"Lautan saja tidak selamanya tenang. Terkadang ada riak bahkan gelombang besar. Begitu juga dalam keluarga dimana menyatukan dua manusia yang berbeda dalam satu visi dan misi. Pasti ada goncangannya! "
Oleh : Ida Royanti
( Tim Redaksi NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:
“Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang saleh. Kemudian disusul oleh orang-orang mulia, lalu oleh orang-orang mulia berikutnya. Seseorang diuji sesuai dengan kadar pengamalan keagamaannya. Bila dalam mengamalkan agamanya ia begitu kuat, maka semakin keras pula cobaannya.” (At-Tirmidi dan Ahmad)
Bunda Salehah yang dirahmati Allah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah dalam hadis tersebut, setiap manusia pasti akan diuji, untuk mengukur sejauh mana keyakinannya pada Allah Swt. Terkadang, ujian itu menerpa diri kita secara personal, terkadang menimpa anggota keluarga sehingga berimbas juga pada kita.
Di tengah pandemi yang tidak kunjung selesai ini, bisa jadi Bunda dihadapkan pada berbagai macam ujian itu. Salah satu badai yang tidak bisa ditolak dan hampir menerpa sebagian besar masyarakat adalah badai ekonomi. Bahkan, banyak keluarga yang tertatih-tatih karena tidak memiliki pemasukan sama sekali.
Badai ini tidak hanya menerpa masyarakat level bawah, tetapi juga menimpa mereka yang memiliki kekayaan melimpah sebelumnya.
Tak ayal, kondisi ini tentu menimbulkan keresahan, bahkan depresi di antara anggota keluarga. Beberapa di antara mereka malah ada yang berakhir dengan perceraian. Nauzubillah.
Mengapa Hal Ini Bisa Terjadi?
Bunda, tidak bisa dimungkiri, tugas seorang ibu memang berat, yaitu mengurusi semua urusan rumah tangga. Bahkan, seringkali selama 24 jam nonstop, seorang ibu mengerjakan tugasnya tanpa berhenti, terutama jika ia memiliki anak kecil.
Dalam situasi pandemi seperti ini, tugas ibu semakin bertambah. Tugas mendidik anak yang biasanya diserahkan pada sekolah, kini harus ditangani sendiri. Ini menambah stress tersendiri, apalagi jika di rumah tidak ada yang membantu.
Di satu sisi, suami yang biasanya bekerja dan kini berada di rumah, juga tidak banyak membantu, malah seolah menjadi beban. Mereka terbiasa bekerja di luar rumah, kurang paham terhadap urusan rumah, apalagi mengurusi anak-anak. Tak jarang, mereka tidak melakukan apa-apa.
Dulu, saat mereka pulang, rumah sudah beres, anak-anak sudah bersih dan wangi, hanya menunggu beberapa jam, mereka tertidur. Terkadang seorang ayah hanya sempat bermain atau sekadar berbincang dengan anak-anak sebentar. Bahkan, ada yang tidak sempat bertemu karena pulang terlalu larut.
Namun, ketika suami diam di rumah, mereka harus menyaksikan pola tingkah anak-anak sepanjang waktu, yang bisa jadi membuat pusing kepala. Ada juga yang membiarkan istri seharian berkutat dengan pekerjaan rumah, sesekali diiringi teriakan peringatan pada anak-anak yang luar biasa aktif tanpa mendapatkan bantuan sama sekali darinya. Tak jarang, para suami itu hanya duduk diam sambil nonton TV, main HP, sambil berkali-kali marah melihat tingkah anak-anak.
Kondisi ini tentu membuat seorang ibu semakin stress. Satu atau dua bulan mungkin bisa ditahan. Namun, pandemi ini sudah berlangsung hampir dua tahun, tanpa ada kejelasan kapan akan berakhir. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi dengan keluarga-keluarga yang terdampak seperti itu.
Kita tentu tidak berharap mengalami kondisi seperti itu. Namun, jika badai itu menerpa Bunda, apa yang sebaiknya dilakukan? Setidaknya ada beberapa hal yang perlu kita camkan,
Pertama, yakin terhadap skenario Allah Swt. bahwa semua yang terjadi pada kita, itulah yang terbaik untuk kita.
Bisa jadi, Allah memberikan ujian karena ingin menghindarkan kita dari musibah yang jauh lebih besar. Bisa jadi, ujian itu merupakan wasilah dari Allah untuk mengangkat derajat kita.
Jadi, sabar dan selalu berprasangka baik diiringi dengan rasa syukur akan membuat segala kesulitan menjadi mudah. Bukankah keputusan Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya?
Kedua, yakin seratus persen bahwa Allah akan memberikan pertolongan. Allah yang memberikan musibah, sudah tentu Allah pasti mampu mengangkatnya.
Sebagaimana firman Allah dalam surt Al-Mukmin ayat 60.
"Dan Rabbmu berfirman, 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu'."
Ketiga, mengukuhkan kembali komitmen awal pernikahan, yaitu untuk menggenapkan ibadah. Karena itu, hendaknya suami istri berikrar untuk berlomba-lomba meraih pahala dengan banyak melakukan pengorbanan. Jadi, tidak menghitung siapa yang lebih banyak berkorban, tetapi bahu-membahu mengatasi kesulitan-kesulitan bersama.
Keempat, menjalin komunikasi secara inten.
Ada baiknya, suami istri saling berterus terang untuk mengungkapkan kesulitan dan ketidaknyamanan masing-masing untuk dicarikan solusinya bersama, tidak memendam persoalan seorang diri.
Dalam kondisi normal, dalam artian tidak ada pandemi, komunikasi yang buruk antara suami istri kadang tidak begitu terasa pengaruhnya karena pertemuan yang relatif singkat. Sering kali suatu masalah mengendap tanpa ada solusi.
Namun, dengan adanya pandemi, kebersamaan mereka menjadi lebih lama. Bisa dibayangkan, 24 jam bertatap muka dan berlangsung selama hampir dua tahun tanpa ada komunikasi yang baik. Masalah yang dulu sering terendap dan tak terurai bisa jadi semakin menumpuk dan akhirnya meledak.
Jika komunikasi antara suami istri tidak diperbaiki, bisa saja muncul rasa tidak tahan lagi dari salah atau keduanya sehingga berakhir pada perceraian, na'uzubillahiminzalik.
Kelima, seorang istri hendaknya memahami kondisi suami, terutama keuangannya sehingga tidak terlalu banyak menuntut. Berusaha untuk hidup hemat, mengutamakan hal-hal yang paling urgen untuk pengeluaran uangnya. Jika memungkinkan, istri bisa membantu suami mencari jalan keluar untuk mengatasi keuangan mereka.
Hendaknya seorang istri tidak mudah tersulut emosi sehingga mamancing suami untuk mengucapkan kata berpisah. Pikirkan dengan jernih, selama ini para suami sudah berusaha keras mencukupi kebutuhan dan membahagiakan keluarga. Hanya karena saat ini mereka sedang diuji dengan kehilangan kerja sehingga tidak bisa membahagiakan istrinya tidak membuat para istri menuntut untuk berpisah.
Keenam, seorang suami hendaknya juga tahu diri dan tidak semena-mena. Jangan sampai, istri sudah sabar dan tidak banyak menuntut, malah suami yang banyak tuntutan, misalnya rumah harus selalu bersih dan rapi, anak- anak terkendali, makanan harus sudah siap, belajar daring anak-anak beres, padahal ia harus pontang-panting mengerjakan sendiri. Belum lagi jika istri harus berperan ganda untuk mencari penghasilan karena rezeki Allah datang melalui dirinya.
Tidak ada salahnya seorang suami membantu meringankan tugas istri di rumah. Tidak akan runtuh harga diri seorang suami yang membantu istri bersih-bersih, misalnya. Atau menjaga anak-anak selagi istri mengerjakan pekerjaan rumah. Intinya, semua bahu-membahu dan bekerja sama.
Itu tadi adalah beberapa tips yang bisa Bunda lakukan jika menghadapi situasi seperti itu. Wallahu a'lam bisshawab.[]