"Megahnya proyek infrastruktur Kereta Cepat Jakarta-Bandung hanya menjadi tontonan rakyat Indonesia yang harus menanggung beban tumpukan utang negara namun dinikmati investor asing."
Oleh. Ikhtiyatoh
(Pemerhati Kebijakan Pubik)
NarasiPost.Com-Di tengah karut-marutnya penanganan Covid-19, pemerintah justru ingin menambah utang demi pengoperasian Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Progress pembangunan proyek KCJB sampai minggu pertama bulan Juni 2021 dikatakan sudah mencapai 74,5%. Proyek patungan yang rencananya dioperasikan akhir tahun 2021 tersebut dikerjakan oleh tiga kontraktor. Satu di antaranya berasal dari Indonesia yaitu PT Wijaya Karya, sementara dua kontraktor lainnya berasal dari Cina yakni Cina Railway Group Limited dan Sinohydro Corporation Limited.
Anggaran Membengkak
Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, mengatakan pemerintah tengah melakukan negosiasi dengan Cina guna mendapatkan pinjaman untuk pengoperasian KCJB. Pinjaman dimaksud berasal dari China Development Bank (CDB) sebagai solusi atas cost deficiency (kekurangan biaya) pada awal pengoperasian KCJB nanti. Selain itu, ada potensi terjadinya cost overrun (pembengkakan biaya konstruksi) sebesar US$1,4 miliar – U$1,9 miliar. Lanjutnya, cost overrun terjadi akibat keterlambatan pembebasan lahan dan perencanaan yang terlalu optimis.(cnnindonesia.com, 8/7/2021).
Sementara itu, dikutip dari laman bisnis.tempo.co, biaya proyek KCJB pada awalnya sebesar US$6,071 miliar. Jika diasumsikan dengan kurs Rp14.564 per dolar AS, maka besar biaya sama dengan Rp88,4 triliun.
Membengkaknya biaya hingga 23% adalah akibat dari munculnya berbagai kebutuhan yang tidak diprediksi sejak awal proyek. Sesuai perjanjian, cost overrun ditanggung oleh konsorsium BUMN yang memegang 60% saham PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Sementara China Railway International Co Ltd sendiri memegang 40% saham (19/4/2021). Membengkaknya biaya hingga US$1,4 miliar – U$1,9 miliar merupakan jumlah yang cukup besar. Di saat puluhan ribu rakyat meninggal dunia karena terpapar Covid-19, pemerintah masih memikirkan infrastruktur. Mengambil utang demi proyek yang belum urgent di masa pandemi, tentu membuat masyarakat sakit hati. Mengingat, di saat bersamaan insentif nakes dan tagihan rumah sakit rujukan Covid-19 urung dilunasi.
Upaya Dilusi Saham?
Sebelumnya, Direktur Utama PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, Agung Waskito, juga mengakui adanya cost overrun sekitar 23%. Pemerintah melakukan upaya renegosiasi agar saham konsorsium empat BUMN Indonesia dibawah PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) berkurang dari 60%. Dengan demikian, PT PSBI menanggung cost overrun proyek KCJB lebih kecil. Dalam PT PSBI, PT Wijaya Karya memiliki saham terbesar, yaitu sebesar 38%. Saham PT Kereta Api dan PT Perkebunan Nusantara VIII masing-masing memiliki saham 25% sementara PT Jasa Marga sebesar 12%.(cnbcindonesia.com, 14/4/2021)
Jika renegosiasi saham berhasil dan terjadi dilusi (pengurangan) saham, maka berarti pula kekuasaan PT PSBI dalam pengambilan kebijakan di PT KCIC berkurang. Di sisi lain, proyek KCJB dikabarkan akan mendapat kucuran Penyertaan Modal Negara (PMN) di tahun 2022.
Dikutip dari laman money.kompas.com, Menteri BUMN, Erick Thohir, menyatakan proyek KCJB berhadapan dengan masalah peliknya pendanaan. Menurutnya, kondisi tersebut akan memperburuk kinerja keuangan sejumlah BUMN yang mendapat tugas menangani proyek tersebut. Oleh karena itu, Erick meminta persetujuan DPR untuk mengucurkan dana APBN melalui mekanisme PMN. Kucuran dana tersebut akan diberikan kepada PT KAI sebesar Rp4,1 triliun demi menutupi cost overrun (11/7/2021).
Padahal sebelumnya pemerintah berjanji proyek kerjasama tersebut tidak akan memakai uang rakyat melainkan memakai dana investasi. Memberikan kucuran dana PMN berarti tidak perlu ada pengembalian uang kepada negara. Sementara yang menikmati sebagian proyek tersebut adalah pemegang saham. Berarti pula bahwa China Railway International Co Ltd lebih banyak menikmati PMN tersebut.
Selain masalah keuangan, masyarakat terdampak berulang kali mengeluhkan proyek tersebut. Muncul bermacam masalah antara lain masalah drainase, kemacetan, rusaknya jalan, banjir hingga hilangnya sumber mata air. Proyek tersebut cukup mengundang kontroversi terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dari sini masyarakat mempertanyakan demi siapa proyek KCJB tersebut?
Serapan lapangan pekerjaan terhadap Tenaga Keja Asing (TKA) juga cukup besar. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, pernah mengungkap ada sekitar 2.000 Tenaga Keja Asing (TKA) dari Cina dalam proyek KCJB tersebut. Adapun pekerja lokal sebanyak 10.000 orang. Menurutnya, penggunaan TKA masih kecil dengan rasio 1:5 terhadap jumlah pekerja lokal. Penggunaan TKA tersebut sudah sesuai dengan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) pada keahlian dan jabatan tertentu. (cnnindonesia.com, 27/7/2020)
Haruskah rakyat Indonesia menjadi penonton di negeri sendiri? Proyek infrastruktur tersebut tampak begitu megah dan memakan anggaran cukup besar. Kekurangan anggaran diambil dari utang Bank Cina, pekerja dan teknologi didatangkan dari Cina. Saham yang dikuasai Cina pun cukup besar. Bahkan, pencantuman kata Cina di dalam nama perusahaan PT KCIC sudah menimbulkan banyak prasangka buruk. Akhirnya, masyarakat melihat proyek KCJB cenderung lebih menguntungkan perusahaan asing, dalam hal ini Cina.
Sementara itu, jika ada kekurangan biaya akan ditanggung negara. Dengan kata lain, cicilan utang pokok dan bunga proyek KCJB akan dibebankan kepada rakyat. Di saat yang bersamaan, dampak buruk lingkungan menyasar rakyat pribumi. Sungguh, di saat kondisi rakyat terengah-engah menghadapi Covid-19, utang proyek KCJB malah ditambah. Lalu, adakah yang bisa menjamin bahwa proyek KCJB tidak akan dijual seperti halnya proyek puluhan tol?
Pemimpin Bukan Penonton
Miris, puluhan ribu rakyat Indonesia meninggal karena terpapar Covid-19. Ribuan nakes selaku garda terdepan pun turut gugur. Namun, pemerintah belum juga mengambil kebijakan lockdown (Karantina Wilayah). Padahal kebijakan karantina wilayah sudah ada dasar hukumnya yaitu UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pemerintah lebih memilih kebijkan PSBB, PSBB transisi, PPKM, PPKM Mikro, PPKM Darurat hingga PPKM level 1-4. Masyarakat tak melihat ada perubahan kebijakan kecuali sekadar ganti istilah tanpa menyentuh akar masalah.
Rasulullah Saw pernah bersabda, “Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian serta yang senantiasa kalian doakan dan mereka pun selalu mendoakan kalian .” (HR. Muslim)
Bagaimana rakyat mampu mencintai para penguasa di negeri ini, jika kebijakan mereka tidak memihak kepada rakyat? Sebaliknya, kebijakan yang ada justru meninggalkan keluh kesah, ratapan dan tangisan rakyat. Andai saja para penguasa takut akan doa-doa rakyat yang merasa haknya tidak dipenuhi, merasa dizalimi dan dicampakkan. Karena doa-doa mereka sangat mudah terkabulkan. Jika para penguasa dan pejabat sadar bahwa kedudukan dan jabatan merupakan amanah, maka tidak akan berani membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Rasulullah Saw pernah bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah; dan sesungguhnya (jabatan) itu merupakan amanah, dan sungguh pada Hari Kiamat nanti jabatan itu menjadi sumber kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang memangkunya dengan benar dan mampu menunaikan apa yang telah menjadi kewajibannya.” (HR. Muslim)
Begitu besar amanah yang dipikul seorang penguasa. Tidak seharusnya para penguasa dan pejabat negara menjadi penonton melihat karut-marutnya kondisi yang ada. Oleh karenanya, menjadi penguasa sebuah negara tidak cukup memiliki kepribadian yang sederhana dan akhlak mulia, tetapi juga kemampuan dan kemerdekaan bagi seorang penguasa negara sangat penting. Kemampuan untuk mengurus segala urusan rakyat tanpa dikendalikan oleh pihak mana pun. Semoga pemimpin seperti itu segera muncul bersamaan dengan penerapan syariat Islam yang menyeluruh, sehingga rahmat bagi seluruh alam bisa terwujud. Amiiin. Wallahu’alam bish showab.[]