Haruskah Menjadi Intelektual Harapan Presiden?

"Toleransi sering dijadikan dalih untuk mencampuradukkan agama satu dengan agama lain dan jelas membahayakan para intelektual sehingga mengalami krisis identitas, dan membahayakan akidahnya."


Oleh. Intifada Birul Umaroh
(Aktivis Muslimah)

NarasiPost.Com-Intelektual dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi, memiliki kesadaran terutama menyangkut pemikiran dan pemahaman. Intelektual merupakan kaum dambaan masyarakat yang sangat dinantikan masukannya dalam menyelesaikan problematika kehidupan. Namun sayangnya, penantian itu masih belum terealisasi. Kaum intelektual tampaknya akan disibukkan dengan persembahan untuk presiden dan jajarannya.

Dilansir dari mediablitar.pemikiran-rakyat.com, disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi dalam perbincangannya bersama Mendikbudristek, terdapat lima harapan besar untuk lulusan perguruan tinggi, salah satunya adalah berdedikasi kuat untuk kemanusiaan dan kemajuan bangsa serta toleransi dalam kebinekaan. Jum’at (18/06).
Itu watak yang tidak boleh ditawar,” ucap Presiden Jokowi dalam acara Festival Kampus Merdeka yang diselenggarakan Kemendikbudristek secara virtual, Selasa (15/6).

Apabila bicara tentang berdedikasi kuat untuk kemanusiaan dan kemajuan bangsa, tentu menjadi harapan bagi kita semua. Tapi, ada satu watak yang butuh kita telisik lebih dalam yaitu toleransi. Karena faktanya multitafsir. Toleransi sering dijadikan dalih untuk mencampuradukkan agama satu dengan agama lain. Misalnya, atas dasar toleransi di Gereja Katedral Jakarta pada Jum’at (1/6) terdapat puluhan umat Islam berkeliling di aula gereja dan melakukan buka bersama. Adapun pada bulan Mei 2021, terdapat kelompok paduan suara nonmuslim di Masjid Istiqlal, belum lagi dengan proyek pemerintah pembangunan terowongan silaturahmi yang menghubungkan antara Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral. (merdeka.com,21/06)

Karena itu, mari kita dudukkan toleransi seperti apa yang diharapkan oleh Presiden Jokowi. Dikutip dari Kompas.com, ternyata toleransi yang dimaksud adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan, termasuk keyakinan untuk tercapainya kesamaan, perdamaian dalam keberagaman. Tidak boleh ada praktik sikap keras, tertutup, eksklusif dalam beragama, melainkan harus menunaikan sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika. Oleh karenanya, harus senantiasa ada upaya untuk mendorong moderasi beragama.

Praktik toleransi tersebut, dilakukan dengan menumbuhkan sikap netral dalam menyikapi perbedaan beragama, menjunjung ide pluralisme (menganggap semua agama sama), sensitif terhadap suara gerakan perjuangan Islam yang dipandang mengancam Bhineka Tunggal Ika. Belum lagi bentuk inkonsistensi makna toleransi berujung pada bangga terhadap budaya Barat, enggan berislam secara keseluruhan, berbondong-bondong membela agama lain tetapi abai dengan bentuk penghinaan terhadap agama Islam. Demikian itulah narasi toleransi yang selalu dihembuskan ke benak kaum muslimin, dan intelektual pun menjadi sasaran empuk atas narasi tersebut. Bertahap dari level praktik yang sangat kental terjadi, semisal saling mengucapkan selamat hari raya di setiap momen keagungan, budaya mengucapkan salam keagamaan, hingga pada level menganggap semua agama benar alias pluralisme.

Jika toleransi di atas yang diharapkan presiden, secara tidak langsung hal tersebut akan membuat para intelektual mengalami krisis identitas, dan membahayakan akidahnya. Oleh karena itu, perlu diluruskan kembali terkait hakikat toleransi dan praktik yang semestinya.
Toleransi secara bahasa adalah menahan perasaan tanpa protes. Secara garis besar (dalam KBBI), toleransi mengandung arti sikap untuk saling menenggang (menghormati, menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan) yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya, baik antarindividu ataupun kelompok. Dalam Islam pun sangat jelas antara pelaksanaan dan batasan toleransi, tercantum dalam QS. Al-Kafirun (139) ayat 1-6.
Bukan berarti Islam tidak menerima keberagaman, sebab keberagaman agama dalam Islam adalah keniscayaan. Islam menerima pluralitas yang merupakan pengakuan atas keberagaman dan sebuah fakta sosiologis yang tidak bisa ditolak. Sebaliknya, pluralisme (menurut Anis Malik Thoha) adalah sinkretisme teologis atau legitimasi semua agama sama, maka wajib ditolak karena haram. Sehingga, adanya perbedaan pun bukan untuk perselisihan atau perpecahan, tetapi untuk mengenal satu sama lain. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

Demikianlah toleransi dalam Islam. Maka adanya upaya moderasi beragama dan dorongan mengambil sikap pluralisme atas dasar kebhinekaan menjadi bukti kesalahkaprahan toleransi. Upaya tersebut justru semakin menjauhkan intelektual dari identitas keIslamannya. Karenanya, kaum muslimin khususnya intelektual harus memahami hakikat toleransi dalam Islam secara benar, dan menolak narasi toleransi yang dihembuskan Barat.[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Nestapa Tunggakan Insentif Nakes, Kemana Larinya Anggaran Dana Covid-19?
Next
Ketika Anakku Bertanya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram