"Islam semakin tersudutkan dengan berbagai polemik yang terjadi di Indonesia. Gema toleransi semakin bergaung dan memperkusi ketenangan Islam sebagai agama mayoritas untuk berdamai."
Oleh: Rindyanti Septiana S.H.I
(Pemerhati Sosial dan Politik )
NarasiPost.Com-Susahnya hidup tenang antarsesama umat beragama di negeri dengan corak sistem demokrasi sekuler. Mengapa demikian? Sebab sistem ini selalu menciptakan konflik antaragama, ada saja kelompok yang melontarkan “mantra” toleransi demi memuluskan kepentingan tertentu. Hal itu sebagai upaya memenangkan kelompok minoritas atas mayoritas.
“Mantra” toleransi akan selalu diucapkan jika ada batu sandungan yang menyulitkan berdirinya rumah ibadah dari kaum minoritas dan sulitnya mereka menjalankan ajaran kepercayaannya. Mantra tersebut seolah ampuh dan mampu menyelesaikan segala masalah mereka. Bagi yang menyulitkan urusan mereka atas semua hal tersebut, dengan mudah mereka akan katakan “kelompok intoleran tidak boleh ada di negeri ini”.
Bukankah negeri ini menjunjung tinggi persatuan atas nama Bhineka Tunggal Ika? maka tak boleh ada satu pun agama atau suku yang mendominasi. Semua memiliki kedudukan yang sama di mata hukum positif RI. Semua pernyataan itu sering didengar dan ditemukan oleh publik jika bersinggungan dengan masalah agama dari kelompok minoritas.
Salah satunya mengenai izin mendirikan bangunan (IMB) pembangunan Gereja Kristen atau GKI Yasmi di Colendek Barat Bogor, Jawa Barat yang telah lama menjadi polemik. Akhirnya, kini berujung pada pemberian surat izin IMB tersebut oleh Pemkot Bogor. Bima Arya Sugiarto yang merupakan Wali Kota Bogor menyerahkan dokumen IMB sembari mengatakan bahwa apa yang dilakukan ialah bagian dari simbol kebersamaan. (news.detik.com, 8/8/2021)
Bahkan ia mengatakan hal itu merupakan kerja keras seluruh pihak yang membangun komitmen menjalin keberagamana lewat dialog, proses hukum, mediasi, dan diskusi. GKI Yasmin mendapat IMB setelah keputusan Mahkamah Agung (MA), dianggap sebagai jalan keluar atas kasus toleransi beragama yang telah berlangsung selama 15 tahun. Kembali kaum minoritas harus memberi ruang bebas dan nyaman bagi si minoritas. Inikah bentuk toleransi yang diharapkan umat Islam?
Sengketa Panjang Antaragama dalam Sistem Sekuler
Butuh energi besar serta waktu panjang untuk menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan toleransi beragama dalam sistem sekuler. Sengkarut 15 tahun lahan GKI Yasmin berujung relokasi. Pemerintah Kota Bogor menghibahkan lahan seluas 1.668 meter persegi untuk pembangunan gedung rumah ibadah bagi jemaat GKI Yasmin.
Apakah dengan solusi relokasi lahan GKI Yasmin maka masalah selesai? Ternyata masalah tidak selesai, karena menurut Bonar Tigor Naipospos selaku Wakil Ketua Setara Institute, solusi tersebut bisa berdampak negatif ke depan terhadap berbagai kasus pelanggaran kebebasan beragama. Sebab putusan hukum diabaikan akibat ada tarik-menarik kepentingan untuk kemudian memuaskan kelompok paling besar yang jadi penentang. (bbc.com, 15/6/2021)
Maka jalan tengah penyelesaian konflik kebebasaan beragama GKI Yasmin dianggap hanya sebagai solusi politik yang mengabaikan putusan hukum tertinggi di Indonesia. Sementara itu, Pendeta Darwin Darmawan, sekretaris 1 Badan Pekerja Majelis GKI Sinode wilayah Jawa Barat mengatakan bahwa relokasi bukan solusi ideal dilihat dari sisi penegakan hukum. Melainkan solusi kompromi maksimum, optimum dan realistis.
Inilah sistem sekuler, selalu menawarkan solusi yang tidak menyelesaikan, tapi memiliki potensi memunculkan konflik kembali. Meski menurut Achmad Iman yang merupakan Ketua Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami), relokasi ialah solusi terbaik bagi kedua pihak. Lagi-lagi justru umat Islam yang dirugikan karena tidak didudukkan masalah sebenarnya berupa manipulasi oleh pihak nonmuslim demi mencapai tujuan mereka.
Mayoritas Muslim Selalu Mengalah Demi Toleransi
Toleransi yang selalu digembar-gemborkan oleh aktivis atau pegiat kebebasan beragama, tak ubahnya mantra sakti yang mampu membuat mayoritas muslim mengalah dan akhirnya harus menerima keputusan bersama. Padahal keputusan tersebut cenderung berpihak pada kepentingan kelompok minoritas. Mereka sebut mayoritas muslim harus menghormati mereka yang minoritas.
Mereka akan terus teriak intoleransi jika Islam menekan minoritas. Sementara, jika yang minoritas sebagai pelakunya tidak ada sebutan intoleransi, hanya disebut terjadi kesalahpahaman. Sikap yang berbahaya bagi umat Islam dan justru merugikan. Lalu, di mana peran negara sebagai pelindung dan penjaga kedamaian antarumat beragama? Nyaris tak banyak berbuat apa-apa selain mengambil jalan tengah alias kompromi. Ketidakberdayaan negara menyelesaikan berbagai kasus antarumat beragama menjadi gambaran bahwa penguasa gagal memberi rasa aman bagi setiap warga negara. Apalagi dalam menjalankan kewajibannya sebagai umat beragama.
Seharusnya, jangan menggunakan toleransi untuk menjadikan kaum muslimin menggadaikan keyakinan sendiri. Lalu atas nama toleransi pula justru ketenangan kaum muslimin dirampas karena harus mendahulukan kepentingan minoritas. Memberi ruang bebas untuk menjalankan ibadah bagi si minoritas tetapi malah mempersekusi atau membubarkan acara keagamaan dari sebagian gerakan Islam.
Hanya dalam Islam, Umat Beragama Hidup Rukun dan Tentram
Kerukunan dan kententraman antarumat beragama telah tercatat dalam sejarah kegemilangan Islam selama 14 abad lamanya. Di bawah payung Khilafah, ratusan ribu suku dan kabilah hidup damai dengan sikap toleransi yang luar biasa. Semuanya bersatu saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Salah satunya yang terjadi di Spanyol, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai dan tenang. Hal itu terjadi saat kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah. Mustahil itu terjadi pada kepemimpinan demokrasi sekuler. Malah yang terjadi perpecahan antarumat beragama dan tak becus menyelesaikan konflik atasnya.
Hanya Islam satu-satunya yang telah terbukti mampu merawat kerukunan umat beragama dalam naungan Khilafah. Seorang ulama dari Imam Mazhab Syafi’i bernama Al-Qarafiy pernah berkata, “ Sesungguhnya di antara kewajiban setiap muslim terhadap kafir dzimmi adalah berbuat lembut kepada kaum lemah mereka, menutup kebutuhan kefakiran mereka, memberi makan orang yang kelaparan dari kalangan mereka, memberi pakaian kepada mereka yang telanjang, mengajak mereka bicara dengan kata-kata yang lembut, menanggung penderitaan tetangga dari mereka semampunya, bersikap lembut pada mereka bukan dengan cara menakuti, bukan pula dengan cata penghormatan yang berlebihan. Ikhlas memberi nasihat kepada mereka dalam semua urusannya, melawan orang yang hendak menyerang dan mengganggu mereka, menjaga harta, keluarga, kehormatan, dan seluruh hak serta kepentingan mereka. Setiap Muslim bergaul dengan mereka sebaik mungkin dengan akhlak mulia yang dapat dia lakukan.” (Ad-Daulah fil Islam, Taqiyuddin An-Nabhani).
Semoga masa itu segera tiba, hingga kita dapat merasakan pula hidup tenang dan tentram berdampingan sesama umat beragama. Tak ada lagi sengketa berkepanjangan terkait rumah ibadah dan aktivitas ibadah agama masing-masing. Mau hidup tenang dalam naungan Islam? Caranya hanya satu, ikut serta memperjuangkan Islam sebagai aturan dalam kehidupan.[]