"Gaung "Merdeka" terus bergema namun faktanya Indonesia belum juga memiliki kemerdekaannya sendiri. Hakikat kemerdekaan suatu bangsa saat ruh kebangkitan bangsa ada. Namun faktanya Neoimperialisme masih mencengkeram kuat Indonesia."
Oleh. Atik Hermawati
NarasiPost.Com-"Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh". Itulah tema yang diusung pada HUT ke-76 RI ini. Tema ini disebutkan telah mendeskripskan nilai-nilai ketangguhan, semangat pantang menyerah untuk terus maju bersama dalam menempuh jalan penuh tantangan, agar dapat mencapai masa depan yang lebih baik. Selain itu, bentuk logo dalam lingkaran diartikan sebagai persatuan Indonesia.
Gempita menyambut kemerdekaan setiap tahunnya selalu menyisakan pertanyaan besar, benarkah negeri ini sudah merdeka? Apalagi di tengah wabah yang belum berkesudahan di tahun ini, rasa-rasanya kibaran merah-putih mewakili perasaan masyarakat yang berdarah-darah, juga putihnya melambangkan para pejuang yang gugur di tengah pandemi akibat hilangnya tameng peran negara.
Bagaimana tidak, fakta keterpurukan semakin jelas nyata di depan mata. Angka kemiskinan, kelaparan, kriminalitas, korupsi, hingga kezaliman bertubi-tubi dari kebijakan negara yang semakin tak tentu arah. Angka peringatan kemerdekaan yang bertambah tak berpengaruh pada Indonesia untuk lebih baik, justru semakin lemah dan rumit. Setiap jengkal wilayah kesatuan RI pun semakin berkurang di tengah gonjang-ganjing upaya separatis.
Bukan Lagi Penjajahan Kuno
Memang benar sebagian besar bangsa dunia telah merdeka dari penjajahan fisik. Tak ada lagi adu senjata ataupun lainnya. Perjuangan para pahlawan kita dahulu untuk memperoleh kemerdekaan ini, sungguh perjuangan yang besar yang harus kita syukuri. Juga harus kita pelihara kobaran semangat para syuhada dalam mengusir penjajah. Namun setelah penjajah 76 tahun 'hengkang', bangsa ini belum jua merasakan ketentraman. Eksploitasi dan 'perbudakan' masih kentara dirasakan, walaupun tak ada lagi kata rodi maupun romusha. Negeri gemah ripah loh jinawi ini tidak berdiri tegak secara mandiri. Asing-aseng menarik-narik dari berbagai sisi. Sumber daya alam hanya pemandangan yang dipunyai orang (asing-aseng), sehingga anak bangsa hanya kecipratan remahnya bahkan tak sama sekali. Lagi-lagi utang negara menggunung disebutkan sebagai usaha untuk menjamin kehidupan masyarakat. Masyarakat pula yang harus bahu-membahu membayar pajak yang semakin bermacam-macam rupanya.
Ya benar, penjajahan masih dirasakan. Imperialisme sejatinya ialah politik suatu bangsa/negara untuk menguasai bangsa/negara lainnya demi mengeksploitasi, baik SDM maupun SDA yang ada, demi kepentingan para penjajah.
Penjajahan kuno atau gaya lama dilakukan menggunakan kekuatan militer, menduduki suatu wilayah dan mengambil alih secara paksa, yang kemudian membentuk pemerintahan kolonial di tanah jajahan tersebut. Meskipun masih ada cara seperti itu, terkhusus di negeri tercinta Palestina, namun secara umum cara ini sudah ditinggalkan.
Penjajahan gaya lama atau penjajahan secara fisik sangat mudah membangkitkan perlawanan dari penduduk terutama umat muslim. Ghirah jihad begitu berkobar untuk mengusir penjajah dengan segenap jiwa dan raga. Tidak gentar maupun terlena dengan tawaran gencatan senjata. Estafet perlawanan para pahlawan tak berhenti sampai akhirnya diproklamisasikan kata merdeka. Saat itulah penjajah memulai cara baru untuk tetap menduduki negara jajahannya. Sebab sampai kapan pun penjajahan ialah metode baku negara-negara kafir Barat, terutama AS, untuk menyebarkan ideologi mereka. Ditambah pengusung ideologi sosialisme pun tak mau kalah, selalu beriringan menghantam negeri-negeri muslim lewat diplomasi busuk mereka.
Neoimperialisme (penjajahan gaya baru) itulah yang mencengkeram negeri ini maupun negeri-negeri muslim lainnya hingga saat ini. Penjajah hanya mengubah gaya mereka. Dari fisik beralih ke nonfisik. Sistem pemerintahan dan lainnya mereka susupkan ke negeri-negeri yang katanya 'merdeka.' Para penguasa tak lebih dari sekadar boneka yang dididik dan dioperatori, serta mengabdi dengan sepenuh hati kepada penjajah. Hingga akhirnya eksploitasi berjalan mulus dan lebih halus. Berbagai kebijakan menguntungkan para kapitalis menguasai SDA yang ada. Sistem politik, ekonomi, militer, sosial, pendidikan, dan semuanya dalam kenegaraan telah mewujudkan mereka untuk memberikan pengaruh dan kontrol pada negeri-negeri yang dijajah. Hukum-hukum yang diperbarui atau diubah tetap saja atas arahan mereka untuk tetap mempertahankan eksistensinya.
Neoimperialisme ini tentunya lebih berbahaya. Masyarakat dibiarkan terlena dengan berbagai narasi manis yang menyesatkan. Adu domba yang mengatasnamakan agama dan lainnya. Bahkan tak sedikit yang bangga dan merasa sedang dibebaskan dan dimajukan oleh 'penjajah'.
Fakta Kita Belum Merdeka
Rakyat ialah pemilik kedaulatan, begitu katanya dalam demokrasi. Dalam praktiknya, dari korporasi, untuk korporasi, dan oleh korporasi yang ssejatinya adalah para kapital penjajah. Penyusunan draf hingga pengesahan UU dijalankan untuk kepentingan asing-aseng, bukan masyarakat apalagi demi terlaksananya syariat Islam. Hubungan mesra penguasa-pengusaha terang-terangan mengorbankan hak masyarakat.
IMF, Bank Dunia, ADB, USAID, dan sebagainya menjadi penyumbang utang-utang negara yang kian menganga. Dengan utang ini pula, negeri ini semakin didikte dan cengkeraman hegemoni penjajah semakin erat. Jumlah utang semakin bertambah, bahkan sampai dikatakan bahwa generasi sampai tujuh turunan pun akan memikulnya. Belum lagi, hal ini pula yang menjadi semakin lebar terbuka keran produk impor maupun TKA masuk ke dalam negeri. Sebab pemaksaan dari negeri pemberi utang ialah keniscayaan dalam sebuah perjanjian utang berbasis riba tersebut.
Kriminalitas dan kemerosotan moral para pemuda bahkan anak berseragam SD begitu mengiris dada. Seolah-olah tak ada tempat aman untuk anak-anak bermain dan berkembang. Fun, food, film, and fashion telah digiring untuk membebek pada Barat. Dibalut nuansa 'romantis asia' demam Korea. Padahal tetap saja Barat menjadi trendsetter di baliknya. Tawuran, narkoba, pembunuhan, pornoaksi, dan sebagainya menjadi berita sehari-hari yang semakin meninggi.
Ya, dengan hegemoni asing-aseng, kata 'mandiri' belum ada sama sekali. Masyarakat berjuang sendiri tanpa pemerintah yang amanah mengurusi kebutuhannya. Korupsi menjadi hal lumrah di tengah himpitan kesulitan masyarakat yang semakin parah. Halal-haram tak lagi menjadi prioritas dalam memilah. Sehingga sudahkah kita merdeka? Apakah kita masih akan tetap diam saja atau bahkan bangga? Lalu dengan apakah kita bisa merdeka dengan nyata? Jawabannya ialah kita belum merdeka dan kita tidak boleh diam saja. Hanya penerapan aturan dari Sang Pencipta yang akan menentramkan manusia, yakni Islam yang total diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Baik politik, sosial, ekonomi, pendidikan, militer, dan lainnya. Sebab pada sistem ini, kedaulatan hanya pada Allah Swt yang aturannya memanusiakan manusia dan rahmat bagi seluruh alam.
Allah Swt berfirman,
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Surah al-Maidah [5]: 50).
Wallahu a'lam bishshawab.[]