"Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka." (HR. Ibnu Hibban)
Oleh. Uqie Nai
(Member AMK4)
NarasiPost.Com-Awal Juni 2021 lonjakan kasus terpapar Covid-19 hingga dikabarkan meninggal begitu mengejutkan, namun pertengahan Juli beritanya tak lagi santer. Usut punya usut, data harian kasus Covid-19 yang diinformasikan ke tengah masyarakat bukanlah data sebenarnya. Hal ini sontak menuai reaksi dari beberapa pakar epidemiolog dan pemantau Covid-19.
Dikutip dari laman koran.tempo.co (22/7), berbagai kalangan, termasuk epidemiolog, dan pemantau pandemi menduga pemerintah telah mengurangi jumlah pengetesan sehingga angka harian Covid-19 seakan menurun.
Menurut pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, mengatakan ada sejumlah pemerintah daerah yang mencoba menyembunyikan kasus kematian akibat terinfeksi corona. Padahal cara ini tak akan bisa menutupi rasio kasus positif dan tingkat kematian harian yang masih tinggi.
Begitu pula inisiator lembaga pemantau wabah, Irma Hidayana, telah sering meminta pemerintah untuk lebih jujur dalam urusan data Covid-19. Pihaknya, melalui LaporCovid-19 berulangkali mengingatkan pemerintah perihal pentingnya transparansi data sejak pandemi muncul pada Maret tahun lalu. (koran.tempo.co, 22/7/2021)
Manipulasi Data adalah Praktik Kegagalan Sistem Kapitalisme
Penuntasan wabah hingga berkurangnya jumlah kasus positif adalah tanggung jawab pemerintah untuk segera merealisasikannya. Sebab, sejauh ini program nyata yang dilakukan hanya berkutat pada kebijakan parsial dengan melindungi kepentingan pengusaha melalui produktivitas di sektor ekonomi nonriil, bukan melindungi nyawa rakyat. Pemerintah enggan menggelontorkan dana secara maksimal untuk kebutuhan warganya, meski dalam kondisi PPKM atau isoman sekalipun.
Sikap ini memang tak asing dijumpai dalam era kapitalisme. Hubungan negara dan rakyat hanyalah hubungan transaksional belaka. Rakyat dianggap tak memberi keuntungan secara materi jika negara mengeluarkan dana yang besar untuk mereka, berbeda halnya ketika pengusaha dan pemodal butuh kucuran dana. Deal-deal politik begitu mudah berjalan tanpa embel-embel berbelit karena sarat laba dan konsep simbiosis mutualisme. Tak heran pula jika pada akhirnya kegagalan menangani wabah harus ditutupi dengan cara tak terpuji, semisal manipulasi data atau pengalihan isu.
Indonesia seharusnya berkaca pada negara lain di luar sana. Meski sama-sama penganut paham demokrasi kapitalisme, tapi keinginan untuk mengatasi Covid-19 begitu serius. Tak ragu menerapkan lockdown, memberikan pelayanan kesehatan secara gratis dan mencukupi kebutuhan masyarakat dengan ketersediaan pangan memadai. Alhasil, ada beberapa negara berhasil menekan laju kasus positif, bahkan ada pula yang hingga kini diberitakan nol positif, seperti Korea Utara, Kiribati, dan Turkmenistan.
Ketidakmampuan mengatasi wabah bermula dari abainya negara terhadap virus corona. Banyak pejabat bersikap meremehkan dan mengatakan jika virus tak akan masuk ke Indonesia. Lalu membiarkan warga dari sumber virus berasal melenggang masuk, dibukanya akses wisata, fasilitas kesehatan tak memadai, protokol kesehatan tak tersosialisasi, akhirnya Covid-19 menumbangkan satu-persatu penduduk Indonesia hingga kolapsnya RS, terpuruknya perekonomian, karut-marut dunia pendidikan, PHK massal, meningkatnya kasus kriminal, dana bansos salah sasaran bahkan dikorupsi. Dalam kondisi genting ini pun rem darurat tak mau diambil, enggan akui kegagalan, PSBB dan PPKM masih diangggap sebagai solusi tepat meski rakyat sekarat. Astaghfirullah!
Pandangan Islam tentang Tanggung Jawab Hakiki Pemimpin
Meskipun terdapat keberhasilan di beberapa negara, namun tak bisa dijadikan sebagai tolak ukur bahwa kepemimpinan dalam landasan demokrasi kapitalisme layak dipertahankan. Sistem ini bertentangan dengan hukum pemilik kehidupan, Allah Azza wa Jalla, dan dan tak sesuai dengan fitrah manusia.
Dalam syariat Islam, seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya. Kebijakan yang dikeluarkannya pun bersifat terpusat. Demikian pula database kependudukan (warga negara) yang dimiliki negara terformasi secara akurat di tangan para pegawainya yang handal dan taat syariat. Sehingga data fiktif atau penipuan tak akan terjadi.
Baginda Nabi Muhammad Saw. bersabda:
"Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka." (HR. Ibnu Hibban)
Pemimpin negara bersama kepala daerah akan bahu-membahu mewujudkan kenyamanan masyarakat sesuai aturan syara'. Menetapkan lokcdown syar'i untuk kondisi wabah, memastikan stok pangan memadai, logistik dan sarana kesehatan tersedia, dan penyaluran langsung bantuan individu per individu masyarakat secara cepat dan tepat. Semua ini adalah keniscayaan terwujud karena arahan syariat begitu tegas.
Allah berfirman:
"…Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan semua manusia…" (TQS. al-Maidah:32)
Pemimpin dalam sistem Islam tak akan ragu meminta maaf dan tak malu dikritisi jika pelayanannya salah dan menyimpang. Ruang amar makruf nahyi munkar sedemikian lebar, hingga kesalahan kecil pun mudah segera terdeteksi. Maka, implementasi sabda Nabi Saw. begitu tergambar jelas dalam sosok dan ri'ayahnya.
"Al-imam adalah raa'in (pengurus). Dan ia bertanggung jawab atas apa yang menjadi tanggungannya (rakyat)." (HR. al-Bukhari)
Demikianlah urgensitas adanya pemimpin dan institusi penerap syariat. Praktik curang, pencitraan hingga karut-marut urusan publik tidak akan dijumpai dalam institusi ini. Fungsi pengurus dan pelayan umat merupakan kerja nyata, bukan kaleng-kaleng. Wallahu a'lam bi ash Shawwab.[]