Nestapa Tunggakan Insentif Nakes, Kemana Larinya Anggaran Dana Covid-19?

Khilafah hadir sebagai penerap Islam kafah, termasuk urusan pengelolaan kekayaan negara demi menjadikan Khilafah berkemampuan finansial dalam membiayai seluruh kebutuhan rakyatnya dengan jaminan langsung ataupun tidak langsung. Khilafah akan menerapkan konsep anggaran mutlak, yakni berapa pun biaya yang diperlukan harus dipenuhi oleh negara. Sebab, negara merupakan garda terdepan dalam pencegahan dan peniadaan segala nestapa publik.


Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin inilah kondisi yang dialami tenaga kesehatan (nakes) termasuk RS rujukan Covid-19. Pandemi ini benar-benar menjadi hantaman berat bagi semua orang, khususnya yang terjun langsung dalam dunia kesehatan. Bayangkan saja, para nakes harus menjadi garda terdepan dalam penanganan pandemi, bertaruh nyawa dan rentan terpapar virus karena setiap saat berinteraksi dengan pasien positif Covid-19, serta rela terisolasi dari keluarga dan lingkungan karena khawatir membawa virus bagi sekitar.

Nahas, semua pengorbanan itu bukannya mendapat apresiasi yang pantas dari negara, justru hak mereka berupa insentif yang pernah dijanjikan pemimpin negeri ini tak kunjung cair. Lantas ke manakah mengalirnya dana Covid-19? Padahal, dana Covid-19 digadang-gadang menjadi primadona di masa pandemi hingga dilakukan pemangkasan besar-besaran pada anggaran banyak sektor demi terkumpulnya dana yang tidak sedikit ini. Ini adalah sekelumit dari sederet masalah dalam pengelolaan anggaran penanganan pandemi.

Dilansir dari www.tempo.co.id, (26/06/2021) bahwa Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, melayangkan surat kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), perihal kekurangan pembayaran kepada jaringan hotel yang selama ini menyediakan fasilitas isolasi pasien Covid-19 tanpa gejala dan akomodasi tenaga kesehatan. Hal tersebut mengganggu biaya operasional hotel, penggajian pegawai, dan pembayaran pada rekanan. Nilai yang belum terbayar cukup fantastis, yakni sebesar Rp140 miliar dari tagihan Rp200 miliar.

Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan, Rita Rogayah, mengatakan klaim pembayaran pelayanan rumah sakit (RS) rujukan Covid-19 pada tahun 2020 mencapai Rp22,08 triliun. Sebanyak Rp5,6 triliun yang sudah dibayarkan pada tahun 2020 dan Rp10,53 triliun pada tahun 2021. Jadi tersisa Rp 5,95 triliun. (www.kontan.co.id, 26/06/2021)

Dalam penuturan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan, Susi Lusianti, menyebut bahwa insentif nakes Covid-19 terakhir diberikan pada September 2020. Sedangkan untuk bulan Oktober 2020 sampai dengan Juni 2021, insentif nakes masih tertunggak. Ketua Satgas Covid-19 DPP PPNI, Jajat Sudrajat, menuturkan pihaknya mendapatkan banyak keluhan dari rumah sakit rujukan Covid-19. Di antaranya, ia mendapatkan laporan dari daerah Bengkulu, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tenggara. (www.finance.detik.com, 25/06/2021)

Semua keluhan itu kemudian mendapat tanggapan dari Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM (PPSDM) Kemenkes, Abdul Kadir, menurutnya keterlambatan pencairan insentif merupakan efek dari lambannya usulan pembayaran tunjangan tenaga kesehatan dari fasilitas layanan kesehatan dan dinas kesehatan daerah. (www.republika.co.id, 30/06/2021)

Penyaluran Dana Covid-19 Tidak Tepat Sasaran

Sang garda terdepan penanganan Covid-19 kembali harus menelan pil pahit di tengah hantaman pandemi yang entah kapan akan berakhir. Nakes dan sektor kesehatan nyaris kolaps menghadapi gelombang kedua pandemi yang lebih dahsyat tingkat penyebaran dan kematiannya dibanding tahun sebelumnya. Idealnya, pemerintah memberikan dukungan penuh dan serius dalam menangani pandemi Covid-19 ini. Sektor kesehatan semestinya menjadi prioritas utama dalam pengambilan kebijakan termasuk penganggaran dana. Namun, apakah itu mungkin terealisasi?

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada tahun 2021 telah menaikkan anggaran penanganan virus Corona (Covid-19) menjadi Rp677,2 triliun, jumlah tersebut mengalami peningkatan dari alokasi anggaran sebelumnya yang sebesar Rp405,1 triliun di tahun 2020. Untuk bidang kesehatan sebesar Rp87,55 triliun, untuk perlindungan sosial sebesar Rp203,90 triliun, dukungan kepada UMKM sebesar Rp123,46 triliun, insentif dunia usaha sebesar Rp120,61 triliun, pembiayaan korporasi sebesar Rp44,57 triliun, serta untuk dukungan sektoral dan pemda sebesar Rp97,11 triliun. Dalam bidang kesehatan, pemerintah akan mengalokasikan untuk belanja penanganan Covid-19 sebesar Rp65,80 triliun, insentif tenaga medis Rp5,90 triliun, santunan kematian Rp300 juta, bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Rp3 triliun, alokasi dana untuk Gugus Tugas Covid-19 sebesar Rp3,5 triliun, serta insentif perpajakan di bidang kesehatan sebesar Rp9,05 triliun. (www.kontan.co.id, 03/06/2021)

Mencermati data di atas tampak sektor kesehatan memang tak menjadi prioritas utama, karena dana yang dianggarkan hanya sebesar Rp87,55 triliun. Sementara untuk bidang sosial sebesar Rp203,90 triliun, bahkan sektor ekonomi lebih fantastis lagi jika ditotal mencapai angka Rp385,75 triliun. Otomatis hal ini akan berdampak pada buruknya strategi penanganan virus Covid-19. Sarana, fasilitas, dan operasional di RS rujukan Covid-19 serta hotel/rusun/wisma untuk menampung pasien Covid-19 dan akomodasi nakes, insentif nakes, obat-obatan medis, vaksin, dan lain sebagainya sesungguhnya sangat membutuhkan dukungan anggaran maksimal. Namun sayang, prioritas anggaran yang dirancang justru bukan dari sektor kesehatan.

Bukan hanya tidak maksimal dalam penganggaran dana bagi sektor kesehatan, tetapi juga dalam penyerapan dananya. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat tingkat realisasi fisik stimulus pandemi pada sektor kesehatan baru mencapai 4,68 persen dari anggaran yang sudah disediakan dalam APBN, yakni Rp87,55 triliun. Menkeu Sri Mulyani menyebutkan, proses administrasi dan verifikasi yang rigid masih menjadi kendala besar dalam implementasi stimulus fiskal ini. “Makanya, masih muncul (permasalahan) kenapa tenaga kesehatan belum mendapatkan kompensasi,”ujarnya.(www.cnnindonesia.com, 23/06/2021)

Hal itu diamini oleh Direktur Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai titik permasalahan pada rendahnya penyerapan dana anggaran terletak pada mekanisme administrasi reimbursement. Pasalnya, Tauhid mengakui proses verifikasi data untuk klaim biaya penanganan di sektor kesehatan, banyak dan panjang. Namun, dia menilai pemerintah kurang dalam mengantisipasi hal tersebut sehingga kerap terjadi berulang kali. (www.ekonomi.bisnis.com, 25/06/2021)

Inilah yang menjadi biang masalah mengapa anggaran penanganan pandemi Covid-19 yang jumlahnya cukup besar ternyata tidak berkorelasi positif dengan bidang kesehatan? Ternyata disebabkan minimnya jatah anggaran bagi sektor kesehatan dan seretnya penyaluran dana tersebab mekanisme administrasi yang berbelit dan panjang.


Seharusnya negara memberikan perhatian penuh pada penyelesaian pandemi Covid-19 agar lebih banyak lagi nyawa yang dapat terselamatkan. Maka, seluruh aktivitas negara harus terkonsentrasi pada pengurangan dan penyelesaian pandemi. Aktivitas yang tidak mengarah pada penyelesaian pandemi seperti pengurangan kasus, pencegahan, dan penyembuhan akan ditunda sampai pandemi berakhir. Sebesar apa pun upaya dan dana yang dikerahkan negara untuk memulihkan ekonomi di tengah pandemi akan berujung kesia-siaan. Sekuat apa pun sektor pariwisata, bisnis atau proyek infrastruktur digenjot, tetapi jika sumber daya manusianya banyak yang sakit, perekonomian akan sangat sulit digerakkan.

Faktanya, cara pandang pemerintah dalam mengatasi pandemi ini harus siap dikoreksi. Karena kebijakan yang berjalan terbukti tidak efektif menurunkan angka penyebaran virus dan penghentian kasus. Ini semua menunjukkan bahwa kendati selama pandemi pemerintah telah lebih menomorsatukan sektor ekonomi, realitas yang terjadi masih jauh dari solusi.

Alih-alih masyarakat sejahtera dan tercukupi kebutuhan pokoknya. Yang ada, tingkat kemiskinan justru semakin memprihatinkan. Diiringi dengan angka kelaparan yang juga meningkat. Mengatasi problem ekonomi rakyat, tapi jangan hanya sebatas bansos, yang itu pun masih berpotensi untuk dikorupsi oleh pejabat terkait. Tak pelak, ekonomi demokrasi-kapitalisme hanya mampu menawarkan ilusi.
Jelas merupakan suatu kecerobohan dan kelalaian ketika sektor kesehatan justru dianaktirikan di masa pandemi. Dana operasional kesehatan yang seret, insentif nakes yang tak kunjung cair, tunggakan kepada RS yang semakin menggunung akan berimbas pada melemahnya kinerja dan mengendurnya semangat para pejuang di garda terdepan dalam penanganan Covid-19. Rasa lelah, penat, dan pengorbanan yang tak diapresiasi dengan baik oleh negara. Jika sudah seperti ini, kolapsnya negara menjadi taruhannya.

Jika pemerintah masih peduli, sebenarnya masih ada harapan untuk memperbaiki kekacauan ini yaitu dengan cara: pertama, merealokasi anggaran dana penanganan Covid-19, dengan mengalihkan besaran jatah sektor ekonomi kepada sektor kesehatan. Kedua, menambah jatah anggaran untuk sektor kesehatan dari 86 kementrian/bidang lain, seperti merealokasi anggaran yang digunakan untuk mengobral insentif pajak pada pengusaha kelas kakap; merealokasi anggaran infrastruktur pada 2021 sekitar Rp400 triliun; memangkas gaji di level presiden dan pejabat publik; dan lain sebagainya. Ketiga, menyederhanakan mekanisme administrasi pengajuan dan pencairan anggaran kesehatan.

Tapi entah, apakah para pemangku kebijakan masih bernyali untuk mengambil opsi ini? Mengingat negeri ini sudah terkooptasi dengan ideologi kapitalisme yang menjadikan pertumbuhan ekonomi bagai nyawa yang menggerakkan sistem ini. Kemesraan penguasa dengan pengusaha pun semakin intim, sehingga jika penguasa berpaling pada yang lain, maka bersiap untuk mendapatkan pelampiasan kecemburuan dari pengusaha yang akan mampu mengguncang singgasana para penguasa ini. Selamanya, sistem demokrasi kapitalisme membuat penguasa tidak mampu bertanggung jawab atas pengurusan terhadap rakyatnya, karena hati dan pengabdian mereka telah terbeli oleh pengusaha yang notabene berjasa atas kursi kekuasaan yang berhasil didudukinya ini.

Khilafah Menjamin Optimalisasi Sektor Kesehatan

Islam memiliki aturan yang komprehensif dalam mengatur kehidupan manusia. Tak ada permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dengan Islam. Dalam paradigma Islam, kepala negara merupakan pemimpin yang bertanggung jawab secara langsung dalam pemenuhan hajat hidup orang banyak, yaitu kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Dalam kondisi normal, ketiganya dijamin pemenuhannya oleh negara kepada seluruh warga negaranya dengan adil, merata, gratis, namun tetap berkualitas. Apalagi dalam kondisi yang tidak normal, semacam pandemi atau wabah yang melanda, negara Islam atau Khilafah akan lebih mengoptimalisasi sektor kesehatan, karena beririsan langsung dengan kasus pandemi.

Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Imam/Khalifah yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) gembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Khilafah hadir sebagai penerap Islam kafah, termasuk urusan pengelolaan kekayaan negara demi menjadikan Khilafah berkemampuan finansial dalam membiayai seluruh kebutuhan rakyatnya dengan jaminan langsung ataupun tidak langsung. Khilafah akan menerapkan konsep anggaran mutlak, yakni berapa pun biaya yang diperlukan harus dipenuhi oleh negara. Sebab, negara merupakan garda terdepan dalam pencegahan dan peniadaan segala nestapa publik.

Konsekuensinya, Khilafah berhasil menjadi model terbaik dalam pelayanan kesehatan sepanjang masa, yang diselimuti atmosfir kemanusiaan yang begitu sempurna. Hasilnya RS, dokter, tenaga kesehatan (nakes) tersedia secara memadai dengan persebaran yang memadai pula. Negara memfasilitasi dari berbagai aspek demi tercapainya standar pelayanan medis terbaik, baik aspek penguasaan ilmu pengetahuan dan keahlian kontemporer, ketersediaan obat dan alat kedokteran terbaik, gaji yang sepadan dengan risiko pekerjaannya, serta beban kerja yang manusiawi.

Prinsip layanan kesehatan harus memperhatikan faktor ihsan dalam pelayanan yang memuat tiga hal baku: sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit), cepat, dan profesional dalam pelayanan. Jadi haram hukumnya mempersulit rakyat dengan mekanisme administrasi yang berbelit-belit dan panjang, termasuk dalam pemberian gaji dan insentif kepada nakes. Sebab, itu adalah hak yang harus mereka terima, sebagai kompensasi dari jasa dan pengorbanan yang mereka lakukan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Demikianlah, tenaga medis akan bekerja dengan tenang dan penuh semangat serta dedikasi tinggi karena didukung segala fasilitas yang dibutuhkan dan insentif yang sepadan dengan pengorbanan yang diberikan.
Inilah yang pernah terjadi di masa sistem Islam dibawah naungan Khilafah ditegakkan. Wabah yang terjadi bisa diatasi dengan mudah dan cepat karena adanya peran aktif dan serius dari negara, optimalisasi anggaran dan pelayanan kesehatan sekaligus didukung oleh rakyat yang mentaati semua arahan-arahannya. Umat Islam pun mampu keluar dari berbagai ujian yang menimpanya dengan penanganan yang cepat dan tepat. Dengan demikian, amat jauh berbeda antara sistem sekuler yang sekarang diterapkan dengan sistem Khilafah ajaran Islam. Hanya Sistem Islam yang mampu mengakhiri pandemi Covid-19.

Hari ini, dunia juga Indonesia sangat membutuhkan kehadiran Khilafah sebagai pembebas dari himpitan segala nestapa, pembimbing pada jalan kemuliaan. Lebih dari pada itu Khilafah adalah ajaran Islam, syariat Islam yang diwajibkan Allah Swt kepada kita semua.

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu,..” (TQS Al Anfaal: 24).
Wallahu a’lam bi ash-shawwab

Picture Source by Google


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Islam yang Terasingkan
Next
Haruskah Menjadi Intelektual Harapan Presiden?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram