Bagaikan galian sumur yang makin dalam, begitu juga galian utang Indonesia. Berkedok untuk menanggulangi pandemi Covid-19 Indonesia terus menumpuk utang. Posisi utang Indonesia sampai akhir Juni 2021 sebesar Rp6.554,56 triliun. Mengerikan !"
Oleha. Nina Marlina, A.Md
(Muslimah Peduli Umat)
NarasiPost.Com-Tak hanya individu yang gemar berutang, negara pun demikian. Utang seolah menjadi kebutuhan dan kewajiban. Alasannya pun bermacam-macam, seperti pandemi saat ini yang dijadikan alasan pemerintah untuk berutang kembali.
Dikutip dari Sindonews.com (25 Juli 2021), Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan bahwa alasan Pemerintah terus berutang di tengah pandemi Covid-19 adalah karena tantangan pandemi yang luar biasa dan harus dihadapi. Di antara tantangannya adalah kebutuhan untuk meningkatkan anggaran di bidang kesehatan, bantuan sosial, membantu masyarakat, membantu daerah, dan menjaga perekonomian. Dengan demikian, menurutnya menambah utang merupakan instrumen untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian negara.
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai akhir Juni 2021 sebesar Rp6.554,56 triliun. Angka tersebut 41,35 persen dari rasio utang pemerintah terhadap PDB. Adapun komposisi utang tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp842,76 triliun (12,86 persen) dan SBN sebesar Rp5.711,79 triliun (87,14 persen).
Secara rinci, utang melalui pinjaman tersebut berasal dari pinjaman dalam negeri Rp12,52 triliun. Sedangkan pinjaman luar negeri sebesar Rp830,24 triliun. Sementara itu, rincian utang dari SBN berasal dari pasar domestik sebesar Rp4.430,87 triliun dan valas sebesar Rp1.280,92 triliun.
Lantas sebenarnya dana utang tersebut dipergunakan untuk apa saja? Benarkah lebih banyak dipergunakan untuk rakyat dan ekonomi? Ataukah justru untuk keperluan lain seperti korporasi? Seperti yang diungkapkan Menkeu bahwa utang tidak lain digunakan untuk menyelamatkan rakyat. Namun faktanya, rakyat tak mengalami kehidupan yang lebih baik selama ini. Yang ada justru semakin sengsara. Rakyat amat sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal utang negara terus bertambah. Namun entah ke mana saja penggunaannya.
Begitu pun jika benar untuk menangani pandemi. Namun ternyata pandemi tak kunjung mereda hingga dua tahun ini. Tentu saja penanganan yang tak serius ini berdampak besar pada kehidupan rakyat dan aktivitas ekonomi. Mirisnya, banyak oknum pejabat yang memanfaatkan pandemi guna memperoleh keuntungan, misalnya dengan mengorupsi dana bantuan sosial.
Apakah kebijakan yang diambil pemerintah dengan berutang kembali sudah tepat? Jangan sampai pandemi pun dijadikan alasan dan momen untuk menambah utang. Hal ini dikhawatirkan negara akan mengalami gagal bayar. Hal tersebut pun tentu akan memengaruhi masa depan negara dan rakyat yang akan datang. Negara tak bisa memiliki kemandirian lagi dan akhirnya rakyat kembali merugi.
Anehnya DPR RI malah menyetujui usulan PMN tahun anggaran 2022 yang diajukan oleh pemerintah sebesar Rp72,449 triliun. Ada 12 BUMN yang akan mendapatkan suntikan dana ini, (Kontan.co.id, 14/07/2021) Ini artinya, pemerintah lebih berpihak kepada para pemilik modal atau korporasi.
Dalam sistem kapitalisme, utang merupakan sebuah kebutuhan dan kewajiban. Penyebabnya pendapatan utama negara adalah berasal dari pajak dan utang. Namun, konsekuensi yang terjadi biasanya negara atau lembaga pemberi utang selalu meminta syarat-syarat tertentu, di antaranya menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada mereka. Sebagaimana kita ketahui banyak SDA yang diserahkan pengelolaannya kepada asing dan swasta, sehingga negara tak mendapatkan pemasukan dari pengelolaan ini. Padahal negara adalah pemilik yang sebenarnya. Alhasil, negara kebingungan untuk memenuhi kebutuhannya dan tak memiliki cara lain selain berutang atau menarik berbagai macam pajak.
Sementara dalam Islam, pendapatan utama negara bukan dari pajak dan utang. Negara memiliki pendapatan besar di Baitul Mal (kas negara) yang terdiri dari 3 pos. Pertama pos fa'i dan kharaj. Kedua, pos kepemilikan umum seperti kekayaan SDA yang dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Ketiga, pos zakat yang hanya diperuntukkan bagi 8 asnaf / kelompok yang diperintahkan Allah Swt. dalam Al-Qur'an.
Sementara itu, jika kondisi negara sedang benar-benar darurat, maka negara diperbolehkan menarik pajak yang bersifat sementara. Pajak pun hanya diambil dari orang kaya saja. Begitu pun dengan utang bisa saja negara mengambil, dengan syarat tidak mengandung riba dan bukan menjadi alat penjajahan ekonomi seperti saat ini.
Dengan demikian, negara dalam sistem Islam akan mandiri dan mampu mengurus rakyatnya dengan baik. Rakyat pun memeroleh kesejahteraan dan kemakmuran.
Wallahu a'lam bishshawab.[]