadar rekontruksi pemerintahan yang masih tetap dalam kendali Amerika dan sekutunya, juga pion politiknya yang akan terus membungkam para pejuang mujahidin atau masyarakat yang menghendaki perubahan sistem. Amerika akan memanfaatkan kepemimpinan Taliban dengan misi utamanya memenangakan persaingan ekonominya dengan Cina dan mengukuhkan ideologi kapitalismenya di negeri-negeri kaum muslim.
Ada catatan yang dilansir media, bahwa Taliban ketika memegang kekuasaan pada 1996-2001 menetapkan sistem yang ultrakonservatif. Di antaranya perempuan wajib mengenakan burkak, laki-laki harus berjenggot, tak boleh menonton televisi nonkeagamaan dan lainnya.
Menurut Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, di Qatar, Doha, mengatakan bahwa kali ini perempuan tak harus mengenakan burkak, tapi dia juga tak menyebut pakaian apa yang bisa diterima. Terpisah, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Ned Price, turut buka suara soal pendudukan Taliban. "Jika Taliban mengatakan mereka akan menghormati hak-hak warganya, kami akan mengawasi mereka dalam melaksanakan pernyataan," kata Price. (CNN Indonesia,18/8/2021)
Kekuasaan itu milik umat, namun arah perubahannya sangat ditentukan bagaimana pemahaman umat akan sebuah sistem kekuasaan yang bukan saja amanah dan meri'ayah umat, melainkan harus diselaraskan dengan hukum Allah Swt. Jika arah perubahan kekuasaan Taliban di Afghanistan masih saja mengekor pada kepentingan sistem sekuler kapitalisme atau sosialisme, maka negeri para mujahidin tersebut sesungguhnya masih terjajah.
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan” (TQS al-Anfal [8]: 24).
Wallahu’alam bish Shawwab[]