Noktah Janji

"Dia pergi dengan sekeping hati yang telah kembali. Dia tak lagi hendak berburu noktah janji yang selama ini diingkari. Dia berdamai dengan ketetapan Sang Kuasa."


Oleh : Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-"Jangan macam-macam atau kehormatanmu akan hilang!"

Mata merah lelaki bersinglet itu membuat dinding pertahanan Balqis  runtuh. Pikirannya kalut saat terdengar kata kehormatan hilang dari mulut busuk orang yang menyekapnya itu. Keringat dingin merayapi sekujur tubuh. Dia menahan diri untuk memutus tali pengikat lengannya.

Pisau lipat ada di bawah jerami dekat kaki Balqis yang sudah terbebas. Dia telah berhasil memutus tali kaki dengan menggerakan pisau lipat. Namun, lelaki bersinglet itu keburu datang.

Hati Balqis ciut saat kehormatannya terancam. Dia mulai kembali fokus membaca suasana saat penculik itu masuk ruangan di pojok sana. Tampak olehnya ruangan besar seukuran lapangan futsal, banyak jerami kering kemungkinan ini bekas penyimpanan pakan ternak. Banyak pelana kusut digantung. Tak ada tulisan apa pun yang bisa memberikan kode. Dia hanya memerlukan jam tangan digital untuk mengaktifkan map.

Kelihaiannya dalam ekskul pencinta alam sedikit membantu. Dia memutus tali lengan dalam waktu lima menit. Pisau lipat yang selalu ada dalam sepatu bootnya begitu berarti. Sekejap saja map sudah aktif. Dia langsung mengirim SOS. pada kakaknya dan membagikan lokasi. Jam tangan itu tampak sangat biasa, tetapi kecanggihannya sama persis dengan gawai 4G.

Setelah itu, Balqis memosisikan kembali lengannya seperti terikat. Dia mereka-reka, berapa lama lagi kakaknya akan tiba di lokasi. Dua puluh kilo bukan jarak yang panjang. Berarti, lokasi dia disekap sering dia lewati. Dia berusaha mengingat, di mana ada gudang atau peternakan tak terpakai. Buntu … dia tak pernah tahu ada peternakan di tengah kota. Tampaknya, lelaki itu sudah selesai urusannya di ruang itu. Dia mendekati Balqis dengan tatapan sadis.

Jantung Balqis seakan berloncatan setiap telinganya menangkap derap kaki penculik itu kian dekat. Sudah sekitar sepuluh menit dia mengirim SOS. Namun, belum ada tanda-tanda kedatangan sang kakak.

"Kau di sini menjadi barang jaminan. Sebentar lagi kau akan dibawa ke Kuwait, majikanmu akan segera menjemput," ujar penculiknya.

Balqis ingin sekali mengajukan protes dan melawan, tetapi dia memilih diam untuk membaca keadaan. Bajingan ini hendak menjualnya. Siapa sebenarnya dia.

"Pamanmu telah menjaminkan dirimu jika dia tak bisa tepati janji."

Dahi Balqis mengernyit. Paman siapa yang dimaksud, Balqis tak paham.

"Pamanmu telah menyalahi janjinya. Banyak sekali noktah yang dia buat. Sejak jadi kepala daerah, dia rajin mengumbar janji tanpa sedikit pun usaha untuk menepati. Jangankan pada rakyat, pada yang memberi modal saja dia ingkar."

Balqis tambah bingung, siapa yang dimaksud. Dia menatap brosnya yang menyala, pertanda kakaknya sudah ada dalam  dua puluh sampai lima puluh meter dari lokasi ini. Beruntung nyala bros itu tak dilihat si penculik karena tertutup bagian lipatan kerudung pashmina yang dia kenakan. Jilbab coklat tua yang ia pakai, murni menutupi kaki yang tertekuk, jadi lepasnya tali tak diketahui si penculik.

"Aku jengkel sekali dengan pamanmu. Aku, kepala  preman merasa dilecehkan. Bahkan, kau keponakannya dijaminkan begitu saja."

