Polemik Statuta UI, Inkonsistensi Kebijakan yang Mudah Gonta-ganti

"Hukum sangat mudah diganti. Kebijakan pemerintah pun sering inkonsisten dan ketegasan cuma pepesan kosong belaka. Dampaknya luar biasa bagi rakyat yang makin muak dengan kredibilitas pejabat dalam menjalankan amanah rakyat."


Oleh. Ana Nazahah
(Kontributor Tetap Narasipost.com)

NarasiPost.Com-Gaduh berubahnya Statuta UI memunculkan kritik pedas mayoritas rakyat negeri pertiwi, membuat Rektor UI Ari Kuncoro akhirnya melepaskan jabatannya sebagai Komisaris Utama Bank BRI. Kendati Ari telah melepaskan jabatannya, namun rakyat negeri ini terlanjur dibuat kecewa akibat sikap pemerintah yang lagi-lagi dinilai inkonsisten dalam menegakkan aturan.

Rakyat mempertanyakan kredibilitas pejabat dalam menjalankan amanah. Mengapa demi segelintir orang aturan bisa digonta-ganti? Mengubah PP Nomor 68 Tahun 2013 terkait rektor UI yang dilarang rangkap jabatan. Kemudian melahirkan kebijakan baru, yakni PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI yang ditandatangani Jokowi pada 2 Juli 2021.

Jika rakyat hanya diam menyaksikan pejabat melanggar hukum dan tidak memaksa negara untuk berbuat adil terkait polemik rangkap jabatan Rektor UI, akankah Ari Kuncoro mengundurkan diri? Tentu saja tidak. Dari awal negara memang sudah menyatakan sikap membenarkan rangkap jabatan Rektor UI, dengan mengeluarkan kebijakan baru yakni PP Nomor 75 Tahun 2021. Mengubah status pelaku pelanggaran yang tadinya bersalah menjadi dibenarkan.

Sikap ini jelas memperlihatkan kebijakan yang plin-plan. Terlebih Presiden Jokowi sendiri pernah menyampaikan melalui sebuah video milik Kantor Media Antara. Di dalam video yang viral tersebut, Jokowi menolak tegas rangkap jabatan. "Tidak boleh ngerangkep-ngerangkep jabatan. Kerja di satu tempat saja belum tentu bener, kok," kata Jokowi dengan tegas di video tersebut. Namun sayangnya, ketegasan Jokowi ternyata hanya pepesan kosong. Berubahnya Statuta UI menunjukkan inkonsistensi kebijakan. Hukum begitu mudah diganti.

Sebenarnya sikap inkonsisten pemerintah dalam menentukan kebijakan sudah sering terjadi. Sudah biasa rakyat disuguhi kebijakan yang sering berubah-ubah menurut kepentingan segelintir orang. Dalam penanggulangan wabah Covid-19, misalnya, yang urgensinya demi kepentingan dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia. Ada banyak kebijakan inkonsisten yang rakyat rasakan. Misalnya, melarang penerbangan domestik, tapi penerbangan internasional boleh. Melarang kedatangan orang (asing), tapi mendatangkan TKA (tenaga kerja asing), boleh. PPKM diterapkan, sedang perjalanan internasional ke Indonesia diterima.

Selain itu, kebijakan yang diterapkan pun jauh dari efektif dan efisien. Kebijakan yang sejatinya adalah sebagai penyelesai persoalan, jauh dari kata solusi. Malah menimbulkan kemudharatan dan kezaliman saat diterapkan. Sehingga wajar, jika rakyat kehilangan kepercayaannya pada pemerintah. Negera hanya mampu menegakkan hukum di hadapan rakyat kecil, namun di hadapan orang yang berkepentingan, hukum keok. Statuta UI salah satunya, demi membenarkan rangkap jabatan Rektor UI, aturan atau kebijakan pun diganti. Demi kepentingan siapa aturan diganti? Yang jelas bukan untuk kepentingan rakyat.

Inilah akibatnya jika berhukum dengan hukum yang sumber hukumnya berasal dari keterbatasan akal manusia. Setiap kebijakan tumpang tindih, minim solusi. Malah menimbulkan kemudharatan di mana-mana. Hal itu karena hukum yang diterapkan adalah buah pemikiran dari akal yang terbatas, lemah, dan serba kurang. Karenanya, hukum yang dihasilkan pun akan mengalami cacat. Berpotensi besar mengalami bentrokan dan perselisihan.

Jika akal manusia bersepakat pada suatu aturan, maka hukum pun diberlakukan. Tanpa melihat benar atau salah. Sebab kebenaran hukum dalam sistem ini adalah suara terbanyaknya manusia. Jika hukum sudah tidak cocok lagi, maka atas keinginan manusia hukum diubah dan diotak-atik sesuka hati. Tanpa peduli benar atau salah, menimbulkan kemudaratan bagi rakyat sekali pun. Karena jika terjadi masalah lainnya, hukum pun bisa direvisi lagi. Sesuai keinginan manusia. Karena manusia Tuhannya hukum. Suara rakyat, suara Tuhan. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Sistem hukum yang menisbatkan akal yang terbatas adalah aturan hidup yang jauh dari kata islami. Secara mutlak, aturan yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, sejatinya dijalankan sesuai amanat Syara'. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang wajib diikuti, didengar dan ditaati. Karena berislam itu bukan hanya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya saja, namun juga pada syariat-Nya. Wajib kita jadikan aturan dalam kehidupan sebagai solusi.

Terlebih hukum Allah adalah satu-satunya hukum yang sempurna. Sebagai muslim kita wajib mengimaninya. Tak ada satu pun yang bisa menandingi hukum Allah (ayat-ayat-Nya) untuk dibuat hukum tandingan yang serupa. Bahkan jika seluruh manusia berkumpul untuk menandingi-Nya.

Karakteristik hukum Islam sangat berbeda dengan aturan yang dilahirkan ide sekularime atau sosialisme. Itu karena hukum Islam diambil dari nash syariat yang selalu tetap dan tidak berubah dipengaruhi zaman. Dalam hukum Islam, hukum berfungsi untuk menghakimi realitas. Sedang dalam sistem sekularime dan sosialisme justru realitas lah yang melahirkan hukum, karenanya rentan berubah dan diubah sesuai kepentingan.

Berbeda dengan hukum Islam yang lahir dari syariat yang tetap. Tidak akan berubah-ubah apalagi sengaja diubah. Dengan sifatnya yang efisien dan efektif saat diterapkan, mampu menghasilkan solusi yang tepat, cepat dan solutif. Tidak akan ada yang bisa merevisi hukum sesuka hati, penguasa sekali pun. Di dalam Islam, rakyat dan penguasa dihukumi sama. Sama-sama sebagai hamba yang masing-masing sedang menjalankan perannya sebagai penguasa di bumi .

Wajar saja, hukum Allah sempurna. Karena yang menciptakan hukum adalah yang menciptakan kita dan seluruh alam semesta. Allah lah yang paling tahu mana hukum terbaik bagi kita dan mana pula yang tidak. Karenanya Allah menyeru kita, yakni orang-orang yang bertakwa agar mengambil hukum-Nya saja untuk diterapkan dalam kehidupan kita. Sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)." (Al-maidah: 50).

Wallahua'lam…[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Melahirkan Normal vs Caesar
Next
Semesta Berduka
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram