Panic Buying Mencuat (lagi), Dimanakah Peran Negara?

Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi dari Abu Maryam)


Oleh: Nur Jamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Melonjaknya kasus Covid-19 membuat fasilitas kesehatan kolaps. Pasien yang semakin membludak setiap harinya tidak berbanding lurus dengan fasilitas kesehatan yang justru menurun, bahkan nyaris langka. Bila sebelumnya masker dan APD stoknya nyaris hilang di pasaran, bila pun ada harganya selangit, sekarang giliran oksigen menjadi the most wanted item. Hal tersebut menimbulkan panic buying, anggota masyarakat saling berebut mendapatkan komoditas yang diinginkan. Para produsen dan kartel ikut bermain harga dari barang yang diproduksinya. Mengapa hal ini terus berulang? Lantas dimanakah peran negara dalam mengatasi hal ini?

Sejumlah rumah sakit di Indonesia melaporkan mulai kesulitan pasokan oksigen saat pasien Covid-19 terus bertambah. Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, meminta masyarakat yang menjalani isolasi mandiri tidak berbondong-bondong membeli tabung oksigen untuk persediaan. Dia mengingatkan saat ini pasien Covid-19 yang bergejala sedang dan berat di rumah sakit lebih membutuhkan tabung oksigen. Sebelumnya, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyatakan selama ini produksi oksigen sebanyak 75 persen untuk industri, sementara 25 persen untuk medis. Saat ini, ia telah mengimbau kepada produsen oksigen agar ada konversi oksigen medis menjadi 90 persen dari total produksi. Selain itu, ada masalah lain yakni distribusi oksigen yang lambat dan belum merata. Untuk mengantisipasi kelangkaan gas oksigen, pemerintah pun berencana untuk melakukan impor. Sudah ada empat perusahaan asing telah dibidik pemerintah. (www.liputan6.com, 05/07/2021)

Indonesia kembali memberikan 2.000 unit tabung oksigen ke India untuk membantu korban Covid-19 di sana. Ini merupakan pengiriman tahap ketiga melengkapi komitmen hibah kemanusiaan Indonesia kepada India di tengah pandemi Covid-19. Indonesia sebelumnya mengirim 1.400 unit tabung oksigen yang diterima oleh IRCS Mumbai pada 8 Juni dan 200 konsentrator oksigen yang tiba di New Delhi pada 12 Mei lalu. (www.cnnindonesia.com, 28/06/2021)

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan bahwa pemerintah mengimpor 10 ribu konsentrator oksigen untuk memenuhi kebutuhan pasien Covid-19. Konsentrator ialah alat yang berfungsi memproses oksigen dengan cara mengambil udara di sekitar alat tersebut. Sebagian diantaranya didatangkan dari Singapura dan Cina. (www.idxchannel.com, 07/07/2021)

Panic Buying Timbulkan Dampak Sistemik

Miris. Inilah gambaran karut-marutnya penanganan pandemi Covid-19 di negeri ini. Munculnya panic buying terhadap oksigen yang saat ini sangat diperlukan masyarakat, disambut pemerintah dengan menghibahkan ribuan tabung oksigen ke India. Tak hanya itu, pemerintah bahkan telah mengimpor konsentrator oksigen dari negara Singapura. Inilah permasalahan yang ikut mewarnai deretan masalah di masa pandemi yang berkepanjangan ini.
Wabah virus corona telah mendorong masyarakat melakukan panic buying. Pada awal pandemi sejumlah komoditas seperti masker, hand sanitizer, dan bahan pangan juga menjadi rebutan konsumen. Kini, hal tersebut berulang, tak hanya terjadi pada oksigen, tapi juga vitamin dan obat-obatan, serta susu steril kemasan kaleng dengan merk tertentu. Mereka menyerbu toko, apotek, dan online shop untuk memborong komoditas itu dalam jumlah banyak.

Dilihat dari ilmu saraf, pandemi Covid-19 dianggap manusia sebagai ancaman, membuat bagian otak bernama amygdala memproses rasa takut dan emosi. Professor Psikologi di Universitas Hong Kong, Dr. Christian Chan, menyebut jika tingginya level kegelisahan pada gelombang kepanikan dan latahnya para warga menunjukkan kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah. Dalam sejarah, kepercayaan rakyat dengan pemerintah sudah tercatat rendah. Ucapan ‘jangan panik’ dari pemerintah justru membuat masyarakat lebih tidak percaya dengan pemerintah dan menjadi berpikir irasional serta berpikir pemerintah menyembunyikan sesuatu dari publik (www.intisari.grid.id, 4/07/2021).

Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya panic buying, yaitu pertama, masyarakat gagal mengatasi dan mengendalikan kecemasan, karena bertindak tidak berdasarkan informasi resmi dan benar, dengan kata lain mudah termakan berita hoaks. Kedua, pemerintah tidak menyediakan bukti sosial konkret berupa persediaan logistik yang tersedia, masyarakat hanya dibuai dengan berita kecukupan stok, tapi barang masih tertimbun di pabrik dan belum terdistribusikan dengan merata di tengah masyarakat. Ketiga, tidak adanya transparansi pemerintah dalam hal penanganan virus corona (Covid-19). Keempat, pemerintah hanya mengeluarkan imbauan bagi pelaku usaha ritel agar meratakan distribusi dan tidak menaikkan harga, tapi tidak menindak tegas kepada oknum yang menimbun pasokan barang yang memicu kenaikan harga.

Mencermati berbagai kebijakan penguasa atas persoalan langkanya oksigen dan alat-alat medis akhir-akhir ini, menjadi bukti paling jelas ketidakberdayaan pemerintah dalam mengendalikan harga. Ternyata mekanisme distribusilah yang menjadi persoalan mendasar kelangkaan pada komoditas yang paling urgen dibutuhkan masyarakat, terlebih di masa pandemi. Ini senantiasa berulang di negeri kita. Kalau sudah langka, otomatis harganya terjun bebas. Menyikapi kenaikan harga-harga produk tertentu, bisa jadi adanya kartel yang mempermainkan harga-harga.

Kartel adalah sebuah kelompok (grup) dari berbagai badan hukum usaha yang berlainan yang bekerja sama untuk menaikkan keuntungan masing-masing tanpa melalui persaingan usaha dengan pelaku usaha lainnya. Mereka adalah sekelompok produsen atau pemilik usaha yang membuat kesepakatan untuk melakukan penetapan harga, pengaturan distribusi dan wilayah distribusi, termasuk membatasi suplai. Praktik kartel bisa dilakukan oleh kalangan produsen mana pun atau untuk produk apa pun, mulai dari kebutuhan pokok (primer) hingga barang kebutuhan tersier.
Namun, masalah utamanya terletak pada politik atau kebijakan dari pemerintah. Dan politik ekonomi itu adalah persoalan distribusi. Sementara yang menguasai distribusi komoditas kita, termasuk menjadi pengendali harga di tingkat produsen atau pasar, selama ini adalah para pemodal besar.

Seharusnya, jika pemerintah serius dan berpihak kepada rakyat, yang dilakukan adalah memotong mata rantai distribusi yang membingungkan. Sistem politik demokrasi menjadikan penguasa tidak berdaya menjalankan politik ekonomi yang berpihak kepada rakyat.
Sayangnya, penguasa dalam sistem kapitalisme saat ini berfokus pada jumlah produksi semata, perkara distribusi tak jadi perhatian. Seperti pada kasus stok oksigen untuk medis, jika memang stok aman karena produksi yang mencukupi, maka tugas negara jangan terhenti pada memastikan stok. Negara wajib memastikan stok itu telah terdistribusi secara memadai pada pihak yang membutuhkan, baik itu rumah sakit maupun warga yang isolasi mandiri di rumah. Negara harus memastikan bahwa oksigen itu siap pakai saat dibutuhkan, bukan hanya stok aman, tapi ternyata masih di pabrik, sehingga butuh waktu untuk mengirim. Sementara menunggu sampainya kiriman oksigen, banyak orang yang telah meregang nyawa.

Tak hanya itu, pemerintah telah mengimpor alat konsentrator oksigen kepada Singapura. Bahkan, bukan hanya produk gas oksigen medis saja yang akan diimpor, tetapi produk dan alat kesehatan yang diperlukan juga akan impor. Mengapa opsi ini lagi-lagi dipilih pemerintah, padahal upaya optimal untuk mengonversi produksi oksigen secara 100 persen untuk kebutuhan medis belum terealisasi.

Inilah wajah asli negara kapitalisme. Selalu berdalih mencari pembenaran untuk memuluskan jalan impor. Enggan bersusah payah mengupayakan agar produksi oksigen meningkat. Padahal, ketergantungan pada impor akan memperlemah negeri. Seperti candu yang sulit diatasi. Negara sudah salah langkah dan hilang arah.

Ri'ayah Islam Meniadakan Panic Buying

Islam merupakan ajaran unik yang memiliki seperangkat aturan komprehensif. Diturunkan ke muka bumi sebagai kompas hidup manusia bernyawa. Wabah sebagai bagian dari sunnatullah, bukan hal yang baru terjadi di masa kini saja. Dunia pernah mengalami masa-masa sulit di tengah wabah. Namun, umat muslim saat masih dinaungi sistem Islam, yakni Khilafah, terbukti mampu mengatasi semua wabah itu. Tentu saja bukan kebetulan semata, tapi berkat aturan Ilahi yang mumpuni menyolusikan problematika.

Dalam menghadapi wabah, hal penting yang harus ada yakni pemimpin salih, amanah, dan piawai dalam meri'ayah warga negaranya. Pemimpin harus optimal mengurusi rakyatnya serta memenuhi berbagai kebutuhannya. Tak boleh terbesit sedikit pun parameter untung rugi dalam melayani rakyat. Juga sistem yang benar dan unggul yang mampu mengatasi wabah yakni Khilafah, sistem politik menempatkan syariat Islam kafah sebagai solusi atas semua masalah.

Sebagaimana yang diingatkan oleh Rasulullah Saw:

Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi dari Abu Maryam)

Islam memandang kesehatan sebagai salah satu kebutuhan asasi publik, baik kepada muslim ataupun nonmuslim. Oleh karena itu, negara wajib bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara. Layanan kesehatan berkualitas dijamin ketersediaannya. Semuanya digratiskan oleh negara bagi seluruh warga negara yang membutuhkannya, tanpa membedakan agama, status sosial, ras, dan warna kulit dengan pembiayaan bersumber dari Baitul Mal.
Terlebih di masa wabah, kebutuhan akan oksigen, obat-obatan, vitamin, vaksin, masker, hand sanitizer, dan alat kesehatan lainnya meningkat tajam. Khilafah akan menjamin ketersediaan stok dan distribusinya kepada semua pihak yang membutuhkan. Perusahaan kartel tak akan diberi ruang untuk mempermainkan stok dan harga produk atau alat kesehatan, karena seluruh kendali terpusat di tangan Khalifah. Memprioritaskan kebutuhan dalam negeri, sebelum menghibahkan kepada negara luar. Bahkan menutup keran impor dengan menggenjot produksi hingga mampu mencapai target yang ditetapkan.

Oleh karena itu, fenomena panic buying tidak akan terjadi pada masa Khilafah. Karena faktor pemicunya tidak ada, juga kesadaran masyarakat akan status hukum panic buying. Pada dasarnya, hukum asal berbelanja dalam jumlah banyak adalah mubah, akan tetapi dalam kondisi tertentu, belanja borongan sebaiknya tidak dilakukan. Misalnya ketika ketersediaan barang dan pangan terbatas.

Begitu pula dengan panic buying, fenomena belanja dalam jumlah besar karena cemas dan takut ini sebenarnya bisa merugikan. Mengakibatkan perputaran stok barang menjadi tidak stabil dan penyebarannya tidak merata. Orang lain yang membutuhkan akan kesulitan menemukan barang yang dicari karena barang tersebut sudah diborong oleh sebagian yang lain.

Penimbunan barang di dalam Islam dikenal dengan sebutan ihtikar. Hukum pelarangannya berdasarkan hadis-hadis berikut; Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Bakar bin Abi Syaibah;

Tidak menimbun kecuali orang yang berdosa.”

Kedua, hadis dari Nashr bin Ali Al-Jahdlam;

“Orang-orang yang menawarkan barang dan menjualnya dengan harga murah (jalib) diberi rezeki, sedangkan orang yang menimbun dilaknat."

Ketiga, hadis dari Yahya bin Hakim;

“Siapa saja yang menimbun makanan orang Islam Allah Swt akan menghukumnya dengan penyakit kusta atau bangkrut.”

Upaya antisipasi dan berhati-hati memang dibolehkan, namun sebaiknya tidak berlebihan. Sebab, rasa takut dan cemas adalah tipu daya setan. Berbelanjalah secukupnya sesuai keperluan, sebab saudara-saudara kita yang lain pun membutuhkan.

Demikianlah cara Khilafah meniadakan fenomena panic buying. Sistem yang pernah berdiri sekitar 13 abad ini, telah menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi berbagai problematika termasuk wabah di masanya. Sudah saatnya kita keluar dari wabah ini dengan solusi Islam dan Khilafah. Allahu Akbar!!!
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
PPKM Darurat : Siapa yang Diselamatkan?
Next
Ilusi Pembebasan Palestina Tanpa Junnah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram