Pandemi Covid-19 memberikan bukti nyata bobroknya sistem kapitalisme dan sekularisme. Hanya sistem Islam yang bisa menormalkan lagi sebagai landasan bernegara.
Oleh. Merli Ummu Khila
(Pemerhati Kebijakan Publik)
NarasiPost.Com-Pandemi berkepanjangan hampir di seluruh dunia. Tidak ada satu pun negara yang sukses mengendalikan makhluk renik ini. Pemerintah mulai menyerah bahkan terkesan pasrah, menunggu pandemi berlalu seiring berjalannya waktu. Namun, kerusakan multidimensi yang ditimbulkan sudah tidak bisa ditoleransi.
Gelombang protes pun mulai merebak di berbagai belahan dunia, seperti Ghana, Pakistan, Tunisia, Prancis dan lainnya. Seperti dikutip oleh Republika.co.id, (5/08/2021), pengguna media sosial di Ghana bergabung di bawah tagar #FixTheCountry untuk menyampaikan aksi protes terhadap pemerintah. Tidak hanya di dunia maya, aksi ini meluas hingga dunia nyata berupa demonstrasi dengan menyerukan reformasi sosial dan ekonomi.
Aksi ini merupakan ekspresi kekecewaan kalangan muda Ghana atas kegagalan pemerintah menangani pandemi. Terpuruknya perekonomian diperparah dengan kebijakan pemerintah mengenakan pajak baru yang berimbas pada kenaikan harga kebutuhan pokok.
Begitu juga di Tunisia yang sedang bergejolak, pasca pemecatan Perdana Menteri Hichem Mechichi sekaligus pembekuan parlemen selama 30 hari oleh Presiden Kais Saied. Pemecatan dilakukan atas ketidakpuasan Saied atas kegagalan PM Mechichi dalam penanganan pandemi. Seperti diketahui, Tunisia mencatatkan rekor kematian akibat Covid-19 tertinggi di Afrika.
Aksi protes di berbagai negara di dunia dalam rangka menuntut tanggungjawab pemerintah yang sudah gagal dalam menangani pandemi tersebut menyiratkan sebuah tanda tanya besar. Apa yang salah dari tata kelola banyak negara tersebut? Jika saja salah individu yang memimpin, mengapa persoalan ini terus berulang dari rezim ke rezim? Jika masalahnya karena keuangan negara, tapi mengapa kegagalan terjadi bahkan di negara adidaya seperti AS dan Cina? Mari kita urai benang kusut yang membuat dunia seolah hilang harapan.
Uang untuk Kekuasaan, Kekuasaan untuk Uang
Tidak bisa dinafikan bahwa sistem kapitalisme sekularisme menjadikan kekuasaan adalah alat untuk meraih kekayaan dan popularitas. Seseorang rela "membeli" kekuasaan demi mendapatkan uang. Sungguh sebuah lingkaran setan antara uang dan kekuasaan. Dengan uang, seseorang bisa mendapatkan kekuasaan. Setelah mendapatkan kekuasaan, maka dia akan menghasilkan banyak uang.
Kekuasaan tidak lebih seperti bisnis. Yang kuat yang berkuasa dan yang berkuasa akan memiliki segalanya. Hal ini dikarenakan pemilihan pemimpin sistem kapitalisme menjadikan suara terbanyak adalah pemimpin terpilih. kualifikasi kepemimpinan tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Lalu, dengan cara apa calon pemimpin tersebut meraih simpati pemilih? tentu berbagai cara dilakukan, terlepas apakah secara fair atau dengan kecurangan.
Tengok saja pemilihan pemimpin negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, tidak bisa dipungkiri bahwa ambisi meraih tampuk kekuasaan adalah dengan menghalalkan segala cara. Kampanye hitam, propaganda, penggelembungan suara dan lain-lain. Kecurangan sudah mulai terlihat sejak masa kampanye hingga penghitungan suara.
Sekularisme Meniscayakan Ambisi Raih Kekuasaan
Kepemimpinan berpikir seseorang tergantung cara pandang terhadap tujuan hidup. Ketika seseorang menjadikan materi sebagai tujuan hidup atau cara pandang kapitalisme, maka bisa dipastikan semua aktivitasnya akan cenderung asas manfaat. Cara pandang inilah yang diadopsi oleh sebagian besar manusia tidak terkecuali para pemimpin negara-negara di dunia.
Begitu pula sistem bernegara yang diadopsi, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Kedua sistem ini terbukti membentuk sebuah tata kelola negara yang rusak lagi menyengsarakan. Dimulai dari sistem perekonomian yang didominasi oleh sektor nonriil, membuat distribusi kekayaan hanya berputar di segelintir orang saja. Hukum-hukum dibuat berdasarkan kepentingan kapitalis yang menjadikan pemimpin bak boneka.
Lalu ke mana arah perubahan? Apa yang diinginkan rakyat yang terus melakukan aksi menuntut keadilan? Bukankah kesengsaraan ini sudah bertahun-tahun dan terjadi di semua rezim? Jika tuntutan mereka dipenuhi, lalu apa solusi yang ditawarkan?
Jika hanya perubahan tataran rezim yang dituntut, maka sama hal nya ibarat mobilnya yang sudah rusak berat akan tetapi sopirnya yang diganti. Tidak akan ada perubahan selama kendaraan (dalam hal ini sistem) tidak diganti. Selihai apa pun sopir, dia tidak akan mampu menjalankan mobil yang sudah rusak berat.
Perlu Perubahan Revolusioner
Sebagaimana manusia yang berakal, hendaknya kita mau belajar dari kesalahan. Menyadari kekeliruan, mencari solusi yang sudah terbukti mampu memecahkan problematika hidup. Kapitalisme dan sosialisme sudah terbukti menyengsarakan. Ideologi buatan manusia terbukti sangat jauh dari kata sempurna. Solusinya pun akan tambal sulam.
Berbeda dengan sistem buatan penciptanya manusia, yaitu Al-Khalik. Sebuah paradigma kehidupan yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Setiap aktivitas dari kehidupan pribadi sampai kehidupan politik diatur secara rinci. Manusia tinggal menerapkannya saja. Bukti keberhasilan sistem ini pun bukan sekadar isapan jempol apalagi hanya teori belaka.
Sungguh tidak ada alternatif lain selain menjadikan Islam sebagai tuntunan kehidupan. Tidak ada yang bisa menandingi aturan Allah ta'ala sebagai Dzat Yang Maha Pengatur. Bukankah sebagai muslim kita dituntut untuk berislam secara menyeluruh? Maka, menjadikan sistem Islam sebagai landasan bernegara adalah implementasi dari keimanan seorang muslim.
Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta’ala berfirman:
“Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8).
Oleh sebab itu, ciri orang yang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan (baca: hukum) Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Wallahu a'lam bishshawaab[]