Si penculik itu masih asik nyerocos. Sementara kaki Balqis telah bersiap menyambut kedatangan kakaknya. Tangannya juga sibuk menekan tombol jam yang dia hafal. Dalam hitungan detik, pintu lebar  tak berpalang terbuka. Seketika Balqis bangkit dan bersalto ke belakang, menjauhi bajingan yang terbengong dibuatnya. Tali-tali berhamburan di tempat yang dilewati badan Balqis. Begitu cepat gerakan Balqis, sampai-sampai si penculik merasa bagai mimpi.

"Apa-apaan ini? Siapa kau? Berani-beraninya masuk markasku." Si penculik berang.

Thariq menyapu sekilas pemandangan di dalam gudang itu. Tak ada sesuatu yang mencurigakan, bukan tempat komplotan juga. Thariq mengihsasnya dari bau pengap dan sarang laba-laba, khas gudang kosong yang jarang dijamah.

"Aku kakaknya," jawab Thariq singkat.

"Tidak mungkin, tidak mungkin gadis itu punya saudara. Dia anak tunggal."

 Si penculik kelabakan atas pernyataan Thariq. Keraguan muncul, jangan-jangan dia salah tangkap. Akan tetapi, bisa jadi laki-laki yang mengaku kakaknya itu hanya sepupu atau saudara jauh.

"Ada urusan apa dengan adikku? Kami dua bersaudara. Dilahirkan dari rahim ibu yang sama." Thariq menjawab segala kebingungan si penculik.

"Apa pun motif paman menculikku, tetap salah. Paman tadi menyebut aku dijaminkan pamanku. Siapa dia? Sejak kecil kami tinggal di panti asuhan." Balqis mendekat saat melihat suasana agak bersahabat.

Si penculik benar-benar salah tangkap. Rasa kecewa yang begitu besar hinggap di hatinya. Ingin sekali dia menghabisi dua remaja itu, tetapi nalurinya memberontak. Hati lelaki itu nyeri saat teringat, berapa banyak darah yang tumpah di tangannya. Dia gamang menghadapi kenyataan bahwa begitu mudah markasnya diketahui. Tentu mereka bukan orang sembarangan. Dia sudah memperhitungkan dengan matang. Dia pun memperkirakan akan ada banyak pasukan aparat yang mereka undang jika macam-macam.

"Jika Paman hendak menuntut janji, bukan begini caranya." Suara Balqis mengembalikan kesadaran si penculik.

"Kamu yang ada di foto ini?" tanya penculik itu seraya memperlihatkan foto.

Benar itu memang fotonya sedang kajian bersama kelompoknya.

"Paman yakin adikku targetnya?" selidik Thariq.

Sekejap kemudian tangan si penculik sibuk di atas gawai. Dia scroll beberapa pesan, lalu memperhatikan seksama komando dalam pesan itu. Tepat, dia memang salah tangkap. Balqis memang ada foto itu, tetapi berbeda target dengan komando. Gadis yang seharusnya ditangkap adalah yang berkerudung hijau.

"Tindakan Paman jelas tindakan kriminal. Jika Paman berani macam-macam, polisi akan segera datang. Tolong Paman kooperatif. Ceritakan kenapa sampai melakukan tindak kejahatan?"

Aliran kata begitu rapi keluar dari lisan penculik itu. Balqis dan Thariq mendengarkan dengan seksama. Tak lupa, Balqis merekam perkataan penculiknya itu. Laki-laki yang sempat dianggapnya bajingan itu mengaku seorang chef di sebuah kapal pesiar. Bagi Thariq, penculik ini bukanlah preman. Dia teliti lagi penampakan fisik lelaki bersinglet itu.

Si penculik datang untuk menagih janji wali kota yang telah memintanya menjadi sponsor saat kampanye. Kini, dia menagih janji pelunasan utang plus bunganya, sekaligus janji seorang gadis dari kota ini. Dia kecewa karena gadis yang diidamkan telah menikah. Sementara, wali kota itu telah menandatangani hitam di atas putih. Namun, sampai menjelang pilkada lagi, tak ada kabar dari sang wali kota. Maka, sesuai surat perjanjian, dia akan mendapat jaminan keponakan sang wali kota sebagai ganti gadis yang dimaksud. Sayangnya, wali kota bersikukuh membatalkan janji dan merobek surat perjanjian yang mereka sepakati.

Rangkaian kata itu terus mengalir. Seakan terdorong oleh nurani yang kerontang, si penculik mengutarakan seluruh kisah pahit noktah janji yang dia terima. Betapa kecewa dia saat mengetahui bahwa wali kota selalu mangkir membayar utang. Bahkan, beberapa jabatan penting yang dijanjikan pun lewat begitu saja, selalu diisi oleh sanak saudaranya. Maka, tak ada pilihan lain kecuali dengan cara menculik keponakan yang dijaminkan.

Dari sana, dia akan melakukan human trafficking lagi. Rencana busuk itu telah sampai ke meja perundingan transaksi. Harga gadis itu sekitar 250 dinar. Dia menjualnya ke pengusaha Kuwait yang menjadi relasi bisnisnya di negara tersebut.

Thariq menghela nafas. Betapa buruknya sistem kehidupan sekarang. Penculik itu bukan orang main-main. Thariq memutar otak bagaimana  caranya menggiring si penculik agar menyerahkan diri pada yang berwajib.

"Janji memang wajib ditepati jika itu bukan kemaksiatan." Thariq membuka suara.

Thariq lebih jauh memberi pandangan pada si penculik. Amanah itu wajib, apalagi untuk seorang pemimpin. Namun, cara meraih jabatan itu salah jika dengan jalan suap dan perjanjian yang diliputi kemaksiatan. Thariq menjelaskan betapa manusia itu lemah, terbatas, dan butuh pada yang lain. Namun, sedikit pun tak boleh manusia itu merusak tatanan kehidupan yang telah ditetapkan Sang Pencipta.

Utang-piutang riba juga tak luput dari pandangan Thariq. Dia meyakinkan si penculik bahwa riba adalah aktivitas yang diharamkan. Bahkan, dosa yang paling ringan seperti zina dengan ibu kandung sendiri.

"Maaf Paman, mungkin Paman sudah terbiasa dengan dunia lacur. Akan tetapi, apa paman rela berzina dengan ibu sendiri? Sekalipun paman nonmuslim, aku yakin tak akan mau melakukannya," ujar Thariq penuh penekanan.

Si penculik semakin gemetar. Kenapa remaja ini pengetahuannya luas, tak seperti kebanyakan remaja yang suka hura-hura. Dia tidak main kekerasan dan begitu tenang menasihatinya. Hati si penculik itu merasa ayem. Namun, sekujur tubuhnya bergetar diliputi rasa takut akan dosa. Bermunculan potongan-potongan kejahatan yang dia lakukan hanya untuk menagih janji yang telah dipenuhi noktah hitam.

Sesungguhnya nurani si penculik lebih condong pada kebenaran. Namun, harta, tahta, dan wanita telah menggelapkan hatinya selama ini. Selama ini, dia selalu dibayangi ketakutan setelah melakukan kejahatan. Dia berbalik arah menjauhi dua remaja itu.

"Pulanglah! Kalian bebas, biarkan aku sendiri menempuh jalanku. Terimakasih telah berbagi ilmu," kata si penculik kemudian. Dengan langkah cepat, dia pergi meninggalkan kakak beradik yang masih mematung.

Si penculik hendak pulang kampung menjumpai keluarganya. Dia pergi dengan sekeping hati yang telah kembali. Dia tak lagi hendak berburu noktah janji yang selama ini diingkari. Dia berdamai dengan ketetapan Sang Kuasa. Dia akan berguru pada di kampung halaman, mereguk luasnya Islam dalam memandang kehidupan. Dia sudah berazzam akan meninggalkan hiruk pikuk urusan dunia yang selama ini telah melilitnya[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Maafkan, Hidupmu Pasti Akan Bahagia
Next
Krisis Oksigen Kala Pandemi, Sungguh Mengiris Hati
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram