"Pemungut pajak adalah salah satu pendukung tindak kezaliman, bahkan dia merupakan kezaliman itu sendir karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak"
(adz-Dzahabi dalam al-Kabair )
Oleh: Aina Syahidah
NarasiPost.Com-Hidup di zaman kapitalis membuat rakyat harus bersiap dengan sederet kebijakan yang menggigit. Tak ada ruang gratis, semua lini bernilai materi. Rakyat diseret untuk hidup bak the haves tapi faktanya mereka membawa tirani ekonomi yang ganas. Kemiskinan dan ketidaksejahteraan menemani di sepanjang jalan.
Belum lama ini tersebar wacana kebijakan baru dari para pemangku kebijakan, sembako dan pendidikan akan dikenai PPN. Hal ini tertuang dalam draf revisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). (cnnindonesia.com, 12/06.2021)
Tak ayal, kebijakan yang konon masih dalam tahap ‘rencana’ ini membuat sejumlah kalangan meradang. Mukhamad Misbakhun seorang Anggota DPR RI mengkritisi kebijakan baru pemerintah ini, pihaknya menyebut, kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, merupakan pilar penentu kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, keberadaan ketiga komponen ini dijamin oleh konstitusi, dimana negara dengan sekuat tenaga harus mengupayakannya, guna menciptakan kesejahteraan atas segenap rakyatnya. Menarik pajak atasnya tentu akan berpengaruh dengan kualitas pangan juga sumber daya manusia kita ke depan. (antaranews.com, 12/06/2021)
Ya, saat ini saja, negara kita telah masuk dalam salah satu daftar negara dengan index kelaparan tertinggi. Bagaimana jika sektor asassiyah (pokok) masyarakat dikenai biaya tambahan? Tidakkah kondisinya semakin mempersulit?
Pajak Urat Nadi Sistem Ekonomi Kapitalisme
Sayangnya, tak ada jalan di sistem kapitalisme selain menarik cukai dari rakyatnya. Kita harus menyadari bahwa sejak berlakunya liberalisasi SDA, pemasukan negara dari sektor nonpajak menurun. Hal ini dikarenakan hasil alam mengalir ke dalam pundi-pundi para pemodal. Maka mau tak mau, negara kapitalis harus memutar otak agar keran pemasukan tetap mengucur deras. Itulah mengapa, negara kapitalis menjadikan pajak sebagai salah satu pilar ekonominya. Pajak menjadi urat nadi kehidupan dari sistem ini.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Arthur Vanderbit seorang ahli pemerintahan Barat, pajak adalah urat nadi pemerintah.
Di tanah air sendiri, menurut data APBN 2016 misalnya, 80 persen pendapatan negara bersumber dari pajak. Dan 20 persen sisanya dari sektor nonpajak (31/10/2016). Hal ini menunjukan betapa potensi kekayaan alam kita tak seberapa besar menyumbang 'oksigen kehidupan' bagi rakyat dan negara.
Padahal idealnya, dari sanalah urat nadi kehidupan suatu negara berasal. Ironinya hari ini, kekayaan alam telah dikuasai oleh para pemodal raksasa, dan negara hanya bermain sebagai regulator semata, rakyat pun akhirnya menjadi korban. Mereka bak pepatah kuno, Sudahlah jatuh, tertimpa tangga pula.’ Sudahlah kini hidup semakin terhimpit, wabah pandemi belum berakhir, sembako dan pendidikan akan dipajaki. Bagaimana nasib rakyat nanti?
Pandangan Islam Terkait Pajak
Dalam sudut pandang Islam, negara dilarang keras untuk menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan/pemasukan utama negara. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah Saw yang artinya, "Tidak akan masuk surga para penarik cukai/pajak.” (HR.Abu Dawud)
Dalam urusan pemasukan, negara di dalam Islam harus berupaya mengelola dan mengembangkan semua harta yang masuk dalam kategori kepemilikan umum, seperti tambang minyak, gas alam, batubara, nikel, dan lainnya. Negara juga memiliki pemasukan tetap dari zakat, jizyah, kharaj, usyr, anfal, ghanimah, infak, dan sedekah.
Adapun pajak (dharibah) hanya akan ditarik ketika keuangan negara sedang berada dalam krisis parah, dan Baitul Mal tak bisa memenuhinya. Sementara di satu sisi, negara membutuhan dana untuk kemaslahatan hidup warganya. Maka kondisi demikian ini membuat pajak harus diterapkan.
Meski begitu, penarikan cukai/pajak tak sembarang dilakukan, melainkan ada aturan main yang harus diperhatikan. Pajak hanya akan ditarik dari kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta, setelah dikurangi kebutuhan pokok, dan sekundernya, sesuai dengan standar hidup masyarakat di daerah yang bersangkutan. Apabila setelah dikurangi terdapat kelebihan harta, maka wajib atasnya untuk membayar pajak. Jika tidak, maka gugur kewajiban atasnya. Itulah mengapa, pajak di dalam Islam tak akan mengekang apalagi membuat sulit kehidupan rakyat. Karena penarikannya yang insidental dan pos pembiayaannya jelas.
Hari ini, bila hendak jujur melihat, sudah sejak lama rakyat kita membayar pajak bahkan sejak masa kolonial berlangsung. Tetapi apa yang terjadi? Masih banyak anak-anak negeri yang harus bertaruh nyawa untuk sampai ke sekolah. Mereka harus melewati jembatan-jembatan darurat, menyebrangi derasnya arus sungai, belajar tanpa penerangan, jalan-jalan penghubung masih banyak yang rusak, jurang kemiskinan semakin lebar, kasus kelaparan meningkat, ketimpangan sosial dan potret pilu lainnya. Ke mana realisasi pajak kita? Sudahkah kepentingan rakyat terpenuhi? Semoga kita dapat bertumbuh menjadi negara yang besar dan diberkahi Allah. Wallahualam[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]