Akibatnya, dalam sistem peradilan warisan penjajah ini ribuan kasus tertunda dan mengantri di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, sementara kasus baru semakin bertambah setiap harinya.
Oleh: Ong Hwei Fang (Pemerhati Isu Politik)
NarasiPost.com -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal menelusuri pihak-pihak yang memberi fasilitas terhadap tersangka Hiendra Soenjoto selama buron. Mulai dari biaya hidup, transportasi, akomodasi hingga plat nomor kendaraan roda empat dengan akhiran RFO yang digunakan bos Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) itu untuk beraktivitas dan berpindah tempat selama menjadi DPO KPK (Kompas, 31/10/2020).
Buronan kasus suap-gratifikasi eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Hiendra Soenjoto (HSO) ini adalah keberhasilan KPK dalam mengurangi koruptor di Indonesia. Meski demikian, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) pun mendesak KPK untuk segera menemukan Harun Masiku. KPK memang telah menangkap Nurhadi dan Hiendra Soenjoto, namun masih ada utang KPK terhadap 4 buron lain yang masih beredar bebas.
Di antaranya, Harun Masiku dengan kasus tersangka dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW), Samin Tan (Pengusaha) dengan kasus tersangka dugaan suap pengurusan terminasi kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), Sjamsul dan Itjih Nursalim dengan kasus dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan Izil Azhar dengan kasus dugaan gratifikasi proyek dermaga Sabang.
Kinerja KPK dalam pemerintahan kabinet Jokowi-Makruf ini memang berat. Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2019 hingga September 2020, 23 koruptor yang memperoleh keringanan izin dari peninjauan kembali (PK). Jumlah tersebut kemungkinan akan bertambah. Saat ini ada 53 pemohon PK yang terkait dengan perkara korupsi sedang menunggu putusan dari majelis hakim (Kompas, 26/10/2020).
Upaya KPK dalam memberantas korupsi cenderung rumit lantaran terdapat pelemahan hukum dalam Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Sebab sanksi yang dijatuhkan oleh peradilan masih dapat diutak-atik dengan mengajukan banding maupun peninjauan kembali. Disinilah celah para koruptor mendapat keringanan hukuman. Hal ini terbukti dari banyaknya jumlah koruptor yang menggunakan hak peninjauan kembali melalui lembaga Mahkamah Agung.
Korupsi adalah Kejahatan Luar Biasa
Berbicara mengenai hukuman mati di Indonesia, selalu bertabrakan dengan realitas konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Banyak pihak menentang hukuman mati, dengan dalih melanggar hak asasi manusia dan pasal 28 huruf i Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjamin hak hidup setiap orang tanpa dikurangi sedikitpun.
Namun perlu diingat, pelaku korupsi juga lebih kejam. Mereka mengambil hak-hak rakyat yang sebenarnya bisa dipergunakan untuk mengakomodir kesejahteraan rakyat.
Hukuman mati adalah hukuman "berat" maka dari itu, kejahatan yang dilakukan harus benar-benar setimpal untuk dijatuhi hukuman mati. Kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati menurut penulis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan berencana, korupsi, atau pengedar narkoba.
Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, maka sudah seharusnya perbuatan tersebut diganjar dengan hukuman yang luar biasa juga. Bagi koruptor kakap agaknya hukuman penjara berapa tahun bukanlah hukuman yang luar biasa sebab tak memiliki efek jera bagi pelaku maupun calon pelaku. Dengan demikian, dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku korupsi harus berani dilakukan demi mendobrak kemandulan hukum.
Sistem Peradilan yang Tidak Berbelit-belit
Demikianlah kecacatan hukum yang menganut sekularisme, pengertian dan standar keadilan ditentukan menurut akal manusia melalui parlemen. Peraturan yang ada kerap menetapkan ketentuan-ketentuan hukum menyangkut apa yang dimaksud kejahatan dan apa pula sanksi bagi pelaku. Selain itu, sistem peradilan sekuler juga memberikan hak prerogatif kepada presiden untuk memberikan pengampunan (grasi, amnesti, dan abolisi) kepada seorang penjahat.
Seharusnya bangsa ini mau berkaca pada sistem Islam. Dimana syariah sebagai standard yang digunakan untuk menentukan apa yang dimaksud dengan kejahatan sekaligus menetapkan aturan sanksinya. Dengan pijakan yang khas inilah, para hakim memberikan putusan hukum yang adil kepada seluruh masyarakat.
Dalam sistem Islam tidak ada pemisahan antara peradilan sipil dengan peradilan syariah, sebab semua putusan hukum diberikan dengan menggunakan dasar syariah Islam. selain itu, dalam sistem peradilan Islam memberikan putusan tanpa berbelit-belit. Amat berbeda dengan peradilan sekuler, masyarakat frustasi ketika hendak memperoleh keadilan lantaran ruwetnya proses hukum yang berlaku. Meskipun vonis ditetapkan, para pihak masih bisa mengajukan banding ke pengadilan tinggi hingga putusan hukum kembali tertunda.
Akibatnya, dalam sistem peradilan warisan penjajah ini ribuan kasus tertunda dan mengantri di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, sementara kasus baru semakin bertambah setiap harinya.
Realitas semacam ini mendorong para pelaku kejahatan yang mengerti seluk-beluk peradilan akan berupaya mengulur-ulur putusan hakim. Sebab, sekalipun vonis sudah dijatuhkan, mereka masih memiliki peluang dengan mengajukan banding dan kasasi dan berakibat tertundanya hukum. Wajar bila kasus seperti BLBI bisa memakan waktu puluhan tahun untuk sampai keputusan di tingkat kasasi MA. Itupun masih bisa melewati upaya hukum dengan Peninjauan Kembali (PK). Jadi kapan keadilan itu akan datang?
Negara yang menganut aturan berbasis syariah akan mengakhiri sistem bertele-tele ini. Dalam peradilan Islam, putusan yang dibuat oleh hakim adalah keputusan final. Tidak ada lagi mahkamah banding sehingga tak ada yang dapat merubah putusan hakim tersebut. Kecuali jika vonis tersebut bertentangan dengan syariat Islam yang pasti, yang tidak ada Ikhtilaf di dalamnya, atau ketika hakim mengabaikan fakta yang pasti, tanpa alasan yang jelas.
Apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti itu, maka kasus tersebut bisa dibawa ke Mahkamah Mazhalim. Dengan cara inilah, publik memperoleh keadilan dalam waktu yang singkat dan tidak membebani pengadilan dengan antrian kasus yang panjang. Para pelaku kejahatan pun tidak bisa lepas dari rasa takut, karena vonis yang ditetapkan pengadilan akan segera dieksekusi.
Selain itu, dalam sistem Islam tidak ada seorang pun yang tidak busa diajukan ke muka pengadilan. Semua bisa meski ia seorang presiden atau pejabat tinggi negara. Hakim dan Mahkamah Madzalim akan menyidangkan kasus-kasus yang melibatkan penguasa atas kekeliruan kebijakan yang mereka ambil sekaligus berhak menghukum dan memberhentikan penguasa.
Dari uraian di atas, maka patut menjadi pertimbangan penguasa untuk mengganti aturan yang berlaku dengan manajemen hukum tanpa tebang pilih dan terpenting ialah hukum tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan politik. Kekuasaan politiklah yang harus tunduk dan patuh pada hukum. Inilah sikap dasar bernegara yang benar. Sebab, kekuasaan dimana-mana cenderung korup dan sewenang-wenang jika tanpa aturan Islam. Wallahu a'lam.[]
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected].