"Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu." (Al-Hadid: 20).
Oleh: Ana Nazahah
(Kontributor Tetap Narasipost.com)
NarasiPost.Com-Tak bisa dipungkiri makna kesuksesan hari ini, hampir mayoritas dinilai dari segi materi. Siapa yang paling kaya, paling cantik, paling pintar, paling gemerlap hidupnya, dialah sang pemenang. Gaya konsumerisme bak sosialita pun menjadi tuntutan. Tampil sempurna di depan orang-orang walau kantong 'menjerit' tak sanggup, tetap dilanggengkan.
Sebagian orang mungkin akan sangat iri jika tetangganya berhasil membangun rumah mewah, punya mobil dan berbagai fasilitas mutakhir lainnya. Jiwanya meronta agar bisa menyaingi dan melakukan hal yang sama. Ingin terlihat keren juga, fashionable layaknya sosialita. Berburu barang-barang branded, dan makan di restoran berbintang. Jika kekuatan finansial tak mendukung keinginannya, maka tak sedikit yang memilih bermuamalah dengan cara haram. Terlibat utang dan melakukan bisnis ribawi. Hampir mayoritas kita hari ini melakukannya. Gaya hedonis ini menjadi potret kehidupan sehari-hari.
Dan masalahnya adalah, bagaimana jika gaya hidup bak sosialita ini diikuti individu yang mengaku Muslim, terlebih bagi seseorang ditaraf ekonomi rendah? Gaya konsumtif yang masif dipertontonkan di dunia nyata maupun iklan telah membius umat untuk melakukan hal yang sama. Tanpa peduli hal tersebut di luar kesanggupan. Pertanyaannya, apakah Islam membolehkannya?
Wahai saudaraku! Standar hidup seperti ini jauh dari sikap Islami dan tak pantas ditiru Muslim. Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak menyukai kita hidup boros dan berfoya-foya. Apalagi membelanjakan harta hanya demi membanggakan diri agar dipuji manusia. Hal ini tidak sesuai dengan fitrah kita sebagai hamba. Pun tidak akan membawa pada ketenangan jiwa. Sikap hedonisme hanya akan membelenggu kita. Hidup hanya demi pemuasan nafsu sesaat.
Jika kita tetap memaksa mempertahankan konsumerisme sebagai gaya hidup, percayalah! Hal itu hanya akan membuat jiwa semakin tamak. Lepas dari keinginan satu lalu berpindah ke keinginan lainnya. Begitu terus sampai kita menutup mata. Tak akan puas. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam,
لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِيَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا وَلَوْ أُعْطِيَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
"Seandainya anak keturunan Adam diberi satu lembah penuh dengan emas niscaya dia masih akan menginginkan yang kedua. Jika diberi lembah emas yang kedua maka dia menginginkan lembah emas ketiga. Tidak akan pernah menyumbat rongga (mulut) anak Adam selain tanah, dan Allah menerima tobat bagi siapa pun yang mau bertobat.” (HR. Al-Bukhari No.6438).
Sebagai seorang Muslim kita seharusnya mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, dalam menjalani hidup dengan cara tertib dan bersahaja. Tertib di sini tentu saja dengan mematuhi segala kebaikan yang termaktub dalam seluruh syariat-Nya. Dan bersahaja adalah sikap tidak berlebih-lebihan, khususnya dalam membelanjakan harta. Karena perbuatan itu lebih dekat dengan pemborosan, yakni salah satu sifat setan. Sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27).
Jika kita mau sedikit bersyukur, maka kita akan menemukan diri kita dalam keadaan berkecukupan. Bukankah rumah yang kita punya hanya akan menjadi rumah tempat kita singgahi? Tak peduli atapnya terbuat dari apa. Beton cor atau dari anyaman daun rumbia. Bukankah fungsinya sama? Demi melindungi kita dari teriknya mentari dan hujan. Agar nyaman beribadah kepada-Nya.
Begitupun barang-barang lainnya. Kendaraan, hingga perabotan rumah tangga, cukup kita kembalikan sebagaimana fungsinya. Pakaian, tas, sepatu, bahkan berbagai perlengkapan dapur dan alat-alat memasak kita, semuanya cukup dilihat sebagaimana fungsinya. Jika kita membelanjakan harta kita pada benda-benda ini, sebagaimana fungsinya, jelas harta yang kita keluarkan akan sesuai kebutuhan. Dan hal ini akan membuat kita merasa puas tanpa harus berbuat melampaui kesanggupan.
Cukup beberapa tas, alas kaki, pakaian. Kendaraan, perabotan dan barang-barang rumah tangga yang kita butuhkan. Maka itu lebih dari cukup bagi kita, untuk mensyukuri setiap nikmat Allah. Tanpa harus memaksa memiliki hal-hal yang di luar kendali. Apalagi berfoya-foya dan berlaku boros dengan cara berutang. Sudahlah kita jauh dari kata puas karena hidup tanpa rasa syukur, harus menderita banting tulang demi membayar pundi-pundi yang kita habiskan karena mengejar status demi dianggap hebat.
Lantas apakah kita senang? Tentu saja tidak. Pasalnya, gaya hidup konsumtif ini tidak sesuai fitrah. Malah sebaliknya sikap konsumtif adalah proganda para Kapitalis untuk jualan barang-barang. Kapitalis menyusupkan ide busuknya, bahwa semakin konsumtif seseorang, maka akan semakin sukses. Ketika seseorang mampu menghasilkan materi dan hawa nafsunya terpuaskan. Maka bahagialah seseorang. Namun, saat seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan materinya, menurut penganut kapitalisme ini, maka seseorang itu dianggap menderita, lemah di hadapan kehidupan.
Kapitalisme inilah yang telah membius berpikir Muslim kebanyakan. Menjadikan standar perbuatan Muslim yang tadinya halal dan haram berubah menjadi kemanfaatan. Gaya hidup ini akan terus dikejar, meskipun "Besar pasak daripada tiang." Tak mengapa asal keinginan dan kehendak nafsu terpuaskan. Sifat mensyukuri terhadap rezeki yang Allah titipkan pun terlupakan.
Dan fenomena inilah yang ada di hadapan kita sekarang. Kita melihat bagaimana orang-orang telah mengikis habis sikap empati kepada sesama. Sikap konsumerisme telah melahirkan jiwa individualis dan sikap egoistik dalam bermasyarakat. Yang penting diri sendiri senang. Dalam ideologi yang menjunjung tinggi kebebasan, kesenangan individu adalah tujuan kehidupan.
Lantas sebagai Muslim, akankah kita menjadikan gaya hidup sekuler ini sebagai panutan? Haruskah seluruh waktu dan kesempatan hidup kita ini dihabiskan untuk mengejar kesenangan dunia yang tak berkesudahan? Lalu kapan kita memikirkan masalah keumatan? Membahas perkembangan dakwah Islam misalnya, ikut berpartisipasi dalam membela agama Allah, atau berkreativitas meramaikan peradaban dengan kemajuan sebagai generasi terbaik yang Allah sebutkan dalam Al-Qur'an.
Pada akhirnya, gaya hedon ini, tidak hanya membuat kita buta pada tujuan harta dibelanjakan, namun juga membuat kita lupa tujuan kita diciptakan. Karenanya Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengingatkan kita. Agar jangan terperdaya oleh kesenangan palsu.
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
"Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu." (Al-Hadid: 20).
Wahai saudaraku! Mengejar kesenangan semu itu sungguh melelahkan. Tak bikin hati tenang. Percayalah, sikap konsumerisme takkan membuat keren di mata Allah. Jika tidak beriman dan bertakwa, untuk apa? Mungkin kita akan terlihat keren di hadapan manusia, namun sayangnya, Allah tidak 'melihat' kita. Lalu untuk apa gaya hidup yang dipropagandakan Barat ini kita pertahankan?
Jika kita memang ingin dianggap berhasil dan sukses di mata Allah, bukankah sebaiknya harta kita dibelanjakan di jalan Islam? Membeli buku-buku untuk menambah tsaqafah Islam, misalnya. Kan bisa? Karena bukan hanya 'dianggap' di depan manusia saja yang butuh modal, demi dianggap oleh Allah pun kita butuh modal. Bedanya, jika modal yang kita habiskan demi memuaskan gaya konsumtif itu akan berakhir sia-sia, sedang modal yang kita habiskan untuk terlihat 'keren' di mata Allah itu akan mendapat pahala yang besar, yakni Jannah yang dirindukan seluruh manusia yang bertakwa.
Semoga kita adalah orang-orang yang bijak menggunakan harta. Tidak lagi terjebak oleh budaya konsumerisme yang memperdaya. Dimudahkan Allah dalam mempertanggungjawabkan harta yang kita belanjakan di dunia.
Wallahu a'lam