“Jika datang kepada kalian seseorang (pria) yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka kawinilah dia. Jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di muka bumi.” (HR. Tirmidzi)
Oleh: Armian Ahza
NarasiPost.Com-“Insyaallah, jika sudah lulus kuliah, tepat di umurku 21 tahun nanti,” jawab Wulan saat ia ditanya sahabatnya, Lala mengenai kapan ia berencana menikah.
“Wah, sebentar lagi, dong,” kata Lala sambil sumringah demi merelakskan dalam persiapan menuju sidang skripsi.
“Deg-deg-an, ini. Udah,ya. Jangan ngobrolin nikah mulu. Kayaknya kamu duluan, deh, La yang akan nikah. Soalnya kamu yang paling heboh kalau ngobrolin soal nikah,” sindir Wulan dengan lembut.
“Hehe, yaa … bisa jadi. Eh, tapi aku belum ada rencana, pengen kerja atau lanjut kuliah dulu, Lan. Kamu kan tahu itu?” ujar Lala.
“Yaa, siapa tahu, nikah dan kerja, nikah dan kuliah S2, kenapa enggak? Ya, kan?”
“Wulan Amaliana!” panggil salah satu dosen penguji.
“Bismillah, aku sudah dipanggil. Doain, ya!” kata Wulan
“Iya, Lan. Hamasah!” jawab Lala ambil mengepalkan tangannya.
Mereka tengah menjalani sidang skripsi demi menyelesaikan kuliah salah satu momen berharga yang bisa membuat jantung menjadi berdebar tak beraturan. Menunggu hasil kelulusannya pun jadi harap-harap cemas, antara lulus tidak lulus. Jika lulus, dapat predikat cumlaude atau tidak. Tidak hanya Wulan, Lala pun menjalani proses sidang selang beberpa waktu setelah Wulan dipanggil.
Jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Mereka dengan berseragam hitam putih dengan jas almamater kunung khas kampusnya sedang berkerumun di dinding pengumuman. Ada yang berbahagia dan mengetahui bahwa dirinya lulus, ada beberapa harus mengulang. Tak beda dengan Wulan dan Lala, mereka pun menggerakkan jari telunjuk dari atas ke bawah daftar pengumuman kelulusan, lengkap dengan nilai dan predikat yang didapat. Wulan memanggil Lala sambil menepuk pundaknya.
“La, ini nama kamu. Alhamdulillah, kamu lulus La. Maasyaallah, Cumlaude, La. Barakallah, yaa!”
“Mana Lan? Oh, iya. Alhamdulillah, akhirnya aku lulus juga. Bapak Mamak, Lala lulus!” ucap Lala dengan bahagia.
“Aku mana, ya, La? Coba kita cari dulu La.”
Harap-harap cemas, mata dan telunjuk Wulan terus menyusuri daftar nama yang tertempel di dinding.
”Wulan Anitasari, Wulan Amaliana, ya … ini.”
Wulan melihat daftar namanya dan terdapat keterangan lulus dengan predikat cumlaude.
“Yeeey, alhamdulillah kita lulus.”
Mereka saling menatap bahagia dan menggenggam tangan layaknya sahabat dekat yang saling memahami dan menyemangati satu sama lain.
Meski masih harus menyelesaikan revisi dari para penguji, mereka tetap bersyukur atas hasil ujian yang tengah mereka raih.
Hari makin larut. Kebahagiaan mereka kini dirasakan pula oleh keluarganya. Lala anak perantau, sehingga ia memberikan kabar kepada kedua orang tuanya dengan menelponnya. Sedangkan Wulan, ia langsung bertemu kedua orang tuanya dan memberikan kabar bahagia. Rumahnya masih satu kota dengan kampusnya.
Saat suara-suara hewan mulai terdengar bersahutan, Wulan mendapatkan pesan.
[Assalamu’alaikum, Ukhti, saya ingin bertemu orang tua anti.]
Dari nomer baru yang belum ia simpan. Wulan pun penuh tanya. Siapa ini?. Dengan rasa was-was. Maka Wulan membalas pesannya
“Afwan, dengan siapa?”
“Ana Arif, teman SMA satu tohis dulu. Saya mendapat nomer anti dari Karima.”
“Oh, akhi Arif. Buat apa Akhi ingin menemui bapak ibu ana?
“Insyaallah ana ingin melamar Ukhti.”
Deg, Wulan pun kaget, mengapa Arif tiba-tiba ingin menikahinya, padahal ia tidak pernah memiliki hubungan dekat saat SMA dan tidak pernah saling berkemunikasi di sosial media. Mereka hanya saling berteman di facebook dan tidak pernah bertukar sapa. Kini Arif sedang bekerja di salah satu rumah sakit sebagi dokter spesialis mata.
“Maaf Akhi Arif, jangan dulu. Biar saya sampaikan sendiri kepada Bapak dan Ibu.”
Wulan tidak langsung mengizinkan sebab ia takut kalau si ikhwan terlanjur bertamu di rumah, tetapi ditolak orang tua karena belum diizinkan menikah. Dan benar adanya, bapak dan ibu Wulan belum mengizinkannya untuk menikah di waktu dekat.
“Ibu, Arif sudah menjadi seorang dokter, dia kini juga sering ngaji Islam kaffah”
Sebenarnya secara pribadi Wulan belum terlalu yakin seratus persen, bahwa Arif layak menjadi pendamping hidupnya, meski secara pekerjaan sudah mapan dan ia adalah laki-laki yang berusaha memantaskan diri dengan Islam dengan bukti dia belajar Islam kafah. Yang membuat wulan sedikit yakin adalah sebab ia sudah hijrah dan bersedia menjadi bagian dari orang-orang yang masuk ke dalam Islam secara kaffah. Semua informasi ini Wulan dapatkan dari Karima. Arif dulu anak rohis, tetapi masih gemar pacaran dan mudah chattingan dengan akhwat.
Wulan tidak tahu pasti, apa sebab bapak dan ibunya belum mengizinkannya menikah. Apakah karena belum wisuda, meski sudah lulus? Atau karena memandang diri Wulan belum layak menikah? Atau apa? Entahlah, semua itu sangat mengganggu pikiran dan hati Wulan. Hanya saja, Wulan cukup sedih sebab ia merasa ada laki-laki saleh datang, tetapi orang tuanya tak menyetujui.
Tangisan Wulan bukan karena tidak direstui. Namun, ia takut jika dirinya termasuk orang-orang yang menolak laki-laki saleh datang melamar. Bukankah Rasululloh saw. telah bersabda, yang artinya:
“Jika datang kepada kalian seseorang (pria) yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka kawinilah dia. Jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di muka bumi.” (HR. Tirmidzi)
Dalam sujud malamnya, dalam tangisan doa, ulan hanya memohon kepada Allah agar apa yang dikabarkan oleh Rasulullah di atas tidak menimpa diri dan keluarganya, yaitu terkena fitnah. Doa yang melangit yang Wulan panjatkan yaitu
“Jika dia laki-laki baik yang memang benar jodohku, pasti Allah mudahkan. Jika tidak, maka aku mengikuti keputusan Allah. Allah pasti memilihkan yang terbaik.”
“Bu, memang Wulan belum boleh menikah di waktu dekat ini? Kapan Wulan boleh menikah?”
“Dua tahun lagi. Wulan belajar dulu. Menjadi istri dan ibu itu adalah amanah berat,” jelas Ibu sambil mengelus kepala wulan saat berbaring dipangkuannya.
“Insyaallah, Bu. Wulan akan sampaikan ke Mas Arif, supaya tidak berharap lebih ke Wulan.”
Itu adalah kisah Wulan dua tahun yang lalu. Kini, tanggal 16 Juni 2021, Wulan sedang menjalani prosesi pernikahan dengan mengenakan gaun pengantin serba putih. Ia menikah dengan Adam Al Faqih, seorang pengajar di sebuah pondok pesantren dan juga hafizh Qur’an. Ia adalah putra dari teman bapak ibunya.
Dalam hati Wulan sangat bersyukur dan bahagia. Sebab, Allah telah memilihkan yang terbaik baginya, lelaki sesuai dambaannya. Ia menikah di saat yang tepat, dengan orang yang tepat dan mengantongi restu bapak dan ibu. Bukankah menikah tidak sekadar menyatunya dua insan? Namun, menikah artinya juga menyatunya dua keluarga.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]