"Wafatnya orang berilmu adalah musibah yang tak tergantikan dan lobang menganga yang tidak bisa ditambal. Wafatnya orang berilmu seperti bintang yang redup. Wafatnya satu suku lebih ringan bagiku dibanding wafatnya orang yang berilmu." (HR Thabrani dalam Mu'jam Al-Kabir)
Oleh : Suryani Izzabitah
( Akademisi dan Aktivis Dakwah )
NarasiPost.Com-Pagi ini hujan masih membasahi tanah. Gerimis di hatiku juga belum beranjak. Kepergian seorang ulama hanif, menyisakan banyak isak di semua orang yang pernah berinteraksi dengan beliau. Pun, yang hanya membaca postingan lalu-lalang di beranda media sosial sejak berita kepergian sang Ulama.
Hari ini, Selasa, 6 Juli 2021 kami berencana untuk bepergian, ketika tiba-tiba kompleks ramai dengan teriakan anak-anak.
“Abinya Ahnan meninggal!” seru mereka hampir bersamaan.
Saya kaget dan mencoba mengatur napas, berharap anak-anak kecil itu salah. Sekejap, aku langsung berjalan menuju rumah yang biasa dihuni oleh sang Ulama bersama keluarganya, sekitar dua tahun lebih. Saya berharap, hanya ada rombongan keluarga yang mengantar ke Makassar. Tersebab, semalam dapat kabar dari pesan di WA grup bahwa kemungkinan sang Ulama akan dirujuk ke Makassar karena kondisi kesehatan yang makin memburuk.
Kulihat suami dan beberapa temannya sudah ada di depan rumah saudara sang Ulama dengan HP di tangan dan posisi menunduk. Saya melihat suasana agak mencekam. Suami terlihat sibuk dengan gawai di tangannya plus raut wajah yang kelihatan sedih. Aku menangkap sinyal bahwa berita kepergian sang Ulama, benar adanya. Tubuhku berbalik kembali ke rumah dengan perasaan tak menentu. Belum sampai di depan pagar rumah, air mataku tumpah tanpa bisa kutahan lagi.
Aku membuka HP, mencoba mencari kebenaran berita tersebut. Ya … Rabb, WA grup warga kompleks sudah ramai dengan ucapan doa dan belasungkawa. Berulangkali kulap kacamata, basah oleh air mata yang terus mengalir. Kini, air mataku semakin deras menganak. Rasanya seperti mimpi. Terbayang wajah sang Ulama yang senantiasa tersenyum ceria. Rasanya baru kemarin meninggalkan kompleks karena beliau diterima sebagai dosen Pascasarjana di kota lain. Kini, sang Ulama benar-benar telah pergi untuk selamanya.
Tetangga Panutan
Bertetangga dengan seorang ulama, terlebih ulama dengan keluasan ilmu dan keluhuran budi pekerti, sungguh sangat kusyukuri. Duduk di majelis ilmu dengan beliau adalah saat yang selalu kunanti di setiap Ahad ba’da salat Subuh. Kuupayakan semaksimal mungkin mengikuti semua majelisnya, sebab aku tidak ingin melewatkan kesempatan yang luar biasa tersebut. Pun, jika sesi diskusi, aku seringkali bertanya tentang berbagai hal, walau di luar tema. Sang Ulama pun menjawab dengan diawali senyum dan penjelasan yang rinci. Masyaallah!
Saat pandemi pun, kajian pekanan warga kompleks masih tetap berlanjut via zoom meeting. Aku masih setia menunggu momen itu dan tentu saja tidak melewatkan sesi diskusi. Alhamdulillah … Allah Swt. memberi kesempatan untuk menimba ilmu dengan beliau. Momen kajian inilah yang membuat hatiku bersedih ketika sang Ulama harus berpindah ke kota lain, terlebih ketika mengetahui bahwa Allah Swt. telah memanggil hamba-Nya yang saleh.
Banyak kisah yang menyiratkan jika beliau sangat layak menjadi panutan. Misal, ketika membeli tabung gas melon, sang Ulama akan membawa sendiri dan tidak ingin diantarkan ke rumahnya. Ketika kami bertemu, beliau selalu tersenyum sambil sedikit membungkuk. Saat bapak-bapak bergiliran piket di malam hari, beliau selalu datang on time di pos jaga dan bertugas berkeliling kompleks. Masyaallah, di tengah kesibukannya berdakwah di tengah-tengah umat, beliau masih bisa melakukan sendiri hal-hal seperti itu.
Suka Menolong
Ketika acara takziah yang diadakan via zoom meeting, aku serius mendengarkan testimoni senior maupun yunior beliau saat di Kairo, Mesir. Dari situ makin membuka mata saya bahwa beliau adalah sosok yang begitu baik, hampir tidak pernah menolak ketika dimintai bantuan. Kecerdasan di atas rata-rata yang dikaruniakan kepadanya, tak membuat sang Ulama menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan sebaliknya.
Kecerdasan sang Ulama, bukan saja dalam masalah fiqh perbandingan tujuh mazhab yang dengannya beliau diberi predikat Summa Cumlaude di promosi doktornya. Namun, dalam bidang sains, beliau juga hebat. Seperti yang dituturkan teman sejawatnya, beliau sering membantu merakit komputer. Hal ini dilakukan agar temannya bisa terbantu untuk memiliki komputer dengan biaya yang murah.
Dalam sebuah diskusi, saya mendengar teman bercerita jika sang Ulama tidak ingin mengambil amplop yang diberikan selepas mengisi kajian di suatu forum. Benar-benar ilmu yang diberikan tidak ingin terwarnai dengan hal-hal yang mungkin saja berpotensi merusak niatnya. Dakwah semata-semata dilakukan ikhlas karena Allah.
Akhir yang Indah
Ada cerita sebelum ajal menjemput sang Ulama. Sebelum subuh di tanggal kepergiannya itu, sang Ulama sempat berkata ke istri tercinta jika beliau melihat ada tamu yang datang. Sang istri yang tak melihat apa-apa, terlebih masih dini hari, terus mengingatkan sang suami untuk beristighfar, baca ayat Kursi, dan terus berzikir. Sang Ulama pun berkata,
“Terima kasih, Dek, tamunya sudah pergi.”
Sempat sang istri bertanya,
“Tamunya laki-laki atau perempuan, Kak?”
Sang Ulama menjawab, “Perempuan, Dek.”
Selanjutnya, waktu salat Subuh pun tiba. Sang Ulama tayamum karena kondisi beliau yang sangat lemah. Istri pun bercerita kalau saat salat itu, Sang ulama bersuara lantang. Padahal sebelumnya, suara lemas karena kondisi kesehatan memang makin memburuk. Pagi harinya, sang Ulama berkata ke istri tercinta,
“Kerja apa disitu, Dek?”
Sang istri menjawab, “Tidak ada, Kak.”
Beliau kemudian berkata, “Sini, dekat saya duduk. Jangan di situ karena banyak orang mau lewat.”
Istri kebingungan karena tak melihat seorang pun dalam ruangan tersebut. Lalu berkata, “Di mana?”
Sang Ulama berkata lagi, “Di situ banyak orang.”
Apakah itu rombongan malaikat yang menjemput sang Ulama? Wallahua’lam.
Kita sebagai manusia biasa, tak paham akan isyarat yang diberikan oleh Allah Swt. di akhir hidup kita. Namun, begitu banyak kisah teladan yang dituturkan oleh orang-orang yang pernah berinteraksi dengan beliau. Kesemuanya membuatku tersadar, betapa beliau adalah mutiara umat. Sikap seorang ulama, benar-benar tergambar darinya. Terlebih, selama di Makassar beliau sangat aktif mengisi forum-forum, baik offline maupun online. Dakwah Islam kafah senantiasa mewarnai lisannya, tanpa takut sedikit pun. Walau kadang diingatkan oleh saudaranya, mengingat kondisi dakwah di Indonesia kurang kondusif. Namun, beliau tetap menyampaikan dengan lantang disertai dalil-dalil pasti (qoth’i).
Selamat jalan sang Ulama, pesonamu sebagai seorang ‘alim begitu luar biasa, menyadarkan kami yang masih di dunia, untuk senantiasa mengejar ilmu untuk bekal beramal sebaik-baik amal. Tak sekadar menuntut ilmu, tetapi juga mengamalkan dan mendakwahkannya. Insyaallah, ilmu yang pernah aku dengar dari lisanmu, akan kulaksanakan, berharap semoga tetap bertetangga kelak di surga-Nya, aamiin yaa mujibassailin.
Wallahua’lam bish shawab[]
photo : pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]