Keputusan Filipina untuk bekerjasama dengan AS disebabkan Cina tidak berhasil merebut hati rakyat Filipina. Sejatinya Kerja sama yang terjalin dengan negara-negara di kawasan ASEAN tak lepas dari persaingan hegemoni politik antara Amerika Serikat (AS) dan Cina di kawasan Asia Pasifik.
Oleh: Miladiah al-Qibthiyah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Filipina dan Amerika Serikat kembali memperbarui komitmen mereka demi mengokohkan kerja sama di berbagai bidang. Pertemuan antara Presiden Rodrigo Duterte dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin di Manila pada Kamis (29/07/2021) mengatakan kedua pejabat tersebut sepakat membuat aliansi Filipina dan AS melalui kerja sama dan peningkatan komunikasi yang lebih besar.
Dalam pertemuannya, Presiden Duterte berterima kasih terhadap bantuan AS dalam penanganan pandemi melalui pengiriman vaksin Covid-19 (COVAX Facility) di mana AS menjadi kontributor atau penyumbang terbesar. Sementara itu, Menhan Austin menegaskan keingingan kuat AS menjalin hubungan kerja sama dengan Filipina tidak lain sebagai mitra berdaulat yang sejajar. Tidak hanya bertemu Presiden Duterte, Menhan Austin juga dijadwalkan bertemu Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana dan Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin Jr.
Rupanya tak hanya Filipina, Menhan Austin sebelumnya telah mengunjungi beberapa negara ASEAN seperti Vietnam dan Singapura semata-mata demi memperkuat hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara.
Kontelasi politik dunia dengan berbagai entitas negara adalah sebuah keniscayaan. Hal ini semakin dikokohkan dengan jalinan kerja sama diberbagai bidang hingga nampak munculnya hubungan timbal balik dengan alasan menciptakan harmoni antarpenduduk dunia. Akankah memberi angin segar di tengah memanasnya tatanan politik dunia global?
ASEAN hanya Medan Pertarungan Hegemoni AS-Cina
Kerja sama yang terjalin dengan negara-negara di kawasan ASEAN sejatinya tak lepas dari persaingan hegemoni politik antara Amerika Serikat (AS) dan Cina di kawasan Asia Pasifik. Bagaimana tidak? Kawasan ini dinilai memiliki letak yang sangat strategis bagi pertarungan geopolitik, sekaligus menjadi medan pertarungan megakapitalis global yakni asing dan aseng.
Hal ini semakin diperkuat dengan keputusan Presiden Duterte dalam pertemuannya dengan Menha Austin yang akan melanjutkan pakta internasional yang menginjak usia 22 tahun itu, yang secara umum dikenal sebagai Visiting Force Agreement (VFA).
Para analis mengatakan, Filipina menetapkan keputusan memulihkan Pakta Pertahanan dengan Amerika Serikat (AS) disebabkan karena Cina dinilai belum memberi sumbangsih cukup banyak kepada negara Asia Tenggara untuk mempertahankan persahabatan atau mencuri hati rakyat Filipina.
Selain itu, para pakar juga mengatakan bahwa Duterte yang menjabat sejak 2016 lalu, menyadari bahwa Cina tidak akan memenuhi janjinya untuk memberi investasi sebesar $33 miliar kepada negara di kawasan Asia Tenggara yang notabene haus infrastruktur serta mengalami pertumbuhan yang sangat cepat.
Sebenarnya, pertarungan hegemoni AS-Cina disebagian besar wilayah dunia semakin nampak ketika dua negara berebut kekuasaan untuk mengambil hati rakyat di kawasan Asia Pasifik. Artinya, tiap kali ada hubungan kerja sama di kawasan ini, kita akan melihat adanya perusahaan-perusahaan besar dari negara maju yang memegang kendali penuh dengan kedok kerja sama dengan negara-negara ASEAN. sehingga, baik AS ataupun Cina, sama saja.
Pengaruh Hegemoni Tak Akan Bisa Mandiri
Negara yang mandiri akan membutuhkan pengorbanan yang besar pula. Jika negara-negara sasaran megakapitalis global (Barat-Timur) terus berdalih minim kecanggihan alat dan teknologi serta minim sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dalam mengelola potensi negara, pun dana untuk mengeksplorasi negeri sendiri, sementara biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Maka, keadaan semacam ini menjadi momen yang tepat bagi negara kapitalis global untuk menggaet kerja sama dengan negara-negara posisi strategis, seperti yang ada di kawasan Asia Pasifik.
Sebagai contoh, ketika negara hendak mengeksplorasi kekayaan mineral atau yang lain, mereka pesimis untuk melakukannya secara mandiri. Negara berkembang seperti Indonesia misalnya, akan membuka kran investasi secara jor-joran bagi negara maju yang dinilai mampu berinvestasi besar-besaran. Seperti Exxon Mobile, negara sepenuhnya menyerahkan perusahaan pengeboran milik Amerika Serikat untuk bekerja sama mengelola kawasan Laut Cina Selatan.
Padahal, fakta SDM yang ada di kawasan ASEAN bisa dibilang memiliki banyak SDM murni. Sebut saja Indonesia. Indonesia melahirkan ribuan sarjana setiap tahunnya. Bahkan untuk kepakaran sektor migas, Indonesia memiliki kampus khusus jurusan migas. Artinya apa? jika berbicara perihal SDM, Indonesia sebenarnya mumpuni.
Terkait dengan alat teknologi dan dana, tidak dipungkiri membutuhkan alokasi dana yang cukup besar dan mahal. Hanya saja negara terjebak dengan salah kelola potensi yang ada. Hal ini diperparah dengan ketidakberanian negara mengambil risiko. Apalagi jika terlilit utang yang semakin menggunung, membuat negara semakin pesimis untuk menjadi negara yang mandiri dan berdaulat.
Hubungan Diplomatik ala Rasulullah
Perjanjian internasional dalam sudut pandang kapitalisme berbeda dengan Islam. Dalam Islam, hubungan dan perjanjian internasional dijalin untuk menegakkan hukum-hukum syariat demi keamanan dan ketertiban dunia. Dunia yang diisi oleh beragam etnis, suku, budaya, dan keyakinan dipastikan dapat hidup tenteram dan damai tanpa penindasan dan intimidasi.
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam adalah representasi sosok Negarawan. Beliau memegang prinsip dasar atau fundamental dalam jalinan kerja sama antarnegara adalah menghormati pakta dan kesepakatan internasional. Ketika telah terikat perjanjian maka tidak boleh bagi kubu muslim melanggar perjanjian yang telah disepakati tersebut. Sebaliknya, bila pihak kedua belah pihak melanggar kesepakatan perjanjian, maka kaum muslim berhak keluar dari kesepakatan tersebut.
Rasulullah Saw. telah berhasil mempraktikkan hubungan diplomatik luar negeri. Beliau menerapkan kebijakan luar negeri disesuaikan dengan identitas dan karakter setiap negara. Identisas itu di antaranya sebagai berikut:
Pertama, negara muslim. Prinsip kerja sama antarnegara muslim dilandasi pakta bahwa sesama Muslim adalah bersaudara. Perbedaan entitas, suku, bahasa dan ras, bukanlah hambatan. Dalam suatu hadis ditegaskan bahwa semua muslim di dunia adalah satu padu dan tiap-tiap dari mereka berhak mendapatkan jaminan perlindungan serta keamanan. Rasulullah Saw. menegaskan, “Kami telah melindungi orang yang engkau lindungi, duhai Ummu Hani.” Bahkan, Khalifah Umar bin Khatthab meneladani sikap Rasulullah ini. Ketika itu, Khalifah Umar pernah menerima jaminan perlindungan dan keamanan yang diajukan oleh budak untuk penduduk di wilayah Irak.
Hubungan kerja sama yang terjalin di antara sesama muslim dilandasi oleh keimanan pada Allah Swt. Bila salah satu atau bahkan kedua negara berpindah agama, maka hubungan kerja sama bisa dinyatakan rusak. Ketika suatu saat terjadi penyerangan oleh pihak murtad, maka negara muslim yang ada di belahan dunia lain berkewajiban menolong negeri yang diserang. Bahkan, membantu mewujudkan perdamaian di antara pihak yang saling bermusuhan.
Kedua, hubungan kerja sama dengan negara kafir mu'ahid. Perjanjian dengan negara nonmuslim ini dijalankan atas dasar pemenuhan kewajiban dan hak. Apa pun kewajiban dan hak dari nonmuslim yang tertera dalam pakta, maka akan dihormati dan dijaga sepenuhnya, seperti perlindungan dan keamanan untuk mereka selama tidak menimbulkan kerugian dan mengancam kedaulatan negara.
Apabila telah berikrar memberikan perlindungan dari ancaman pihak luar, maka negeri muslim wajib menunaikannya. Namun, bila kemampuan itu tak lagi dimiliki, maka jizyah yang telah dibayar harus dikembalikan. Komandan perang Khalid bin Walid pernah melakukannya ketika tak lagi mampu menjamin perlindungan kepada Nasrani Homs dari serangan Raja Heraclius dari Bizantium. Khalid bin Walid sebagai panglima Islam terdepan mengembalikan jizyah yang pernah dibayar oleh nonmuslim.
Ketiga, terhadap negara kategori muhariban fi’lan. Maka, haram secara mutlak menjalin kerja sama dalam bentuk apapl pun. Sebab, negara ini kedudukannya adalah sebagai kafir harbi fi’lan yang dengan nyata memusuhi dan selalu menabuh genderang perang terhadap kaum muslim. Negara ini tidak pernah berhenti hingga kaum muslim tunduk padanya. Maka, Rasulullah mengharamkan berkawan dengan menjalin hubungan kerja sama dengan negara yang menjadi musuh umat Islam. Bahkan, Rasulullah memerintahkan untuk memerangi mereka.
Tampak jelas bahwa hubungan diplomatik yang dilakukan oleh Rasulullah bukan semata demi meraih keuntungan atau menindas negara lain dengan menjarah harta kekayaan mereka sebagaimana yang dilakukan kapitalisme global hari ini. Hubungan diplomatik ini dilakukan demi menjaga keamanan dunia serta jauh dari permusuhan antarnegara.
Islam tidak serta merta menjalin hubungan dengan negara-negara luar selain karena syiar dakwah dan menggalang kekuatan umat demi kokohnya peradaban Islam. Maka, hukum syariat akan selalu menjadi landasan dan pertimbangan utama dalam menetapkan suatu kebijakan, seperti hubungan diplomatik terhadap beberapa kategori negara yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan negara Khilafah. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]