Sistem inilah yang mendasari kebijakan yang dikeluarkan penguasa. Berorientasi pada manfaat ekonomi semata. Rakyat pun semakin terjerumus dalam kesulitan hidup, sebab penguasa tidak serius dalam mewujudkan kesejahteraannya.
Oleh: Ahyani R. (Pemerhati Sosial)
NarasiPost.com -- Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja telah disahkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Masyarakat dan beberapa pengamat pertanian mengatakan bahwa pada sektor pertanian, beleid ini berpotensi menjadi polemik karena dinilai dapat memperluas impor pangan dan merugikan petani.
Sementara itu Erizal Jamal selaku tim pembahas UU Cipta Kerja klaster pertanian menyebutkan bahwa Presiden Jokowi memiliki visi untuk Indonesia salah satunya adalah membuka diri bagi masuknya investasi seluas-luasnya bagi terciptanya lapangan kerja dan itu dilakukan dengan memangkas hambatan investasi. Untuk mencapai visi tersebut Presiden Jokowi menginstruksikan deregulasi secara besar-besaran, karena banyaknya regulasi yang tumpang tindih dan merumitkan. Penyerderhanaan lalu dilakukan pada 77 undang-undang dan menata kewenangan pusat dan daerah melalui Omnibus Law UU Cipta Kerja salah satunya pada sektor pertanian (Republika.com, 24/10/2020).
Bagi negara, pertanian adalah salah satu sektor vital. Dia adalah tulang punggung bagi kemandirian pangan. Termasuk sebagai sumber pasokan kebutuhan hidup rakyat. Dengan fungsi tersebut, wajib bagi negara untuk hadir. Khususnya dalam menopang petani dalam pengelolaannya. Termasuk memastikan produk pertanian terdistribusi dengan baik kepada rakyat tanpa merugikan petani.
Inilah yang pernah dicapai di era tahun 80an. Ketika Indonesia menjadi salah satu lumbung pangan dunia. Sayangnya, kondisi ini tidak berlangsung lama. Krisis moneter 1998, membuat sektor pertanian ikut terpuruk. Ditambah kebijakan kapitalistik seperti konversi lahan, impor pangan besar-besaran menjadikan sektor pertanian semakin mengkhawatirkan.
Ironisnya, alih-alih mengevaluasi kebijakan, pemerintah justru menggelar karpet merah bagi investor. Keputusan ini seolah menyederhanakan bahwa masalah pertanian hanyalah seputar modal. Padahal jika digali, akar permasalahannya terletak pada kebijakan yang keliru.
Menyerahkan pengurusan pertanian pada investor, jelas orientasinya adalah profit semata. Korporasi pangan dengan mudah bisa menguasai lahan pertanian yang luas. Pada akhirnya petani bisa saja kehilangan lahan atau hanya akan menjadi buruh di ladang mereka sendiri. Jika dibiarkan, ketahanan dan kedaulatan pangan negara semakin sulit diwujudkan.
Hal ini menunjukkan bahwa negara hanya sebagai regulator bukan sebagai pelayan rakyat. Ini tak lain karena penguasa menggunakan paradigma kapitalisme neoliberal. Sistem inilah yang mendasari kebijakan yang dikeluarkan penguasa. Berorientasi pada manfaat ekonomi semata. Rakyat pun semakin terjerumus dalam kesulitan hidup, sebab penguasa tidak serius dalam mewujudkan kesejahteraannya.
Berbeda dengan pandangan Islam. Negara memposisikan dirinya sebagai pelindung sekaligus pelayan umat. Khalifah adalah pemimpin yang bertanggung jawab dalam mengurus rakyat. Termasuk dalam perkara hajat pangannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya" (HR Muslim).
Terlebih pertanian adalah sektor penunjang kemandirian pangan negara. Maka Khalifah memastikan pengelolaannya terjaga mulai dari sektor hilir yakni produksi sampai sektor pendistribusiannya.
Dari sektor produksi, negara akan menghentikan konversi lahan. Sehingga tidak terjadi defisit lahan pertanian. Khilafah juga akan menyokong petani dengan pemberian subsidi, baik untuk pengadaan bibit, pupuk, teknologi pertanian ataupun modal. Semuanya gratis tanpa riba. Demikian pula dalam teknologi pertanian. Khilafah akan memotivasi para ahli untuk berinovasi. Dengan kebijakan ini, produksi pertanian bisa dimaksimalkan.
Sementara, pada sektor distribusi, Khilafah menjaga dan memastikan agar hasil pertanian bisa sampai kepada konsumen. Infrastruktur dan sarana penunjang disiapkan Khilafah. Mulai dari jalan, jembatan, moda transportasi, gudang dll. Khilafah pun bisa membeli produk pertanian langsung kepada petani dan dapat didistribusikan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan. Sehingga penumpukan komoditi pertanian di satu daerah dapat tetap tersalurkan. Kerugian akibat tidak terserapnya hasil produksi yang sering dialami petani pun bisa dihindari.
Semua pembiayaan yang dibutuhkan dalam pengurusan pertanian ini bersumber dari Baitul Mal. Dengan sumber pemasukannya yang banyak dan beragam, serta ditunjang penerapan sistem ekonomi Islam, memungkinkan bagi Khilafah melaksanakan tanggungjawabnya dalam mengurus umat secara mandiri. Tanpa perlu bergantung kepada investor luar dalam pendanaannya. Sebab, Allah Ta'ala telah melarang memberikan jalan apapun bagi kaum kafir untuk menguasai orang-orang beriman sebagaimana firmanNya dalam QS. An Nisa: 141. Dengan begitu, kesejahteraan umat bukan hal mustahil untuk diwujudkan. Termasuk kedaulatan negara pun tetap terjaga. Wallahu a'lam.[]
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected].