Pemimpin Ideal Tak Lahir dalam Sistem Kapitalisme Liberal

Mencari pemimpin yang adil, bertanggung jawab, dan membawa kepada kemakrufan dalam sistem kapitalisme ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.com-Menjadi pemimpin seperti dua mata pisau. Jika ia memimpin dengan kebaikan dan sesuai syariat Islam, maka surga balasannya. Namun, jika jabatannya disalahgunakan dan menzalimi rakyatnya, maka neraka tempat kembalinya.

Seorang pemimpin adalah panutan bagi yang dipimpinnya, ia harus mempunyai jiwa kepemimpinan tinggi, bertanggung jawab, mendahulukan yang menjadi tanggungannya, adil, dan yang terpenting pemimpin adalah orang yang selalu mengajak kepada kemakrufan, bukan kebatilan.

Pemimpin adil, mungkin kalimat ini adalah jeritan hati yang selalu rakyat Indonesia langitkan, di tengah pandemi yang semakin mengganas, perekonomian yang kian sulit, wakil rakyat negeri ini malah terjerat kasus razia. Sebagaimana yang diwartakan oleh cnnindonesia.com pada (08/80/2021) bahwa lima anggota DPRD Labura (Labuhanbatu Utara), terkena razia PPKM saat mereka dugem di tepat hiburan malam.

Mereka terazia bersama belasan orang lainnya. Tak hanya dugem dibarengi tujuh wanita, kelima anggota DPRD ini juga positif mengonsumsi narkoba. Dari 19 orang yang diperiksa, 2 negatif narkoba, 17 positif narkoba jenis ekstasi. Hal ini diketahui, ketika tim gabungan razia PPKM mendapati sisa pecahan narkoba saat penggerebekan terjadi. Jika tabiat wakil rakyat seperti ini, bisakah disebut pemimpin sejati?

Karakter Pemimpin dalam Sistem Kapitalis Liberalis

Sistem kapitalisme adalah sebuah pemikiran yang berasas paham sekuler, sistem ini tidak menolak eksistensi Tuhan, namun dengan tegas menolak aturan-aturan yang diciptakan Tuhan. Penganut kapitalis memandang bahwa manusia berhak membuat aturannya sendiri, dan hal ini terbukti. Aturan bak karet, bisa melonggar dan mengetat sesuai kehendak pemimpin.

Tujuan hidup yang diajarkan sistem ini pun hanya berkisar pada materi dan kemanfaatan. Maka tak heran, jika pemimpin dan wakil rakyat yang lahir dalam sistem kapitalis akan selalu mementingkan materi dan kekayaan duniawi.

Ideologi kapitalisme juga mengakui kebebasan manusia dalam berakidah, berpendapat, kebebasan pribadi, dan hak milik. Dari bebasnya hak milik, manusia dibenarkan untuk mendapatkan kekayaan dengan berbagai cara, seperti korupsi, suap, pencucian uang, dan mengobral sumber daya menjadi hal yang wajar dilakukan.

Sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat, beralih menjadi milik pribadi dalam sistem ini. Tentu, pribadi ini bukanlah sembarang pribadi. Namun, pribadi yang memiliki kapital (modal) hakiki. Rakyat tinggal gigit jari, hanya bisa memandang kekayaan alamnya dieksploitasi, tanpa mendapat ganti. Lagi-lagi, pelaku penjualan aset rakyat adalah pihak yang berkuasa.

Penguasa melunak terhadap pengusaha. Karena dari pengusahalah mereka mendapat kekuasaan. Bantuan modal mencalonkan diri, menjadi pengikat tunduknya penguasa pada pengusaha. Dalam hal ini, rakyat yang terkena imbasnya. Kekayaan negara dikendalikan oleh para pengusaha, kebijakan untung sebelah juga bisa penguasaha realisasikan, asalkan ada cuan, birokrasi dan administrasi tak menjadi hambatan. Inilah wajah pemimpin dalam sistem kapitalisme.

Sistem Rusak

Sistem kapitalisme dilihat dari lahirnya, sudah masuk pada kategori sistem yang rusak. Mengapa demikian? Sistem ini merupakan jalan tengah yang diambil, ketika perseteruan antara penguasa Eropa yang bertindak sewenang-wenang, menganiaya, memeras harta rakyat mengatasnamakan agama dengan para filosof dan cendekiawan.

Timbullah pergolakan di tengah masyarakat, masyarakat yang terwakili oleh para filosof dan cendekiawan mulai melawan kesewenangan penguasa. Hingga akhirnya di antara mereka ada yang tidak percaya dengan eksistensi Tuhan, sebagiannya percaya dengan adanya Tuhan, namun menolak campur tangan Tuhan dalam kehidupan. Mereka menganggap bahwa beragama adalah ranah pribadi antara dirinya dan Tuhan, bukan untuk publik. Kemudian muncullah sekularisme.

Sekularisme adalah ide memisahkan agama dari kehidupan. Agama dianggap tak layak mengatur kehidupan manusia. Manusia berhak bebas menentukan nasib dan peraturannya sendiri. Hingga, lahirlah mabda kapitalisme. Mabda ini bak hutan rimba. Mengagungkan kekayaan di atas segalanya. Pribadi atau kelompok yang punya modal besar, maka ia bisa menguasai tak hanya perekonomian, namun juga negara. Jadi, sejatinya negara-negara yang menggunakan kapitalisme sebagai ideologinya dikuasai oleh elit pengusaha.

Kerusakan kapitalisme tak hanya sampai di sini, asas mereka yang sekuler, menghilangkan sebagian naluri beragama manusia, dianggap sah ketika manusia memenuhi kebutuhannya dengan segala cara. Seolah mereka tidak mempunyai pengawas bagi setiap tindak-tanduknya. Penguasa dan pengusaha menjadi karib yang tak bisa dipisahkan. Segala aturan yang disahkan penguasa tak heran merupakan pesanan pengusaha.

Eksistensi keduanya mencapai derajat simbiosis mutualisme. Penguasa membutuhkan pengusaha untuk menjabat, sedangkan pengusaha membutuhkan penguasa untuk memuluskan rencana memperkaya diri. Tak jarang, aset-aset negara begitu mudah dilepas atas nama investasi, namun nyatanya yang untung adalah pengusaha, negara buntung, bahkan rakyat hanya berfungsi sebagai buruh dalam konspirasi penguasa dan pengusaha.

Pemimpin dalam Islam

Dalam Islam, memilih seorang pemimpin tidak boleh secara asal, apalagi hanya berdasarkan ketenaran dan kekayaan. Sekaliber Abu Dzar Al-Ghiffari, seorang sahabat yang terkenal kesalehannya saja, ditolak oleh Rasulullah ketika ia mengajukan dirinya untuk memeroleh jabatan. Semata karena Rasul paham jika sahabat tersebut tidak mampu mengemban amanah pemimpin tersebab sifatnya yang lemah.

Islam dalam sistem pemerintahan Khilafah, mempunyai kriteria untuk memilih seorang pemimpin/Khalifah. Dalam kitab ‘Ajihizah Daulah Alkhilfah fii Hukmi wa Al-Idaroh’ , seorang Khalifah wajib memenuhi tujuh syarat agar ia layak memimpin. Tujuh syarat ini adalah syarat legal bagi Khalifah.

Pertama, khalifah haruslah seorang muslim. Tidak sah jabatannya jika Khalifah diangkat dari orang nonmuslim. Sebab, pemerintahan adalah jalan yang paling kuat untuk menguasai orang-orang di bawahnya. Sebagaiana firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 141, yang artinya, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin.”

Kedua, jabatan Khalifah harus diisi oleh laki-laki. Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan. ” (HR. Bukhari)

Dalam hadis ini mengindikasikan jika seorang perempuan diharamkan secara mutlak untuk menjabat sebagai pengambil keputusan dalam pemerintahan. Namun, Islam tidak mengekang seorang perempuan untuk berkarir, yang dilarang hanya sebatas dalam urusan pengambil keputusan dalam pemerintahan.

Ketiga, baligh. Seorang Khalifah wajib sudah mencapai usia baligh. Khalifah haruslah seorang yang mukallaf, tidak sah jabatannya ketika ia belum baligh. Karena dianggap belum dewasa.

Keempat, Khalifah adalah orang yang berakal. Sebab, akal merupakan tempat pembebanan hukum, orang gila tidak akan bisa dibebankan hukum. Khalifah juga berkewajiban untuk mengurusi berbagai urusan pemerintahan dan melaksanakan syariat, dan hal ini tidak akan mampu dilakukan oleh seorang yang gila. Karena orang gila bukan mukallaf.

Kelima, adil. Allah berfirman dalam surah At-Thalaq ayat 2, yang artinya, “… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian…”

Khalifah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibanding seorang saksi. Jika seorang saksi disyaratkan bersifat adil, maka akan lebih utama jika seorang Khalifah disyaratkan mempunyai sifat yang adil.

Keenam, Khalifah adalah orang merdeka. Seorang budak tidak mempunyai kebebasan dalam urusan dirinya. Sedangkan seorang Khalifah mempunyai tanggung jawab mengurusi urusan rakyat, maka tidak sah jika Khalifah diangkat dari budak.

Ketujuh, Khalifah adalah orang yang mampu. Khalifah dituntut memiliki kemampuan dan kecakapan dalam mengatur urusan rakyatnya, orang yang lemah tidak akan mampu menjalankan urusan kekhilafahan. Jenis-jenis kelemahan ini adalah wewenang mahkamah mazhalim untuk menentukan, sehingga seorang Khalifah dijauhkan dari kelemahan dalam mengatur urusan rakyatnya.

Demikinlah kriteria pemimpin dalam Islam, ia mempunyai standar agar mampu dalam mengurusi urusan pemerintahan yang diembannya, ia juga diwajibkan untuk menjalankan syariat Islam secara totalitas. Melakukan amar ma’ruf nahyi mungkar dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Allahu a’lam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Dia Dwi Arista Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Ikoy-Ikoyan, Tren Meminta Versi Zaman Now
Next
Deadlock
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram