Kisah Sebelumnya

Dani mendapatkan hukuman diskors selama seminggu. Tetapi ajaibnya, Angga sekeluarga bersedia membayar biaya operasi dan rumah sakit untuk menyembuhkan mata Ayah Dani. Aku sangat senang. Ayah anak ini tidak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan.


Oleh: Avissa Marsha

NarasiPost.Com-Sinar ujung dunia menyapa, diiringi semilir angin yang menyapu jalanan. Aspal abu dengan pohon rindang menjadi khas kota ini. Dulu menjadi lautan api sekarang berubah lautan kebahagiaan. Aku berjalan dengan kedua temanku, menggendong tas sambil menyapa teman-teman ramah. Belum banyak mobil yang lalu lalang, padahal matahari sudah mulai berderang.

Si cerewet Eunyi sudah mulai berkhotbah, membahas Anwar yang selalu memakai jaket. Nampak Anwar yang menutupi wajahnya dengan tudung tebal, enggan menyerang Eunyi.

Di ujung jalan Soekarno Hatta, terdapat gedung putih dengan tiang bendera berkarat. Siswa berseragam putih abu segera memasuki kelas sebelum lonceng berbunyi.
Guru-guru berseragam coklat mulai memasuki kelas setelah bel berbunyi.

Aku berdiri memberi salam lalu kembali duduk di atas kursi tua. Guru di depan mulai menerangkan materi, semuanya terlihat sangat normal sampai pulang sekolah.

Matahari sudah benar benar-benar terik saat aku keluar kelas. Banyak siswa yang menunggu jemputannya di depan pagar. Mobil angkot sudah berjejer paralel, memanggil siswa untuk naik.

Angga tidak terlihat keluar dari kelasnya, padahal ini sudah lewat lima menit.

“Kamana si Angga? Aku kesel kesel banget. Dia telat melulu,” gerutu Eunyi di depan pintu angkot terakhir.

“Neng, jadi naik, gak?” tanya kondektur angkot.

“Maaf, Pak, masih nunggu satu orang lagi,” jawab si Eunyi.

Akhirnya Angga menampakkan batang hidungnya sambil berlari cepat di antara kerumunan siswa. Tanpa sengaja, Angga menabrak kakek tua buta yang memegang tongkat penuntun. Tabrakan itu cukup keras sampai tongkat si kakek terlempar jauh.

“Maaf, Pak, maaf, lagi buru-buru,” kata Angga.

Eunyi marah melihat Angga yang malah terlihat lebih kesal.

“Kamu punya mata, gak? Kasihan tuh, kakeknya, kamu asal tabrak aja.”

“Yaa, maaf, tadi kan udah bilang.”

Segera kami menaiki angkot, meninggalkan kakek buta itu bangun sendiri. Namun, sebelum pergi, tatapan kakek itu melihat ke arahku, aneh dan seram.

Tadi Angga sempat dipanggil Bu Lina, guru olahraga, untuk melengkapi berkas berkas tim basket sekolah. Itu sebabnya ia tidak muncul-muncul.

"Resiko jadi ketua tim basket," kata Angga.

“Kalau bukan karena Bu Lina, udah ditinggalin kamu tadi.” Eunyi masih menyimpan rasa kesalnya.

Sampai di rumah, aku masih terngiang-ngiang dengan tatapan terakhir kakek itu. Aku mulai berpikir, kalau kakek itu pura-pura buta, bagaimana mungkin orang buta bisa menatap setajam itu padaku, padahal jaraknya jauh?

Ahh … ini karena Angga menabrak kakek itu. Mungkin Angga tidak tulus minta maafnya. Akan tetapi, mengapa aku yang ditatap oleh kakek itu? Sekarang aku merasa bersalah, padahal hanya sebagai saksi kejadian.

Sesampainya di rumah, daripada berpikir panjang tanpa ujung, aku mencari ponsel untuk menghubungi Angga. Tepat setelah mengetik nomor Angga, aku mengurungkan niat untuk menghubunginya. Mungkin saja hanya perasaanku, seolah ditatap terlalu tajam.

Selesai makan malam, kulihat Angga menghubungiku sampai empat belas kali. Firasatku mengatakan kalau terjadi sesuatu yang buruk. Segera kutelpon balik dia.

“Assalamualaikum, Ga, ada apa?” tanyaku ramah.

“Darimana aja, sih? Susah banget di telepon.” Ketus terdengar suara Angga. Aku pun menjawab sama ketusnya.

“Liat waktu dong! Ini kan jam makan malam, ada apa sih?”

“Ponsel Eunyi hilang,” jawab Angga singkat.

Sontak aku kaget. Mungkin aku salah dengar.

“Beneran?” tanyaku memastikan.

“Iyalah, masa boongan?” jawab Angga jengkel.

“Kamu tau dari mana, Ga?”

“Itu, ibunya Eunyi telepon ibuku, bilang kayak gitu. Sii Eunyi katanya nangis terus.”

Sekarang aku makin bersedih sekaligus bingung.

“Terakhir, emang ditaruh di mana? Paling si Eunyi lupa simpennya, Ga.”

“Tas sekolah, katanya. Waktu dia cari, malah hilang, gak ada.”

Kabar dari Angga membuatku cemas. Sampai malam ini, Eunyi tetap mencari-cari ponselnya yang hilang.


Eunyi beli ponsel itu menggunakan seluruh tabungannya selama dua tahun, tak heran mengapa ia sampai menangis.

“Udah dicoba telepon ponselnya?” Aku berusaha mencari solusi.

“Udah kata ibunya, tetapi kayaknya dimatikan total sama yang nemuin, atau … habis kali, batrenya.” Masalah menjadi semakin rumit.

“Ya udah, besok kita cari di jalan kemarin, ya, siapa tau ponselnya jatuh tadi.”

Angga setuju dengan pendapatku.
Malam itu, pikiranku tidak bisa tenang, memikirkan bagaimana perasaan Eunyi yang kehilangan ponsel. Aku berdoa kepada Tuhan sebelum tidur, semoga ponsel Eunyi segera ditemukan dalam keadaan baik-baik saja.

Esok paginya, terlihat Eunyi berjalan lunglai mendekati pagar rumahku. Kepalanya menunduk menghadap ke bawah. Gadis itu terlihat tidak semangat dan cerewet seperti biasa. Aku segera pamit pada ibu, lalu menghampiri Eunyi.

“Hmm … Nyi, jangan cemberut gitu doong, manisnya 'ntar ilang.”

Aku mencubit pipi gemas Eunyi. Dia hanya memegang tanganku agar berhenti mencubit.

“Kamu gak ngerti perasaan aku, sih,” kesah Eunyi. Dalam situasi seperti ini, ia memang susah diajak bercanda.

“Nanti juga ketemu ponsel kamu, atau malah dibeliin baru sama ortu kamu, yakin deh.” Aku mencoba memberi Eunyi semangat.

“Kamu udah tau, ya, ponselku ilang?”

“Iya, kemarin, dari si Angga.”

Eunyi tidak merespon lagi. Ia menunduk terdiam. Aku jadi takut dan serba salah mengajak Eunyi mengobrol. Keadaan menjadi hening karena aku kehabisan topik.

Kami bertemu Angga di perempatan. Kulihat dia sangat bersemangat membantu kawannya, si Eunyi mencari ponsel yang hilang. Tiap selokan yang dilewati, selalu Angga cek menggunakan senter. Aku ikut membantu mencari di semak semak sambil berjalan. Eunyi tidak kalah diam. Dia bertanya pada orang sekitar yang lewat di jalan trotoar ini. Hasilnya nihil, tidak ditemukan ponsel Eunyi.

Pagi itu, dia terlihat sangat tidak ingin masuk sekolah, apalagi bertemu banyak orang.

Hari itu jadwal piketku mengepel usai sekolah. Tiba-tiba Putri mencariku dan meminta agar aku datang ke kantor kepala sekolah. Perasaanku makin tidak enak. Tanpa menunda, aku berlari menuju ruangan kepala sekolah.

Di sana sudah berdiri Angga dan Eunyi. Tunggu, ada si kakek buta yang mencurigakan kemarin, dan juga Dani. Aku terdiam di depan pintu.

“Yuk, masuk dulu!” sambut Bu Hani, kepala sekolah.

Aku memasuki ruangan dan duduk di samping Eunyi.

“Nih, ponsel kamu, ibu temukan.”

Ibu Hani memberikannya dengan senyuman. Aku kagum, tak percaya Eunyi berhasil menemukan ponselnya. Ia terlihat senang sambil memegang ponselnya erat-erat.

“Dani, ayo … kamu cerita yang jujur sekarang!” pinta Bu Hani sopan.

Dani mengumpulkan segala keberanian. Ia mulai menelan ludah.

“Maaf … maafkan saya. Dani yang mengambil ponsel Eunyi kamarin di angkot.” ujar Dani sambil duduk, merapatkan kaki dan tangannya. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk jujur ke Eunyi.

“Kenapa kamu nyuri ponselku?” tanya Eunyi.

“Aku butuh uang, Nyi, buat sembuhin mata ayahku.”

Dani menengok ke arah kakek buta, tidak tahu harus apa. Kakek itu hanya tersenyum dan mengangguk. “Kakek ini ayah kamu, Dan?” Angga terbelalak tak percaya, kemarin dia tanpa sengaja menabrak ayahnya Dani.

Bu Hani dan Dani mengangguk bersama, mengiyakan pertanyaan Angga.

“Eh, maaf, Om, kamarin saya khilaf, gak sengaja nabrak Om, beneran.” Angga meminta tangan kakek tua itu untuk minta maaf sambil menunduk.

“Gapapa, Dik, kakek juga gak liat ada adik di depan.”

Sekarang ceritanya sudah semakin jelas. Ayah Dani juga menjelaskan bahwa mata yang tidak bisa melihat hanya sebelah kiri. Kemarin dia menatap anaknya lama-lama. Ia melihat Dani berani mencuri barang milik temannya. Namun, terhalang oleh badanku yang naik angkot duluan.

Kini aku mengerti, kenapa kakek ini kemarin menatapku tajam.
Masalah ini diselesaikan dengan damai.

Dani mendapatkan hukuman diskors selama seminggu. Tetapi ajaibnya, Angga sekeluarga bersedia membayar biaya operasi dan rumah sakit untuk menyembuhkan mata Ayah Dani. Aku sangat senang. Ayah anak ini tidak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan.

Ayah Dani memegang tangan Angga, “Terima kasih banyak, ya, Dik. Kakek gak tau, harus bales dengan apa. Semoga Allah yang balas kebaikan Adik, ya.”

Angga berubah menjadi malu sambil menepuk pelan tangan Ayah Dani. Sekarang masalahnya tuntas tanpa ada dendam dan saling membenci satu sama lain.

Picture Source by Google


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Pajak dan Jalan Panjang Rakyat Menuju Sejahtera
Next
Bukan Cokelat
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram