"Pajak makin meningkat di berbagai sektor namun upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak berbanding lurus dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat."
Oleh. Raihana Hazimah
NarasiPost.Com-Riuh sudah suara rakyat menggema akibat wacana pengenaan pajak pada banyak simpul hidup masyarakat. Sudahlah masih tertatih bangkit dari hantaman pandemi yang itu pun belum usai, rakyat makin dibuat terseok lagi dengan wacana kebijakan yang acapkali tak pro-rakyat.
Dalam draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) telah mengeluarkan 2 jenis barang dan 11 jenis jasa dari daftar bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam Pasal 4A, dua jenis barang yang dimaksud, yakni barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batubara, serta barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Kemudian 11 jenis jasa layanan yang disebutkan adalah:
- Jasa pelayanan kesehatan medis
- Jasa pelayanan sosial
- Jasa pengiriman surat dengan perangko
- Jasa keuangan
- Jasa asuransi.
- Jasa pendidikan
- Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
- jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri
- Jasa tenaga kerja
- Jasa telepon umum dengan menggunakan logam
- Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
(cnbcindonesia.com, 10/06/2021)
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI, Ahmad Muzani pun merespon kebijakan ini. Ia mengatakan, beban keuangan negara memang semakin berat di tengah pandemi. Penerimaan negara mengalami defisit, termasuk pajak pun tidak bisa mencapai target yang diharapkan. Namun menurutnya, sebaiknya pemerintah berpikir ulang untuk mengenakan pajak terhadap bahan kebutuhan pokok rakyat. Termasuk rencana penerapan pajak terhadap jasa pelayanan kesehatan, pendidikan, dan beberapa sembako. Sebab hal itu justru semakin membuat rakyat susah. Upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak berbanding lurus dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. (pajakonline.com, 15/06/2021)
Sementara itu dikutip dari Kompas (11/6/2021), Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menjelaskan tentang keriuhan akibat draf RUU KUP tersebut. Ia menuturkan, pengenaan PPN untuk barang/jasa tertentu adalah salah satu cara pemerintah mereformasi sistem perpajakan supaya lebih adil dan tepat sasaran. Subsidi PPN saat ini tak hanya menyasar kalangan miskin, namun juga kelompok kaya. Ke depan jika disetujui DPR, kelompok kaya ini bakal menjadi subjek PPN dan menyubsidi kelompok miskin. Pemerintah saat ini sedang fokus memulihkan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Ia pun menegaskan bahwa kebijakan menarik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako dan pendidikan tidak akan diterapkan tahun ini karena belum dibahas di DPR.
Kemudian, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Neilmaldrin Noor pun lebih jelasnya menyebut bahwa barang kebutuhan pokok yang akan terkena PPN hanya yang bersifat premium. Sementara sembako yang dijual di pasar tradisional tidak akan dikenakan PPN. Sebagaimana hal yang sama diungkapkan oleh Menkeu, Sri Mulyani. "Hal ini bertujuan untuk keadilan", ujar Neilmadrin. (pikiranrakyat.com, 15/06/2021; kompas.tv, 15/06/2021)
Hal yang menarik adalah pernyataan dari Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Kemenkeu Hidayat Amir, Jumat (4/6/2021), bahwa reformasi pajak ini bukanlah sesuatu yang dirancang dalam satu malam. Namun update revisi rancangan undang-undang KUP, PPN, PPh telah dilakukan sejak 2015 dan sudah diajukan pemerintah sejak 2016. (cnbcindonesia.com, 04/06/2021; m.bisnis.com, 07/06/2021)
Artinya, RUU KUP ini telah dirancang jauh sebelum terjadi pandemi. Lalu apakah benar bahwa revisi RUU KUP ini adalah salah satu upaya pemulihan dari pandemi? Benarkah ini adalah sebuah keadilan dan kebijakan yang tepat sasaran?
Dengan merancang subsidi oleh masyarakat kelas atas kepada masyarakat kelas menengah ke bawah, sama saja dengan menimpakan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh negara kepada rakyat. Padahal baik masyarakat kelas atas maupun menengah ke bawah, keduanya adalah rakyat yang memiliki hak yang sama untuk dijamin kebutuhan dasarnya oleh negara.
Pajak di Sistem Kapitalis
Jalan yang ditempuh pemangku kebijakan saat ini memang sebuah keniscayaan. Sebab memang demikianlah kebijakan sistem ekonomi Kapitalis yang dianut negara ini. Pajak merupakan penopang utama APBN di samping pendapatan nonpajak.
Dalam kapitalisme, pajak memiliki fungsi budgeter dan fungsi regulator. Fungsi budgeter yaitu menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Maka tak tak mengherankan jika akan selalu dilakukan target-target peningkatan pajak, baik secara kuantitas (jumlah rupiah) maupun kualitas (jenis pajak dan jumlah pembayar pajak).
Kedua, adalah fungsi regulator, yakni menjadikan pajak sebagai alat untuk mengatur pelaksanaan kebijakan di bidang ekonomi dan sosial. Pajak akan menjadi cara untuk mendistribusikan kekayaan dari golongan kaya kepada golongan miskin. Namun faktanya justru pajak menjadi alat eksploitasi para Kapitalis pada rakyat secara umum. Pemasukan paling besar pajak justru berasal dari rakyat melalui mekanisme harga pasar dan barang yang tinggi. Tetapi hasil pajak tak banyak yang dialokasikan untuk rakyat. Justru kerap terjadi tindak korupsi terhadap dana pajak rakyat. (fokus.tempo.co, 04/03/2021)
Inilah salah satu kekeliruan dari sistem ekonomi Kapitalis. Kelemahan lainnya adalah adanya liberalisasi/kebebasan kepemilikan terhadap sumber kekayaan bagi individu dan swasta tanpa adanya kontrol negara. Sebagaimana pernyataan pelopor Kapitalisme, Adam Smith dalam bukunya yang berjudul “An Inquiry the nature and Cause of the wealth of nation”, bahwa setiap orang dikehendaki atas kebebasannya dalam bekerja dan berusaha dalam persaingan yang sempurna dengan tanpa campur tangan pihak pemerintah.
Hal itulah yang justru mengakibatkan ketidakseimbangan distribusi kekayaan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Kesejahteraan hanya akan berputar pada golongan tertentu (kapitalis dan birokrat) saja. Sementara rakyat secara umum hanya menjadi sapi perah.
Kebijakan Pajak dalam Islam
Pajak memang juga dikenal dalam Islam. Disebut dengan nama dharibah. Akan tetapi penerapannya sangat berbeda dengan sistem Kapitalis. Syeikh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai,
“Harta yang diwajibkan Allah Subhanahuwat'ala kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Maal kaum muslim untuk membiayainya.” (al-Amwal fi Daulati al-Khilafah).
Jadi pajak bukanlah sumber tetap pendapatan Baitul Maal (kas negara Khilafah). Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong. (Muqaddimah Ad-Dustur; Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam).
Karena Syara telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum muslim. Sebab jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum muslim. Ketika kekosongan kas negara sudah teratasi, maka pajak harus segera dihentikan. Dengan demikian, pajak dalam Islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. (al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum)
Pajak dalam Islam pun tidak akan dikenakan pada seluruh warga negara, namun hanya diwajibkan terhadap orang-orang kaya saja. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam, “Shadaqah yang paling baik adalah yang berasal dari orang kaya.” (HR.Bukhari)
Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam, pajak tak dihitung sebagai sumber utama pendapatan kas negara (Baitul Maal). Karena harta dalam negara (Khilafah) yang menerapkan sistem ekonomi Islam bersumber dari banyak pos, di antaranya adalah:
- Anfal, ghanimah, fa'i dan khumus
- Kharaj
- Jizyah
- Bermacam-macam harta milik umum
- Harta milik negara berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya
- Harta usyur
- Harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara, harta hasil kerja yang tidak diizinkan syara, dan harta hasil tindakan curang lainnya
- Khumus barang temuan dan barang tambang
- Harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris
- Harta orang-orang murtad
- Pajak (dharibah)
- Harta zakat
(al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, Syeikh Abdul Qadim Zallum)
Dari sumber-sumber yang banyak inilah negara akan memiliki modal besar untuk menyejahterakan rakyatnya. Sehingga tidak perlu terjerumus dalam utang riba yang menjerat, apalagi mencekik rakyat dengan beragam pajak yang dijadikan sebagai sumber utama pendapatan negara seperti dalam sistem Kapitalis.
Oleh karena itu, perlu kita memahami bersama bahwa sangat dibutuhkan perubahan mendasar dari sistem yang ditegakkan dan tentu perlu perjuangan serius dengan berlandaskan kesadaran dari seluruh umat. Perubahan sistem tersebut adalah dengan meninggalkan sistem Kapitalisme yang nyata kelemahan dan kerusakannya. Untuk kemudian kembali pada sistem politik yang tepat, yang akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang sahih, yakni sistem politik Islam dalam bingkai kekhilafahan yang sesuai dengan manhaj kenabian. Wallahu a'lam bishshowab.[]
photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]