"Kebingungan dan kegalauan mengusikku yang saat itu sebenarnya tidak mengetahui jelas masalah perpisahan mereka. Bahkan, sempat terlintas dan terbesit keinginan, bahwa salah satu dari mereka tiada agar tidak ada lagi yang merasa dirugikan, tidak ada lagi yang merasa tersakiti."
Oleh. Ummu Muza
NarasiPost.Com-Allah SWT berfirman:
اَحَسِبَ النَّا سُ اَنْ يُّتْرَكُوْۤا اَنْ يَّقُوْلُوْۤا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَـنُوْنَ
"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, kami telah beriman dan mereka tidak diuji?" (QS. Al-'Ankabut [29]: 2)
Potongan ayat di atas menyindirku. Bagaimana tidak? Aku mengenal jalan itu pada awal tingkat dua di bangku kuliah, jalan terjal yang mengantarkan pada makna hidup.
Aku mencoba memahami tiga pertanyaan besar yang setiap manusia akan mencarinya. Lalu, Allah menguji keyakinanku bergabung dalam sebuah jamaah.
Aku terlahir dalam keadaan muslim, tetapi belum memahami Islam secara mendalam, hingga salah satu teman sekelas mengenalkanku pada sebuah kajian yang diadakan Lembaga Dakwah Kampus Eksternal.
Selama satu tahun, kajian intensif kujalani. Tidak terasa, di tingkat dua itulah aku azamkan diri bergabung dalam sebuah jamaah dakwah. Seperti kutipan ayat dalam firman-Nya di atas, saat hidup kuserahkan di jalan dakwah, badai ujian itu datang.
Bisa jadi, sebagian orang hanya mengira ujian itu biasa saja, berbeda denganku. Anak mana pun tidak berharap kedua orang tuanya berpisah. Meskipun seorang anak yang beranjak dewasa tidak ada yang menginginkan keluarganya pecah.
Saat itu, kupikir orang tua hanya memikirkan diri dan perasaan mereka. Apakah mereka tidak memikirkan bagaimana kondisi psikis anak mereka yang menyaksikan dan menyadari bahwa keluarga bahagia mereka retak bahkan pecah berkeping?
Hancur, kecewa, ingin rasanya menenggelamkan diri menjauh dari keramaian, apalagi rumah yang masih ditempati diperebutkan. Terjadilah sengketa, hingga aku harus menjadi penengah antara kedua orang tua, penengah yang tidak kuasa kulakukan, karena tidak bisanya diri ini memihak salah satu dari mereka.
Bapak yang masih tetap tinggal di rumah enggan untuk keluar dan tidak mau kalau rumah dijual. Sedangkan mama yang memilih keluar dari rumah setelah sidang pengadilan, merasa tidak adil jika rumah ditinggali oleh mantannya, apalagi jika bapak menikah lagi dan ditinggali bersama istrinya.
Kebingungan dan kegalauan mengusikku yang saat itu sebenarnya tidak mengetahui jelas masalah perpisahan mereka. Bahkan, sempat terlintas dan terbesit keinginan, bahwa salah satu dari mereka tiada agar tidak ada lagi yang merasa dirugikan, tidak ada lagi yang merasa tersakiti.
Jika mengingat keinginan itu, aku merasa menjadi anak durhaka.
Rumah tidak lagi menjadi tempat pelipur lara dan pengobat rindu pada keluarga. Setiap kali pulang ke rumah, menempati kamar dan setiap sudut rumah, selalu terbayang kehidupan harmonis, canda-tawa yang tertinggal di sana. Akhirnya, hanya tangisan dan kesedihan yang kurasakan sehingga aku jarang pulang, lebih senang berkutat dengan amanah dakwah.
Liburan kusibukkan diri dengan mengkaji, kontak, diskusi, dan membuat tulisan. Aktivitas itu menjadi penghibur dan penguat. Menanyakan kabar mereka hanya melalui telpon selular.
Jika ditanya apakah sudah ikhlas, entahlah. Meski saat itu bibir berucap ikhlas dengan qada Allah atas perpisahan mereka, tetapi setiap kali mereka menghubungi atau aku menceritakan kondisiku, muncul rasa sesak dan linangan air mata. Kuulangi bahasan kajian "Qada dan Qadar" hingga bahasan "Ikhlas Menerima Qadha", mudah diucapkan sulit diterapkan.
Hingga tak dapat dimungkiri, fokus kuliah pun teralihkan. Meski di luar sana atau siapa pun mengatakan, jadikan masalah sebagai pembuktian diri, tetapi ternyata belum berlaku bagiku.
Namun, rasa syukur tak terhingga kupanjatkan pada Rabbul Izzati. Pertolongan-Nya telah menunjukkanku pada jalan dakwah. Meski terkadang tidak percaya diri mengemban amanah langit, tetapi aku berpikir, dengan apa lagi bisa menolong orang tuaku di akhirat kelak selain kontribusi di jalan Allah.
Sehingga, setiap kali mama mengatakan bahwa aktivitas ngaji telah mengganggu kuliah, dengan tegas kutepis
"Jangan salahkan ngajiku! Salahkan saja sikapku yang terkadang lebih mementingkan amanah dalam jamaah."
Bayangkan, jika di tengah keterpurukan, aku justru menjauh dari jamaah, memilih sendiri dengan kesibukkan duniawi hingga berhasil menggapai eksistensi diri, bisa jadi aku tidak akan seperti saat ini.
Memang ini menjadi kekuranganku. Entah berapa dosa yang harus kutebus karena harapan yang sempat terlintas dalam benak atau ujian lainnya dalam menuntut ilmu.
Di satu sisi, aku tetap hadir di kelas, tetapi aku tertinggal dibanding teman seangkatan yang lebih dulu lulus. Aku harus mengulang beberapa mata kuliah yang ternyata membuatku jungkir balik untuk memahaminya. Bahkan, aku sampai mengambil SP (Semester Pendek).
Terkadang aku menyalahkan keadaan karena perpisahan mereka. Akhirnya malah perasaan melow terus menggelayut. Ada semacam tembok besar yang sangat sulit kuhancurkan.
Di tengah kegundahan, perselisihan mereka pun mencuat kembali.
Rasanya saat itu ingin sekali lari dari kenyataan. Hingga di semester delapan, seorang ikhwan mengajukan ta'aruf. Sempat terlintas apakah aku menikah saja, agar masalah pertingkaian mereka bisa mereda, dan aku bisa hidup terpisah dari mereka?
Akhirnya, pengajuan ta'aruf kusambut. Kupinta CV miliknya dan menyerahkan pula CV-ku. Di dalam CV kujelaskan bagaimana kondisi keluarga yang tidak utuh agar kelak dia juga memahami bagaimana visi misi di tengah keluarga besar kami, jika Allah menakdirkan kami berjodoh.
Singkat cerita, dia memutuskan untuk tidak melanjutkan taaruf ke proses khitbah setelah menunggu beberapa bulan untuk dia datang bertamu. Kecewa, menangis? Tentu. Bukan berarti aku menyukainya, tetapi di sana aku menyimpan harapan, dengan menikah bisa keluar dari masalah.
Saat itu pula aku sadar, niat menikahku tidak lurus, ditambah menyimpan harapan pada manusia. Banyak pelajaran bisa diambil dari kegagalan taaruf itu.
Padahal, saat itu aku sedang berusaha menyelesaikan masalah kuliah, dilanjutkan tetap mengeksiskan diri menjadi bagian yang pantas mengemban amanah langit. Aku terus mengkaji Islam, hingga mengetahui sebab perpisahan orang tuaku, yaitu kurangnya pemahaman Islam tentang hak dan kewajiban. Hal itu menjadi bekal bagiku, jika Allah menghendaki bertemu jodoh di dunia.
Kuyakin, hal itu di luar kekuasaan manusia. Allah Yang Maha Memberikan ilmu. Di tahun terakhir kesempatanku menyelesaikan kuliah, akhirnya kucoba memfokuskan diri. Kuazamkan diri dengan perbanyak salat taubat, hajat, hingga istikharah.
Aku meminta pertolongan Allah untuk membantuku mewujudkan cita-cita yang diharapkan orang tua, meneguhkan hati yang masih terasa goyah.
Ternyata Allah berkehendak lain. Bukan kemudahan dalam menyelesaikan kuliah, justru Allah datangkan jodoh yang tidak disangka. Saat itu sudah lewat dua tahun dari gagalnya ta'aruf. Tiba-tiba aku dihubungi salah satu kakak tingkat di LDK, menawarkan CV seseorang.
Sebenarnya, saat itu aku merasa belum pantas untuk menikah. Namun, di satu sisi kesiapan sudah kupegang. Izin orang tua sudah kumiliki, juga konsep dan ilmu pernikahan meski sedikit. Hanya saja, ada faktor ketidakpercayaan diri untuk menerima ta'aruf. Salah satunya adalah keluarga yang tidak utuh.
Akhirnya kucoba menyetujui ta'aruf. Di sana, sama sekali hatiku tidak terpaut pada kriteria calon pasangan. Sepenuhnya kuserahkan pada kekuasaan Allah. Apa pun keinginanku sudah kuutarakan pada-Nya.
Ternyata benar saja, Allah mudahkan jalannya. Sore baru kuterima CV, esoknya kami melakukan pertemuan ditemani masing-masing penyambung. Dan di pertemuan itu pula, laki-laki tersebut memutuskan untuk lanjut ke khitbah di pekan berikutnya.
Masih serasa mimpi. Sepekan setelah pertemuan, akhirnya lamaran. Sebulan dari lamaran, langsung menikah dengan resepsi sederhana di hari penuh berkah, insyaallah.
Salah satu yang sangat kusyukuri adalah memiliki suami yang sefikrah, satu jamaah, memahami kondisi psikis diri sehinga menjadi teman cerita. Kriteria yang kuinginkan ternyata Allah kabulkan. Keluarga suami yang terbuka, harmonis, lengkap, sampai terasa sebagai keluargaku yang baru kembali.
Allah berikan kasih sayang keluarga yang utuh ada di keluarga baruku. Inilah rasa syukur saat kupilih dakwah sebagai jalan hidupku. Allah berikan setelahnya pengganti sesuatu yang pernah diambil. Itu baru di dunia, apalagi kelak di yaumil akhir.
Meskipun cita-cita menjadi sarjana sebagaimana harapan orang tua belum terwujud, setelah proses diskusi dan penjelasan akhirnya mereka memahami kondisi. Mereka sudah rida.
Namun, ini tetap menjadi utang bagiku. Suami pun mendukung jika kelak ada kesempatan, aku bisa mengejar ketertinggalan meraih gelar sarjana yang sempat tertunda.
Iya, bisa jadi Allah belum memberikan waktu yang tepat, insyaallah di waktu yang tepat.