"Demokrasi yang dianut oleh Indonesia menjadikan lahan subur bagi para mantan tikus negara untuk kembali menikmati surganya. Para tikus yang seharusnya dibasmi namun justru dipelihara."
Oleh. Deena Noor
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
Narasipost.Com-Penunjukan Emir Moeis menjadi Komisaris PT Pupuk Iskandar Muda menuai sorotan publik. Pasalnya, mantan anggota DPR dari fraksi PDI-P itu terbukti melakukan tindakan korupsi dalam proyek pembangunan PLTU di Lampung pada 2004 lalu. Pengadilan pun telah menjatuhkan vonis tiga tahun dan denda 150 juta rupiah padanya di tahun 2014 karena terbukti menerima suap sebesar 375.000 US dolar. Dengan jeratan kasus korupsi seperti itu, nyatanya Emir Moeis telah diangkat menjadi komisaris PT PIM sejak 18 Februari 2021 lalu. (kompas.com, 06/08/2021)
Publik patut mempersoalkan bagaimana seorang yang dulunya pernah menerima suap dan melakukan korupsi kemudian bisa dipilih menjadi pejabat BUMN. Seolah tidak ada orang lain yang lebih pantas menduduki kursi komisaris tersebut. Bagaimana rakyat bisa menaruh kepercayaan bila yang diserahi amanah mengurusi harta rakyat adalah mantan napi koruptor?
Inikah hasil nyata dari sistem demokrasi yang dijalankan selama ini? Tak mengapa mengangkat pejabat meski bekas penjahat. Bukankah ini justru menunjukkan kecacatan dari sistem itu sendiri?
Cacat Bawaan
Demokrasi yang merupakan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah lahir dalam kecacatan. Dengan kedaulatan rakyatnya, sistem ini menempatkan suara rakyat di atas segalanya, termasuk aturan agama.
Pada faktanya, suara rakyat juga tak terlalu didengar. Kedaulatan rakyat tak benar-benar terwujud. Segelintir elit politik telah menguasai kekuasaan. Aspirasi rakyat tak bisa diakomodasi oleh wakil-wakilnya di kursi pemerintahan. Beragam kebijakan dan aturan yang dibuat malah tak pro rakyat sama sekali.
Aristoteles menyebut sistem ini sebagai mobocracy atau pemerintahan segerombolan orang (rule of the mob). Negara yang menerapkanya sebagai sebuah bad state atau negara yang buruk. Model keterwakilan dengan segelintir orang mewakili mayoritas, akan sangat mudah berubah menjadi pemerintahan yang anarkis, rentan dengan berbagai konflik kepentingan dan pertarungan elit politik. Kalau Plato menyebutkan bahwa demokrasi melahirkan pemerintahan tirani. Ini yang kita rasakan sekarang.
Prinsip liberalisasi yang melekat dalam sistem ini memberikan ruang sebesar-besarnya bagi kebebasan individu. Artinya, siapa pun bebas melakukan apa saja yang diinginkan. Ekspresi dan aspirasi tanpa intervensi dari mana pun. Liberalisme yang amat diagungkan dalam demokrasi ini menurut Plato menjadi sumber masalah dan kegagalan negara yang menerapkannya. Tersebab mereka adalah orang yang bebas merdeka dan tak ingin dibatasi oleh apa pun.
Pada kenyataannya, tak semua orang mendapat ‘kebebasan’ yang sama. Hanya mereka yang punya kuasa atau menjadi kroni penguasa yang bisa menikmati kebebasan. Setidaknya yang tak mengganggu kepentingan penguasalah bisa ikut merasakan kebebasan tanpa batas.
Liberalisme absolut dalam sistem yang menafikan aturan Tuhan akan berjalan ke arah kerusakan. Manusia bebas membuat aturannya sendiri, tanpa campur tangan agama. Aturan dibuat untuk kepentingan sendiri. Egois, tak memikirkan orang lain. Karena itulah penyaluran kebebasan di tengah masyarakat liberal akan menimbulkan berbagai konflik dan kekacauan.
Ini yang kemudian memunculkan kecacatan berikutnya, yakni utilitarianisme atau asas manfaat. Dengan kebebasan yang dimiliki, prinsip mencari manfaat menjadi landasan perbuatan. Materi adalah tujuan. Untung-rugi menentukan apakah tindakan dilakukan atau ditinggalkan. Inilah hasil penerapan sistem sekularisme yang memunculkan berbagai kerusakan dan permasalahan. Demokrasi kapitalis liberal berakar dari pandangan kehidupan yang cacat. Sistem sekuler yang cacat melahirkan berbagai kecacatan.
Korupsi Hidup dalam Sistem Cacat
Dalam kasus pengangkatan mantan napi koruptor menjadi komisaris jelas mencerminkan rusaknya sistem yang tengah berjalan ini. Jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang digaungkan para pegiat demokrasi nyatanya tak lebih dari omong kosong belaka. Pada praktiknya, suara rakyat telah dikuasai oleh segelintir elit. Sekelompok kecil yang berkuasa ini dominan dalam menentukan suatu kebijakan.
Bila ditanyakan pada rakyat, tentulah mereka tak mau memiliki pejabat yang mantan koruptor. Sangat mungkin korupsi yang pernah dilakukan dahulu, akan diulangi lagi dengan berbagai dalih. Terlebih dalam sistem yang rusak seperti ini, menjadi lahan subur bagi korupsi untuk semakin menggila.
Korupsi bahkan tak terhenti di kala pandemi. Sebuah survei dari LSI (Lembaga Survei Indonesia) terkait persepsi publik atas pengelolaan dan potensi korupsi sektor sumber daya alam menunjukkan bahwa 60% dari responden menilai korupsi naik dalam dua tahun terakhir. Survei yang menggunakan kontak telpon responden ini dilakukan dalam jangka waktu antara Maret 2018 hingga Juni 2021. (detiknews.com, 8/8/2021)
Rakyat tak bisa memercayai bahwa sistem ini bisa menghentikan permasalahan seperti korupsi bila pejabatnya sendiri malah melanggengkannya. Emir Moeis yang merupakan anggota partai penguasa saat ini dan pernah terlibat kasus korupsi di masa lalu pastilah akan dilindungi. Bukan tidak mungkin untuk menutupi kasus-kasus lainnya yang bisa menyeret mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan.
Tentunya ada alasan genting kenapa sampai harus nekat mengangkat pejabat yang pernah menjadi napi korupsi. Alasan itu tidaklah jauh dari asas manfaat. Mencari keuntungan dan atau menghindari kerugian yang lebih besar lagi bagi kelompoknya. Hal seperti itu sudah bisa diindra oleh masyarakat.
Sudah jamak diketahui bahwa kasus korupsi yang terjadi selalu melibatkan banyak orang dalam lingkaran partai dan kekuasaan. Korupsi ibarat gurita yang mencengkeram pemerintahan ala demokrasi. Sistem pemilihan yang mahal membuka pintu bagi pemilik modal untuk ikut serta dalam jalannya kekuasaan. Demokrasi liberal menjadikan sistem ini dikuasai oleh para kapital, dimana uang menjadi penguasanya. Huey Newton, pemimpin Black Panther di tahun 1960-an pernah mengatakan bahwa, “Power to people, for thos who can afford it." (kekuasaan untuk mereka yang mampu membayarnya).
Kekuasaan dan kapital menjadi tak terpisahkan dalam sistem demokrasi liberal. Kekuasaan berlaku melindungi sumber kekuasaannya (uang/kapital) dengan segala cara. Sungguh, demokrasi adalah alat untuk melanggengkan kapitalisme. Kepentingan rakyat jelas tak ada di dalamnya. Itulah sebabnya protes dari masyarakat tak diindahkan sama sekali. Meskipun rakyat menolak keras pejabat eks napi menjadi komisaris perusahaan negara, mereka tak akan digubris karena tak sejalan dengan kepentingan penguasa.
Ini adalah bukti nyata bahwa sistem yang buruk ini hanya menimbulkan kerusakan dan permasalahan tiada henti. Maka tak heran bila solusi yang dihasilkan justru menambah kebobrokannya. Pemberantasan korupsi tak bisa diakhiri dalam sistem yang korup.
Beralih ke Sistem Sempurna
Pandangan hidup tertentu yang mendasari pemikiran manusia akan menentukan bagaimana melihat kehidupan. Pandangan hidup yang benar akan menghasilkan pola pikir yang benar dalam kehidupan. Begitu pula sebaliknya.
Pandangan hidup yang berlandaskan akidah Islam akan menghasilkan pemikiran yang sahih. Tersebab, akidah Islam hanya bersumber pada wahyu Sang Khalik. Aturan kehidupan berasal langsung dari Sang Pencipta. Ini sudah pasti benar.
Sedangkan akidah selain Islam sangat dipengaruhi oleh hawa nafsu manusia, yang notabene memiliki keterbatasan dan lemah. Sepandai apa pun manusia, tetap tak bisa menjangkau hal-hal di luar kemampuannya. Karena itulah, manusia tak layak untuk membuat hukum untuk hidupnya.
Demokrasi yang merupakan anak dari sekularisme, menyingkirkan agama dari kehidupan dan politik. Sistem ini tak ingin agama mengatur hidup manusia. Aturan dibuat oleh manusia sendiri menurut kepentingannya masing-masing. Sesuatu yang tampak jelas kekeliruannya. Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, rakyatlah yang membuat undang-undang dan hukum. Rakyat juga yang memiliki kekuasaan untuk memilih penguasa guna menjalankan undang-undang atau aturan yang dibuatnya sendiri.
Sementara Islam menjadikan kedaulatan berada di tangan syara,’ yaitu Allah Swt. Rakyat berhak memilih pemimpin yang tugasnya menjalankan amanah untuk menerapkan hukum-hukum Allah semata. Inilah kuncinya. Islam bukan hanya mengurusi masalah spiritual semata, tetapi juga urusan politik. Islam adalah agama dan mabda’ atau pandangan hidup. Ia memiliki akidah dan sistem kehidupan. Artinya, Islam tidak hanya tentang keimanan, namun juga sekumpulan hukum atau syariat yang mengatur seluruh aspek kehidupan.
Korupsi merupakan salah satu akibat penerapan sistem kufur buatan manusia. Pelanggaran ini pasti akan diselesaikan menurut sumber hukum Islam tadi. Penguasalah yang berhak mengadopsi hukuman seperti apa yang dijatuhkan kepada para koruptor. Selain juga menciptakan lingkungan kehidupan yang penuh dengan ketakwaan dan menutup celah terjadinya penyimpangan terhadap hukum syariat.
Secara praktis, pemberantasan korupsi bisa dilakukan sebagai berikut:
Pertama, penanaman iman dan takwa, khususnya kepada pejabat dan pegawai negara. Penguasa memberikan teladan dalam ketakwaan. Mulai dari awal hingga akhir, amanah dijalankan sesuai syariat Islam.
Kedua, sistem penggajian yang layak sehingga tak ada alasan untuk korupsi.
Ketiga, ketentuan dan batasan yang jelas tentang harta ghulul. Setiap harta yang diperoleh bukan dari pendapatan atau gaji yang ditetapkan untuk pejabat negara, maka dianggap sebagai harta ghulul yang hukumnya haram.
Keempat, pembuktian terbalik. Pendapatan pejabat dan pegawai negara harus diperiksa secara transparan. Harta mereka selalu diaudit untuk mengetahui bila ada ketidakwajaran dalam penambahannya.
Kelima, hukuman yang memberi efek jera. Sanksi ta’zir bagi koruptor bisa berupa pewartaan, denda, penjara hingga hukuman mati. Khalifah yang akan menetapkannya sesuai syariat.
Untuk itu, dibutuhkan adanya institusi negara yang menerapkan Islam secara kafah, yakni Khilafah Islamiyyah. Hanya daulah khilafah yang mampu mewujudkan kehidupan adil, sejahtera, dan makmur bagi seluruh warganya. Maka, berjuang untuk menegakkannya kembali adalah sebuah kewajiban yang sejatinya akan menyelamatkan umat manusia dari kehancuran.
Wallahu a’lam bish-shawwab[]