"Harta yang kukirim padamu tiap bulan, itu hanya sebagian syariat Allah yang kujalankan. Bagaimanapun, kau darah dagingku, Nak. Aku punya kewajiban bertanggung jawab atas tumbuh kembangmu."
Oleh : Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-"Ayah gak usah mengaturku. Aku punya jalan hidup sendiri. Aku gak mau kayak ayah, radikal!"
Suara Fredy meninggi saat sang ayah bertanya ihwal teman kencannya. Fredy merasa ayahnya akan ikut campur dalam ranah pribadinya. Dia semakin kesal tatkala melihat ukiran senyum tersungging di bibir ayah. Senyum itu terasa sangat mengacaukan jiwa. Antara kebencian dan kerinduan berkecamuk dalam benak pemuda itu.
Kepulangan Fredy ke Indonesia atas titah sang mama. Jalan hidup mereka berseberangan dengan sang ayah. Itulah yang membuat dia hidup terpisah dengan ayahnya. Sejak perceraian ayah dan mama, kekacauan demi kekacauan menyapa Fredy tanpa henti. Bagaimana dia harus menumpahkan air mata saat mama bersikeras mengajukan surat cerai, momen itu begitu terasa menyakitkan.
Memori Fredy menelusuri tiap potongan episode kesedihan dan kenestapaan hidup. Fredy menjumpai banyak kepahitan sejak terbang ke Holand bersama mama. Di sana, sang mama justru terjerumus dalam liarnya arus kehidupan bebas. Setiap malam, pengaruh alkohol menemani sang mama. Jiwanya terguncang atas masalah yang berdatangan. Fredy tumbuh dalam sengitnya perang batin yang menimpa.
Lambat laun, setelah seratus purnama lebih, dia terbiasa dengan kehidupan sang mama. Alkohol seakan menjadi kebutuhan. Pesta dan klub malam menjadi tongkrongan yang nyaman. Fredy remaja tumbuh dalam arogansi gaya hidup bebas tanpa batas di Belanda, hidup dalam asuhan mama.
Setiap bulan, Fredy menerima surat dari ayahnya. Namun, surat itu hanya sekilas hinggap di tangan. Setelah itu, dia masukkan ke dalam kotak ukir kesayangannya. Dia malas membaca surat sang ayah. Baginya, ayah adalah penghancur masa depan. Hidupnya kacau berantakan karena lelaki itu menjadi orang yang fanatik dan radikal. Stigma tentang ayahnya terhujam dalam jiwa. Itulah yang diberitakan media, bahkan sempat menjadi head line berita.
Perubahan sang ayah tak direstui mama. Titah sang ayah agar mama berhijab tak digubris, justru mama memilih mengakhiri ikatan suci di usia yang ke-10. Pukulan yang sangat menyakiti hatinya. Kebencian pada ayah mulai tumbuh sejak saat itu.
"Mungkin kauanggap Ayah ini musuhmu. Tapi ayah senang karena kau masih berkenan memanggilku Ayah, Nak," kata sang ayah mengembalikan memori. Fredy berusaha mengingkari ketulusan dan keteduhan wajah sang ayah saat menatapnya. Fredy pun berupaya sekuat tenaga mengingkari senyum indah yang terlukis untuknya. Batin pemuda itu berkecamuk, antara rasa rindu dan benci yang menjadi satu.
Ayahnya tetap bertanggung jawab atas nafkah. Rutin Fredy menerima jatah bulanan plus surat yang tak pernah dibaca. Hingga awal bulan di musim panas, dia disuruh sang mama pulang ke Indonesia karena sang mama menikah. Sungguh, gemerlap kehidupan sang ayah di masa silam tak sedikit pun ditemukan. Jiwa rocker sang ayah telah usang dan berganti seperti ulama.
Fredy melangkah gontai ke kamar. Entah mengapa kata-kata sang ayah bergema. Bagaimana mungkin dia tidak memanggilnya ayah. Meski rasa benci berkubang di jiwa, ayahnya tidak brengsek seperti para lelaki yang singgah dalam kehidupan mama sejak bercerai. Terlebih, di rumah kecil ini dia diperlakukan begitu baik, penuh hormat layaknya tamu agung.
Ibu tiri yang dipanggilnya ummi sangat perhatian. Ketulusan terpancar dari raut wajah dan perilaku wanita itu. Segala kebutuhan makan dipenuhi, bahkan pakaian pun dicuci. Dia merasa seperti anak kecil lagi, serba dilayani. Tak pernah hinggap dalam ingatannya sebuah kenyataan bahwa mama pernah mencuci pakaian seperti Ummi.
Perlakuan ayah padanya juga sangat baik, terlewat baik. Meski Fredy sering ketus pada ayah karena merasa diinterogasi, ayah hanya tersenyum, lantas menyuruhnya istirahat. Ah, potongan peristiwa berkelindan mengguncang nalurinya, guncangan itu terasa hebat.
Suara kenari dan ayam jago ayah begitu ramai. Fredy mengerjapkan mata sembari mengambil weker. Masih jam tiga dini hari waktu Indonesia bagian barat. Entah ada dorongan apa, rasa kantuk hilang seketika. Lamat-lamat dia mendengar suara yang sering dia dengar dulu waktu kecil dari guru ngajinya. Suara ayah yang terbata-bata berdansa dengan serak tatkala merapalkan doa.
"Hamba datang dalam keadaan hina, Ya, Rabb! Engkau mengetahui kerdilnya hamba yang lalai dalam mendidik dan mengasuh putra hamba. Ampuni hamba, tunjukilah putra hamba ke jalan-Mu yang lurus!"
Jantung Fredy berdegup lebih kencang mendengar doa itu. Hatinya berdebar-debar saat lafaz Allah berulang kali ia dengar. Lama sekali ia tak pernah mendengar lafaz itu sejak kasus perceraian orang tuanya. Mama membawa dia jauh dari kehidupan agama. Sekularisme telah ditancapkan oleh sang mama dalam setiap cermin perilakunya.
"Mas Fredy mau salat Subuh berjamaah?" Ummi tiba-tiba ada di sebelahnya.
"Eh … emh …" Ferdy kikuk karena kaget.
"Biar disiapkan keperluannya sama Dik Farhan, ya, Mas!" Ummi tersenyum lantas meminta Farhan menyiapkan alat salat untuk Fredy.
Dalam sejarah hidupnya, dia merasakan ketenangan yang tiada terkira dalam sujud itu. Meski ia tak hafal lafaz apa yang harus diucapkan, tetapi rasa cemas dan kegelisahan lenyap entah ke mana. Desir angin Subuh membawa kesejukan bagi jiwa kerontangnya. Lantunan ayat suci Al-Qur'an yang dibaca Farhan, ummi, dan ayah membuat air mata pemuda itu berlinang. Aliran itu kian deras mengundang suara sesenggukan.
"Nak, kenapa kau menangis? Adakah sikap kami yang membuatmu terluka?" Ayah bertanya dengan suara bergetar.
Fredy hanya menatap ayah. Tampak lautan kedamaian dalam tatapan jernih sang ayah. Diselaminya manik biru milik sang ayah. Tak ditemukan di dalamnya kebencian.
"Aku bingung, Ayah. Aku membenci ayah sejak perceraian itu, tetapi hatiku menolak untuk membenci ayah. Justru setelah aku dekat dengan ayah, ketenangan yang kudapat. Ayah, Ummi, dan Farhan selalu memperlakukanku dengan baik meski aku jahat." Ferdy terisak.
"Sst … tenanglah, Nak!" Ayah memeluk Fredy sembari tersenyum. Ada hawa hangat yang menjalar ke seluruh aliran darahnya. Fredy merasa dipenuhi kebahagiaan. Pelukan dari ayah dan sejuta senyumnya mengantarkan energi positif.
"Kenapa Ayah mau menerimaku, sementara aku tak pernah membalas surat Ayah?" tanya Fredy dengan penuh penyesalan.
"Karena kau anakku, darah dagingku, buah hatiku yang tak pernah kuurus. Baru sekarang Allah memberiku kesempatan mengurusmu, Nak. Apa pun kondisimu, itu kesalahanku di masa lalu. Ayah berharap, Allah memaafkanku dan menunjukimu ke jalan kebenaran." Senyum ayah tercekat.
"Izinkan aku menjadi ayah seutuhnya bagimu, Nak! Meski sangat terlambat, tetapi Ayah mohon izin untuk menjadi Ayahmu seutuhnya. Dengan ini, semoga menjadi jalan menggugurkan dosaku selama ini yang menelantarkanmu." Ayah mempererat pelukannya.
"Nyes …" Fredy merasa ada kekuatan besar untuk membalas pelukan ayah. Bagaimana mungkin ayahnya berpikir telah menelantarkannya sementara nafkah rutin dia terima? Bahkan, dia dan mamanyalah yang menutup diri dari ayah. Lenyap sudah bingkai radikal yang tersemat pada ayah. Justru dia mendapatkan sosok ayah sejuta senyum yang tak pernah menampakkan amarah meski dia berulah. Dalam pelukan ayah, Fredy berjanji akan menjadi anak ayah yang baik.
"Harta yang kukirim padamu tiap bulan, itu hanya sebagian syariat Allah yang kujalankan. Bagaimanapun, kau darah dagingku, Nak. Aku punya kewajiban bertanggung jawab atas tumbuh kembangmu. Hal itu yang aku telantarkan hingga kau menjadi pemuda, Nak. Maafkan ayahmu yang lalai ini!"
Perkataan ayah menjadi petuah yang tak ternilai harganya. Rasa sayang terus tumbuh dan bermekaran di rumah itu. Dia pun meminta maaf pada ayah dan memilih jalan dakwah seperti lelaki di hadapannya. Ayahnya adalah ayah sejuta senyum[]