Lelah Dakwah Tetap Dakwah

"Dakwah memang melelahkan namun selaku muslim di tuntut untuk terus melakukannya. Dalam kondisi apa pun dakwah bisa dilakukan dan harus dijalankan, seburuk apapun kondisi kita, terlebih lagi saat kita dalam kondisi baik-baik saja."


Oleh. Putri Achmad

NarasiPost.Com-Membaca tulisan dari seorang ustaz pejuang Islam kafah tentang seseorang yang terbersit keinginan untuk cuti dakwah, saya teringat suatu peristiwa belasan tahun lalu. Di sebuah masjid besar yang ternama di kota pelajar, saya janjian bertemu dengan seseorang yang hendak menyampaikan sesuatu. Sebenarnya, saya sudah dapat bocoran tentang apa yang akan disampaikan saudari saya itu. Ya, rehat sejenak dari aktivitas dakwah. Ia merasa cukup berat menjalankan peran sebagai mahasiswa, anak, sekaligus pengemban dakwah. Memang, jurusan yang ia masuki adalah jurusan yang banyak praktikum. Namun, apakah hal ini menjadi pemakluman sekaligus pembenaran seorang mukmin meninggalkan kewajiban dakwah?

Terlihat kegundahan di raut wajahnya saat saya mulai bertanya perihal apa yang ingin ia bicarakan. Ia tampak ragu-ragu karena mungkin ia sangat tahu benar bahwa apa yang hendak ia utarakan bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk didengar apalagi enak dibahas. Setelah ia mengutarakan isi hatinya tentang keinginan rehat dari dakwah, tibalah saatnya saya menanggapi. Saya coba tenang, walaupun dada ini bergejolak karena ada rasa kesal mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari lisannya. Saya sampaikan keheranan saya padanya, mengapa ia terpikir untuk menanyakan boleh tidaknya ia rehat dari dakwah kepada saya? Lha, wong status saya itu sama sepertinya. Sama-sama ditaklif kewajiban dakwah dari Allah Swt (Tuhan yang kami yakini bukan hanya sebagai Pencipta, tapi sekaligus Pengatur hidup kami). Jadi, untuk apa saudari saya meminta izin pada saya? Gusti Allah yang memerintahkan kita berdakwah, ya izinlah pada-Nya. Saya tidak punya wewenang memberi izin atau tidak mengizinkan seorang hamba Allah Swt berhenti menjalankan suatu kewajiban, meskipun berhenti sementara.

Saudari saya terdiam setelah mendengar jawaban dari saya. Jelas bingung mau jawab apa. Pertanyaan saya padanya bersifat retorik. Sama sebagaimana pertanyaanya kepada saya. Tidak perlu saya jawab karena sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Pernah pula saya ngobrol dengan teman satu jema’ah dakwah. Kita sama-sama sedang membahas kegiatan dakwah untuk para remaja. Ada satu orang kawan dalam tim kami yang lama merespon saat ditanya kapan bisa rapat guna membahas agenda dakwah dalam waktu dekat ini. Sebut saja, Fulanah. Teman saya berhusnudzon bahwa Fulanah mungkin sibuk, belum bisa rapat. Saya timpali saat itu bahwa dakwah yang kita lakukan ini adalah kewajiban. Posisinya sebagaimana kewajiban lainnya. Coba deh jika kita sudah paham wajibnya salat lima waktu, maka sesibuk apa pun kita pasti akan menyempatkan menunaikan salat. Tidak menunggu kita luang baru kita kerjakan salat. Begitu juga dengan dakwah, jangan dikerjakan saat kita jadi pengagguran, hehe. Yah, semua orang yang masih hidup pastinya sibuk dan paling sering menjadikan alasan ‘sibuk’ sebagai dalih tidak berdakwah. Bagi saya, selama kita hidup pasti sibuk, sibuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, baik berupa pemenuhan terhadap kebutuhan fisik atau jasmani, begitu juga untuk memenuhi kebutuhan naluri. Cuma satu manusia yang tidak sibuk, yaitu manusia yang sudah mati!

Saat kita merasa lelah dalam menjalani kehidupan, penat, tertekan dengan banyak masalah adalah hal wajar dialami siapa pun. Inilah risiko hidup dalam kungkungan aturan sekuler. Inilah kesempatan kita untuk membuktikan pada-Nya siapakah di antara kita yang paling baik amalnya. Apa yang kita alami di dunia adalah ujian. Lagi pula, mana ada ujian yang selalu bisa dilewati tanpa susah payah, pengorbanan dan perjuangan. Untuk bisa dapat perhatian mertua atau pasangan hidup saja kita kudu ada usaha, banyak juga yang harus berjuang setengah hidup untuk memerolehnya. Lalu, bagaimana dengan kita yang mengaku orang beriman, penerus risalah Rasul menyebarkan Islam? Hanya manusia mati yang tidak diuji.

Banyak tugas, banyak kerjaan, banyak tanggungan, banyak masalah, bukan hanya ada pada pengemban dakwah. Tidak berdakwah pun sama, punya segudang masalah. Parahnya lagi, mereka tidak paham solusi tuntas masalah hidupnya. Hmm, ada lagi cerita aneh dan bikin geregetan. Beberapa alasan yang pernah diajukan orang-orang yang enggan menyambut seruan melaksanakan kewajiban dakwah. Ada yang beri alasan karena hamil, karena ngurus anak, karena anaknya berkebutuhan khusus, dan lain-lain. Saya berpikir, apa salah dakwah hingga kita bersikap setega itu? Apakah dakwah akan mengganggu kehamilan? Apakah dakwah akan membuat orang tua lalai mengurus anak-anaknya, terutama yang butuh penanganan spesial? Apakah…apakah….
Seakan-akan ada S & K berlaku bagi pengemban dakwah. Apakah dakwah wajib dilakukan jika ada waktu luang dan punya banyak uang? Atau saat semua kebutuhan telah terpenuhi? Atau mungkin ketika keluarga kita sudah bahagia tak kurang suatu apa pun?

Dalam kondisi apa pun dakwah bisa dilakukan dan harus dijalankan, seburuk apapun kondisi kita, terlebih lagi saat kita dalam kondisi baik-baik saja. Bagi para mukminah yang sedang hamil, tetap berdakwah sambil terus memohon pada Allah agar Allah mudahkan kehamilannya, persalinannya, selamat dan sehat semuanya. Bagi pasangan suami istri, sambil berdakwah mohon pada Allah agar diberi kemudahan menjadi oang tua teladan yang bisa mendidik anak-anaknya sesuai rida Ilahi, sambil berdakwah mohon pada Allah agar diberi kemudahan merawat anaknya yang sakit atau ada yang berkebutuhan khusus dan minta kesembuhan pada Allah. Bukankah Allah telah menjanjikan pertolongan-Nya pada orang yang menolong agama-Nya? Bukankah perkataan manusia tidak ada yang lebih baik, kecuali perkataan pengemban dakwah? Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Fussliat, ayat 33 yang artinya,
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Alloh dan mengerjakan kebajikan dan berkata: sungguh, aku termasuk orang-orang muslim.”
Lalu, atas dasar apa kita masih menjadikan dakwah sebagai beban hidup, sehingga terpikir untuk rehat? Wallahu a’lam.[]


photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Aroma Kezaliman di Negeri Mati Rasa
Next
Haruskah Menikah dengan Sekufu?
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram