Liberalisasi adalah akar demokrasi sekaligus biang petaka yang menyebabkan negara demokrasi akan gagal selamanya (Plato (472-347 SM)
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Tim Redaksi Narasipost.com)
NarasiPost.Com-Demokrasi yang senantiasa menggaungkan kebebasan dalam segala hal, termasuk kebebasan berekspresi, nyatanya seringkali menampakkan anomali. Demokrasi tak benar-benar memfasilitasi sebuah kebebasan yang katanya bagian dari hak asasi manusia. Sebaliknya, demokrasi menerjemahkan kebebasan berdasarkan sudut pandang liberalisme, bukan sudut pandang yang universal.
Ya, betapa tidak, baru-baru ini kembali terjadi sebuah potret penodaan terhadap hak asasi terhadap kaum perempuan, yakni seorang tim nasional bola tangan di Norwegia. Pasalnya, ia menolak menggunakan bikini saat bertanding dalam Kejuaraan Olahraga Handball Pantai Eropa alias European Beach Handball Championship di Varna, Bulgaria,
Sebagaimana dilansir oleh Jawapos.com (21-07-2021), bahwa akibat penolakannya tersebut sang perempuan terkena denda sebesar EUR 1500 atau setara dengan Rp25,7 juta. Sejatinya, memang telah ditetapkan aturan berbusana bikini pada setiap pertandingan kelas internasional yang berada di bawah naungan Federasi Handball International (IHF). Hal tersebut tidak boleh dilanggar.
Ilusi Kebebasan dalam Demokrasi
Kejadian tersebut semakin membelalakan mata kita bahwa sesungguhnya demokrasi merupakan sahabat karib liberalisme. Keduanya saling menopang. Maka, kebebasan yang merupakan pilar demokrasi pun, tumbuh dari asas liberalisme. Artinya, konsep kebebasan ala demokrasi tak benar-benar merupakan manifestasi atas hak asasi manusia, melainkan legislasi atas kebebasan ala liberalisme yang lahir dari akidah sekularisme.
Jika memang benar adanya kebebasan dalam demokrasi itu sebagai jaminan atas hak asasi manusia, semestinya demokrasi memberi ruang bagi pendapat lain atau pandangan hidup lain, bukan malah memberangusnya dengan ancaman dan sanksi, lebih-lebih jika pendapat itu datang dari pemahaman ajaran agama yang sudah jelas kebenarannya.
Seorang perempuan yang ingin menjaga kehormatannya dengan tidak mau berpakaian terbuka di hadapan umum, semestinya dihargai, bukan malah dipersekusi. Sungguh, hal tersebut semakin menguatkan bukti bahwa kebebasan dalam demokrasi hanyalah ilusi.
Kebebasan yang digaungkan demokrasi hanya berlaku bagi para pengusungnya saja, sementara ide atau pendapat yang dianggap bersebrangan akan dikubur hidup-hidup lewat sederet regulasi. Kita bisa saksikan, betapa demokrasi kerap membunuh dirinya sendiri. Katanya bebas berpendapat, tapi nyatanya suara kritik terhadap punggawa negeri dibungkam dengan jeruji. Lebih-lebih jika pendapat yang lahir dari pandangan Islam kafah, langsung dianggap radikal dan layak dijadikan common enemy. Sungguh ironis!
Kebebasan yang Kebablasan
Tak hanya membunuh dirinya sendiri dengan konsep yang inkonsisten, kebebasan ala demokrasi juga faktanya menjerumuskan manusia ke dalam kemaksiatan dan kerusakan sistemik. Hal tersebut tak dapat dilepaskan dari asas sekularisme yang menjadi pijakannya, sehingga kebebasan yang lahir pun nyaris tanpa batas. Tubuh dan kecantikan perempuan bebas dinikmati oleh semua mata, bahkan boleh digunakan untuk apa saja yang dikehendaki termasuk dikapitalisasi. Akibatnya banyak perempuan yang tergadai kehormatannya atas nama kebebasan.
Setiap orang juga bebas memiliki apa pun yang dikehendaki selama dia mampu, baik halal maupun haram, bermanfaat ataukah tidak. Maka, kebebasan dalam sistem demokrasi meniscayakan seseorang untuk menguasai harta kekayaan yang sebetulnya milik umum, hanya untuk kepentingan dirinya saja. Bahkan negara ikut mengakomodasi. Inilah yang dapat kita saksikan hari ini. Aneka kebebasan nan kebablasan ditampakkan demokrasi dengan amat nyata. Maka wajar, kerusakan demi kerusakan terjadi silih berganti.
Beginilah fakta rusaknya demokrasi. Bahkan kritik atas demokrasi pun pernah dilontarkan oleh pendirinya sendiri, Plato (472-347 SM), yang mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi sekaligus biang petaka yang menyebabkan negara demokrasi akan gagal selamanya. Plato dalam bukunya The Republic mengatakan, "Mereka adalah orang-orang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang di dalam sana boleh melakukan apa yang mereka sukai."
Artinya kebebasan yang digaungkan dan masif dipasarkan demokrasi ke benak-benak kaum muslimin nyatanya hanyalah petaka yang kelak akan membinasakan.
Perempuan Mulia dengan Islam
Jika dalam demokrasi perempuan dihinakan dalam balutan kebebasan, maka dalam Islam perempuan dijaga kemuliaan dan kehormatannya. Tak ada kebebasan bagi seorang muslimah, karena sejatinya setiap diri terikat dengan hukum syariat.
Adapun syariat Islam itu akan membawa kebaikan bagi manusia. Sebab syariat Islam tidak datang dari akal manusia yang penuh keterbatasan, melainkan dari wahyu Allah yang Maha Benar. Allah memerintahkan perempuan muslimah untuk menutup auratnya secara sempurna semata-mata untuk memuliakannya, bukan mengekangnya. Sebab perempuan adalah kehormatan yang wajib dijaga. Seluruh tubuhnya adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Haram ditampakkan, kecuali di hadapan suami dan mahramnya.
Berbeda halnya dalam sistem demokrasi, tubuh dan kecantikan perempuan dieksploitasi sedemikian rupa. Para perempuan dijadikan objek penghasil pundi-pundi rupiah. Alih-alih memuliakan, yang ada malah menghinakan. Maka, semakin jelaslah bahwa demokrasi bukanlah habitat bagi umat Islam. Karena faktanya demokrasi tak memiliki ruang bagi penerapan syariat Islam secara sempurna.
Dengan demikian, hanya sistem Islamlah yang akan memuliakan perempuan dengan aturannya yang sesuai fitrah penciptaan manusia, yakni untuk tunduk dan mengabdi kepada Allah Sang Maha Pencipta. Sistem Islam akan menciptakan suasana kondusif bagi perempuan untuk tetap berada dalam koridor hukum syariat. Mereka akan hidup di bawah aturan Islam yang agung nan beradab. Sehingga akan terwujud para perempuan yang mulia lagi taat, ibu terbaik bagi generasi pembangunan peradaban.
Adapun impelentasi penerapan syariat Islam secara sempurna hanya dapat terwujud dalam naungan institusi Khilafah Islamiyah. Lantas, tidakkah kita tergerak untuk ikut berkontribusi memperjuangkannya?
Walallahu'alam bi shawab[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]