"Tidak ada satu pun alasan, yang bisa membuktikan kelayakan ideologi Komutalisme yang diadopsi Cina sebagai solusi dari permasalahan yang merundung Indonesia, maupun dunia."
Oleh: Nur Jamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Awal Juli ini, di tengah dahsyatnya amukan pandemi Covid-19 telah digelar perhelatan super megah dan meriah di negara pertama tempat munculnya virus Corona. Hal ini tentu saja menyedot perhatian dunia. Partai Komunis China (PKC) merayakan 1 abad kelahirannya sebagai satu-satunya partai terbesar dan paling berpengaruh di Cina. Cina membanggakan capaian prestasinya selama 100 tahun ini. Ternyata, dukungan juga mengalir dari beberapa negara, termasuk dari salah satu tokoh nasional Indonesia yang memuji capaian itu dan berharap kita bisa menirunya pula, serta ajakan untuk menjalin persahabatan abadi Indonesia-Cina.
Dilansir dari detik.com, (03/07/2021) bahwa pada tanggal 1 Juli 2021 Cina merayakan 100 tahun berdirinya Partai Komunis China (PKC). Pesta kembang api termegah sepanjang sejarah bertabur bintang menghiasi perayaan HUT PKC ini. Stadion Olympic Bird Nest Beijing menjadi saksi kemegahan perhelatannya. Sepak terjang PKC divisualisasikan dalam bentuk teatrikal musik, mengisahkan kisah heroik, mulai dari berdirinya ‘New China’, kesuksesan dalam mengatasi kemiskinan, dan pandemi Covid-19.
Ucapan selamat disampaikan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, kepada Partai Komunis Cina yang ke-100 tahun. Dia menyatakan, Cina di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping yang berasal dari PKC dengan ideologi Sosialisme-Komunisme, telah menorehkan keberhasilan dan dukungan rakyat dalam banyak hal. Di antaranya menyejahterakan rakyat dan memperkuat persatuan rakyat Tiongkok. Oleh karenanya, Megawati berharap hubungan persahabatan Cina-Indonesia akan terjalin abadi. (Cnnindonesia.com, 02/07/2021)
Bukan hanya di Indonesia, ucapan selamat milad pun mengalir dari mulut Presiden Mesir Abdel-Fattah el-Sisi kepada PKC. Menurutnya, PKC berhasil mengantarkan Cina pada kemajuan ekonomi. Sisi berjanji akan mempromosikan hubungan Mesir-Cina menuju prospek yang lebih luas. (republika.co.id, 02/07/2021)
Sejarah Masuknya Islam ke Cina dan Berdirinya PKC
Islam masuk ke daratan Cina pada 651 M. Saat itu Khalifah Utsman bin Affan mengirimkan para sahabat yaitu Sa’ad bin Abi Waqqas, Qais bin Abu Huzafah, ‘Urwah bin Abi ‘Uttan, dan Abu Qais bin Al-Harits untuk pergi ke Cina sebagai delegasi dalam rangka berdakwah menyebarkan ajaran Islam. Keempat delegasi itu diterima dengan baik oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Atas perintah Kaisar, dibangunlah Masjid Huaisheng di Provinsi Guangzhou. Sang Kaisar sendiri tidak masuk Islam karena merasa berat dengan kewajiban salat dan puasa. Namun demikian, para delegasi itu diizinkan berdakwah di Guangzhou. Di masa dinasti Yuan (1206-1368) banyak masjid dibangun dan Islam berkembang pesat. Banyak petinggi negara yang masuk Islam, di antaranya Sayidina Syamsuddin. Salah satu keturunannya yang terkenal yaitu laksamana Zheng He atau Cheng Ho, seorang pelaut muslim yang gagah berani mengarungi lautan dunia sebelum Vasco de Gama, Columbus, dan Magelhans. Dia seorang laksamana muslim yang memimpin armada Cina dalam menjelajah dan menjalin hubungan diplomatik di sekitar Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk Nusantara.
Islam berkembang pesat di Cina hingga mencapai puncak kegemilangannya pada masa dinasti Ming (1368-1644 M). Pada abad ke-18, hubungan antara Muslim dan pemerintah Cina berubah, periode ini diwarnai beberapa bentrokan dengan kekerasan. Hal ini disebabkan pemerintah Cina mulai melakukan kontrol langsung atas wilayah mayoritas muslim. Pada tahun 1919, ideologi komunisme-marxisme mendapat perhatian dari kalangan intelektual Cina. Pada April 1920, Grigori Voitinsky dari Partai Bolshevik Rusia dikirim ke Cina, Korea, dan Jepang untuk mengembangkan marxisme. Dia berhasil mengubah dua tokoh intelektual Cina, yaitu Chen Duxiu dan Li Daxhao menjadi komunis. Partai Komunis Cina didirikan oleh kedua tokoh intelektual ini pada tanggal 23 Juli 1921 di Shanghai dengan uluran tangan dari Biro Timur Jauh Partai Komunis Uni Soviet. Partai ini berkembang pesat di Cina dan pada tahun 1949 berhasil mengusir Partai Nasional China (PNC) milik Kuomintang dari daratan Cina. Pada 1 Oktober 1949, PKC di bawah kepemimpinan Mao Zedong memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China (RRC). Sejak saat itu PKC menjadi satu-satunya partai yang berkuasa di Cina. (www.kompas.com, 15/07/2021)
Pada awal berdirinya RRC, umat Islam masih menikmati kebebasan beragama yang relatif aman. Namun itu tak berlangsung lama, setelah terjadi Revolusi Kebudayaan masjid-masjid dihancurkan, mushaf Al-Qur’an dimusnahkan, haji dilarang, dan semua ekspresi keislaman dilarang oleh Penjaga Komunis Merah (Communist Red Guards). Ketegangan semakin meningkat pasca peristiwa ledakan WTC di AS pada 11 September 2001.
Islamofobia di Barat mendorong semakin meningkatnya islamofobia di Cina. Puncaknya tahun 2009 ketika ada kerusuhan etnis antara Uighur dan Han di seluruh provinsi Xinjiang. Sejak itu pemerintah Cina meningkatkan pembatasan pada gerakan dan budaya Uighur dan muslim minoritas lainnya dengan melakukan kekerasan tanpa rasa kemanusiaan. (matamatapolitik.com, 03/11/2020)
Rangkaian sejarah singkat ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa ideologi yang dianut oleh suatu negara menentukan sikapnya terhadap rakyat dan agama yang dipeluk rakyatnya. Sebelum ideologi komunisme masuk, Islam diterima dengan sangat baik dan ramah oleh penguasa Cina, bahkan mengizinkan para delegasi Khalifah Utsman bin Affan untuk menyebarluaskan agama Islam di sana hingga Islam berkembang pesat di Cina hingga sampai pada puncak kegemilangannya. Namun, seiring dengan masuknya ideologi komunisme ke Cina, semua berubah. Keramahan berganti kebengisan, kebencian komunisme kepada Islam dan kaum muslim begitu besar. Bahkan, saat ini ketika Cina dipengaruhi ideologi kapitalisme, kebenciannya bukan malah surut tapi justru semakin keji. Penindasan Cina kepada muslim Uighur menggunakan kekerasan ala komunisme dengan kerakusan ala kapitalisme demi merampas sumber daya alam yang berlimpah ruah di bumi Uighur.
Layakkah Cina Ditiru dan Dijadikan Sahabat?
Miris, salah satu tokoh nasional bahkan pemimpin negeri di mana mayoritas rakyatnya beragama Islam menyampaikan ucapan selamat kepada PKC yang notabene berideologi komunisme yang sangat memusuhi agama khususnya Islam. Tak berhenti pada ucapan selamat, bahkan menyanjung dan menganggap komunisme sebagai sebab keberhasilan negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Ajakan untuk menjalin persahabatan abadi pun terlontar, padahal kita saksikan betapa negara itu dengan bengisnya telah menindas dan menyiksa saudara seakidah kita di bumi Uighur. Lantas di manakah hati nuraninya bersemayam? Sungguh sikap tokoh dan pemimpin negeri muslim itu sangat menyayat hati.
Benarkah Cina berhasil memakmurkan rakyat dalam rentang waktu 100 tahun ini? Untuk menjawab ini, kiranya kita perlu membahas bagaimana perjalanan ekonomi Cina dari masa ke masa. Cheng Chu-Yuan dalam “The Economy of Communist China 1949-1969” mengatakan kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah Cina saat ini berbeda 180 derajat dengan apa yang pernah diberlakukan oleh Mao Zedong (presiden pertama RRC sekaligus peletak dasar komunisme gaya baru di Cina). Menurut versi Mao, pergerakan revolusi seharusnya berasal dari kaum petani, bukan kaum buruh sebagaimana pendapat Karl Marx. Oleh karena itu Mao menerapkan kebijakan landreform law dengan mengeluarkan Hukum Penertiban Tanah. Semua tanah rakyat disita untuk negara, kemudian dibagikan merata kepada petani penggarap. Namun, peristiwa itu menjadi berdarah-darah karena banyak tuan tanah dan keluarganya yang mengalami kekerasan hingga pembunuhan, karena dianggap membangkang jika menolak menyerahkan tanah mereka.
Tak hanya itu, dipaparkan dalam buku “Republik Rakyat China 1949-sekarang” yang ditulis Michael Wicaksono, Mao pun mencanangkan program Lompatan Jauh ke Depan melalui industrialisasi demi menyaingi negara kapitalis. Caranya dengan mengirimkan para petani ke pusat industri demi meningkatkan kapasitas produksi, khususnya industri berat. Namun bukan untung malah buntung, kebijakan ini justru membuat rakyat kelaparan. Lahan banyak yang tak tergarap karena para petani dipaksa bekerja di pabrik. Akhirnya Mao terpaksa mundur karena gagal membawa perbaikan bagi Cina. Kemudian digantikan oleh Liu Shaoqi yang moderat. Situasi sempat membaik, namun kembali Karut-marut dihantam gerakan Revolusi Kebudayaan yang diinisiasi Mao. Kemudian tampuk pemerintahan berpindah kepada Deng Xiaoping, dia mengadopsi model kapitalisme Barat. Tersebab keberhasilannya dalam pembangunan ekonomi, Deng Xiaoping dinobatkan sebagai Bapak Modernisasi Cina. Inilah awal mula arah ekonomi Cina mengarah pada kapitalisme.
Ekonomi Cina tumbuh melambat di tahun 2020 ini, hal tersebut terhitung sejak reformasi pasar pada tahun 1970-an. Bahkan merupakan level terendah dalam 3 dekade. Pertumbuhan ekonominya hanya 6,1 persen. Biro Statistik Nasional (NBS) Cina mengatakan target tahunan pemerintah adalah 6-6,5 persen. Berbicara mengenai mata uang, walaupun nilai Yuan terus meningkat di kancah internasional, tapi mata uang Cina ini masih jauh tertinggal di belakang, kecil kemungkinan bisa menyalip dominasi dolar AS. Meskipun Cina menjadi sumber impor terbesar bagi 65 negara di dunia, juga destinasi ekspor tidak kurang dari 33 negara. Namun, Cina memiliki ketergantungan gas dari Pakistan, Timur Tengah, dan Afrika Timur. Juga batu bara dari Indonesia dan Australia.
Ciina melebarkan sayapnya dalam proyek ambisius, yakni One Belt One Road (OBOR). Ini merupakan strategi pembangunan dalam memuluskan konektivitas dan kerja sama antara negara-negara Eurasia. Menjadikan Cina sebagai pusat perdagangan di wilayah Eurasia, demi mengambil peran besar di kancah dunia. Implementasinya, Cina memberikan pinjaman jangka panjang untuk membiayai pembangunan infrastruktur di negara-negara peminjam dalam rangka membuka jalur perdagangan baru dengan akses pasar yang lebih luas. Srilangka, Kenya, dan Maladewa sudah terjebak secara mendalam dalam jeratan utang ini karena gagal bayar, besar kemungkinan Indonesia juga akan menyusul ketiga negara ini. (www.cnbcindonesia.com)
Cina memang melesat menjadi negara maju, namun hal tersebut tidak secara otomatis memakmurkan dan membahagiakan rakyatnya. Tetap saja rakyat hidup dengan kemiskinan di bawah tekanan dan paksaan para penguasanya. Kalaupun ada data resmi yang dirilis negaranya, semua itu disesuaikan sedemikian rupa untuk memenuhi target PKC. Bukan hanya itu, negara lain pun ikut menjadi korban dari keserakahan negara panda ini demi hasratnya menguasai berbagai sumber daya alam. Seberapa pun melesatnya Cina dalam kancah dunia, namun belum mampu mengantarkannya pada julukan negara adidaya. Cina masih bertahan pada kekuatan regional-ekonomi.
Berdasarkan sepak terjang Cina selama 100 tahun, yang dimotori PKC dalam segala kebijakannya, dapat kita simpulkan bahwa kini strategi pembangunan model Cina menganut ideologi Komutalisme, yaitu perzinahan antara komunisme dan kapitalisme. Sistem politik setia pada gaya komunisme, sementara sistem ekonomi bertransformasi pada gaya kapitalisme. Lantas kalau sudah begini, layakkah Cina ditiru atau dijadikan sahabat?
Big No! Mengapa?
Pertama, secara akidah, baik komunisme maupun kapitalisme bertentangan dengan Islam. Komunisme dengan atheisme dan kapitalisme dengan sekularisme, keduanya sama-sama menafikan adanya Tuhan. Ini jelas bertentangan dengan akidah Islam, yang mewajibkan umatnya untuk mengimani Allah sebagai Sang Pencipta dan Sang Pengatur. Menyelaraskan seluruh aktivitas dengan aturan Ilahi.
Kedua, sistem ekonomi Cina tetap menimbulkan kesenjangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Cina yang pesat memicu urbanisasi besar-besaran dengan puluhan juta warga pedesaan pindah ke kota besar untuk mendapatkan pekerjaan. Walau pendapatan perorangan mengalami peningkatan, namun tidak semua orang menikmatinya secara seimbang. Jurang perbedaan pendapatan antara warga pedesaan dan perkotaan meningkat tajam sejak 1990.
Ketiga, problem integrasi politik: kasus Uighur, Taiwan, dan Hongkong. Amerika Serikat berikut negara-negara yang tergabung dalam G7 yaitu Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang melayangkan kritik pada Cina terkait tindak penganiayaan dan pelanggaran HAM pada muslim Uighur di Xinjiang. Mereka menyebut ada kamp re-edukasi politik di Cina, sistem kerja paksa di ladang kapas Xinjiang demi memenuhi industri tekstil global, dan sterilisasi paksa pada wanita Uighur, juga memisahkan anak-anak Uighur dari keluarganya. Begitu pun praktik ekonomi yang tidak adil dan dipaksakan di Beijing. Mengikis elemen-elemen demokrasi dalam sistem pemilihan di Hong Kong, dan tindakan yang semakin keras pada Taiwan. (liputan6.com, 06/05/2021)
Tidak ada satu pun alasan, yang bisa membuktikan kelayakan ideologi Komutalisme yang diadopsi Cina sebagai solusi dari permasalahan yang merundung Indonesia, maupun dunia. Oleh karenanya, Indonesia tidak perlu meniru sesuatu apa pun dari Negara Tirai Bambu ini.
Islam Satu-satunya Ideologi Harapan Umat
Islam bukan sekadar agama, tetapi juga ideologi (mabda). Ideologi adalah akidah aqliyah (keimanan melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan kehidupan. Islam datang sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan manusia, dari adab makan hingga urusan pemerintahan. Ideologi Islam terdiri dari fikrah (ide) dan thariqah (metode). Fikrah terdiri dari akidah dan solusi problematika hidup manusia. Sementara thariqah terdiri dari tata cara pelaksanaan solusi problematika, pemeliharaan terhadap akidah, dan pengembanan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Keduanya bagai dua sisi mata uang, tak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Jika suatu ideologi hanya bisa eksis dalam fikrah saja, maka akan menjadi wacana belaka. Begitu pula jika ideologi hanya thariqah saja maka akan kebingungan mencari aturan yang akan diterapkan.
Saat ini, Islam sebagai sebuah ideologi, baru sebatas fikrahnya saja yang eksis, sementara ruang untuk mengaplikasikan thariqahnya belum ada. Negara sejatinya merupakan pelaksana thariqah. Itu artinya, ideologi Islam baru akan sempurna penampakannya, jika aturan Islam diadopsi oleh sebuah negara, yakni Khilafah. Khilafah memiliki prinsip bahwa kedaulatan ada di tangan Allah Swt, itu berarti penentu halal-haram dan baik-buruk adalah Allah Swt. Oleh karenanya, sumber aturan yang digunakan wajib merujuk pada Al-Qur’an, As-Sunah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Lantas mengapa harus Khilafah? Karena hanya Khilafah, negara dengan model pemerintahannya yang khas, satu-satunya yang bisa mengakomodasi penerapan aturan Islam kafah. Sementara yang lain, seperti republik, federasi, kerajaan, dan lainnya sudah dimiliki empunya, dari 2 jenis ideologi yang lain yaitu komunisme dan kapitalisme. Islam merupakan rival bagi keduanya, tentu saja selamanya tidak akan diberi kesempatan eksis dalam wujud negara jika kendaraan yang kita gunakan, masih berupa turunannya.
Islam memiliki aturan yang khas dalam urusan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, dan lain sebagainya. Semua aturannya sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan hati. Bahkan Islam pernah menjadi negara adidaya dan mencapai puncak kegemilangannya selama 13 abad lamanya. Sejak Rasulullah hijrah ke Madinah, dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin, kemudian para Khalifah yang setia memimpin dan menjaga amanah risalah Rasulullah di masa-masa selanjutnya yaitu Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah. Khilafah berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya tanpa memandang agama, ras, dan suku bangsa. Karena bagi Islam kewajiban memenuhi kebutuhan pokok masyarakat berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan merupakan tanggung jawab negara. Hal itu mampu direalisasikan dengan pendanaan dari hasil pengelolaan sumberdaya alam secara optimal oleh negara secara mandiri tanpa dicampuri pihak manapun, baik itu swasta lokal maupun asing. Bahkan Bloom dan Blair (2002) pernah mengatakan: “In the Islamic Lands, not only Muslims but also Christians and Jews enjoyed a good life.” (Jonathan Bloom & Sheila Blair, Islam-A thousand years of faith and power, Yale University Press, London, 2002).
Oleh karenanya, fikrah dan thariqah Islam mesti kita wujudkan dalam sebuah negara. Khilafah merupakan satu-satunya model peradaban Islam yang harus kita tegakkan kembali. Sebab, baik komunisme maupun kapitalisme telah gagal memberikan solusi problematika bagi umat manusia di dunia. Bahkan ajarannya telah terbukti rusak di dalam dan merusak ke luar. Khilafah adalah sebuah kemenangan yang dijanjikan Allah Swt kepada umat Islam. Marilah kita sambut janji ini dengan ikut berpartisipasi dalam perjuangan menegakkan Islam kafah dan Khilafah.
Allah Swt berfirman,
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini agamanya? (TQS. Al-Maidah: 50)
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang berbuat kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjanjikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS. An-Nur:55)
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]