Dengan Apakah Demokrasi Menjaga Eksistensi Dirinya?

"Indonesia menerapkan sistem demokrasi, semestinya kebebasan berpendapat dan berekspresi dilindungi. Namun pada kenyataannya demokrasi itu sendiri banyak dikebiri dengan berbagai kebijakan pemerintah yang membungkam nalar kritik rakyat."


Oleh : Renita
(Pegiat Literasi)

NarasiPost.Com-Gejala antikritik rezim Jokowi tampaknya bukan sekadar isapan jempol belaka. Sebagaimana terlihat, semakin hari rezim ini semakin mantap untuk memproklamisasikan dirinya sebagai rezim antikritik. Berbagai kasus pencopotan ASN, kekerasan berujung maut serta penangkapan sejumlah aktivis gencar dilakukan dengan tudingan makar maupun penghinaan presiden. Begitupun narasi perang melawan radikalisme dan ujaran kebencian yang semakin intens digaungkan. Hal ini seolah menguatkan bukti pemerintahan hari ini makin represif.

Kini, publik dihebohkan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru yang kembali digulirkan. Sejumlah isu krusial kembali diangkat, di antaranya pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, kasus HAM, penghinaan lembaga negara hingga korupsi. Dikutip dari tirto.id, pasal bermasalah itu terletak pada Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden tepatnya Pasal 218 ayat 1 dan berbunyi:
"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Ancaman penjara tersebut dapat meningkat menjadi empat (4) tahun enam (6) bulan jika penghinaan itu dilakukan melalui media elektronik.

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menyatakan pengajuan kembali aturan tersebut bukan untuk mengkriminalisasi kritik yang berasal dari rakyat. Pasal tersebut dibuat sebagai upaya proteksi presiden dan wakil presiden dari penghinaan personal, bukan kritik. Aturan tersebut juga dijadikan delik aduan artinya pendakwaan terkait penghinaan hanya bisa dilakukan jika presiden dan wakil presiden mengadukan persoalan tersebut kepada kepolisian. Dirinya menambahkan, jika dirinya dikritik sebagai Menkumham yang tidak becus bukanlah sebuah masalah. Namun, hal yang tidak bisa dia terima jika penghinaan tersebut dilontarkan untuk menyerang pribadinya, seperti mengatakannya anak haram jadah. (tirto.id, 9/6/2021)

Perlu diketahui, RKUHP merupakan undang-undang produk lama yang pembahasannya masih mandeg lantaran banyak regulasi bermasalah di dalamnya, termasuk di dalamnya yaitu UU penghinaan presiden, yang diketahui merupakan undang-undang produk warisan kolonial Belanda yang diberlakukan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda. UU ini kemudian diadopsi pemerintah dalam pasal 134 KUHP. Namun, MK secara tegas telah membatalkan pasal 134 tersebut dengan alasan inkonstitusional. Kini, pemerintah kembali menggulirkannya dengan dalih untuk melindungi presiden dan wapres dari penghinaan personal. Benarkah demikian?

Antikritik, Nyawa Bagi Demokrasi

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Hibnu Nugroho, mengungkapkan bahwa pemberlakuan ketentuan penghinaan presiden merupakan sebuah kemunduran. Mengingat, Indonesia telah menerapkan sistem demokrasi, maka semestinya kebebasan berpendapat dan berekspresi dilindungi. Menurutnya, pemberlakuan delik aduan tidak bisa menutupi bobroknya pasal ini. Sebab, tidak adanya batas yang jelas terkait frasa menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri. Selain itu, jika melihat pada penerapan UU ITE, pasal penghinaan atau pencemaran nama baik kerap salah ditafsirkan oleh penegak hukum sehingga menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Dengan begitu, bisa jadi kritik terhadap presiden juga turut kena sikat. (tirto.id,9/6/2021).

Rencana pemberlakuan RKUHP memang tak lepas dari perdebatan dan penolakan publik, seperti halnya UU penghinaan presiden yang kembali dimunculkan. Walaupun awalnya bersifat delik bisa kemudian diubah menjadi delik aduan, namun bongkar pasang regulasi ini memang kerap dilakukan tanpa melibatkan aspirasi publik. Adanya delik aduan tetap saja tak bisa membenahi persoalan, justru malah berpotensi adanya tumpang tindih kebijakan. Jika ini menyangkut penyerangan personal, sebenarnya sudah ada payung hukum yang menaunginya, yakni UU ITE yang memang menjadi senjata ampuh rezim untuk memberangus suara kritis rakyat.

Selain itu, presiden dan wakilnya merupakan hasil pilihan rakyat sudah seharusnya bertanggung jawab kepada rakyat. Tak ada privilege yang membuat derajatnya lebih tinggi daripada rakyat seperti halnya raja. Kuat dugaan, ketika regulasi ini diberlakukan justru berpotensi menjadi batu sandungan dalam melakukan pemeriksaan terhadap presiden dan wakil presiden terkait pelanggaran hukum. Seolah di atas angin, penguasa secara resmi memanfaatkan abuse of power ketika berhadapan dengan hukum.

Belum lagi ketidakjelasan frasa penghinaan pribadi yang ada dalam UU tersebut, berpeluang dimanfaatkan untuk membidik orang-orang kontradiktif terhadap pemerintah serta mengebiri hak konstitusi rakyat. Penafsiran yang berbeda dari masing-masing pihak akan memicu perspektif yang tak berimbang. Patut diduga, pemerintahlah yang akhirnya menjadi aktor tunggal yang dapat memonopoli kebenaran dan keadilan. Tak ayal, aturan ini memang digulirkan hanya untuk melumpuhkan aspirasi rakyat demi melanggengkan eksistensi rezim yang berkuasa.

Bukan hal yang aneh ketika kebijakan zalim terus diproduksi pemerintahan saat ini. Memang inilah konsekuensi yang harus dibayar pemerintah, saat konsisten berada dalam genggaman sistem demokrasi kapitalis yang memihak kepentingan kapitalis. Karena pada pelaksanaannya, sistem ini akan selalu menerobos proses partisipasi rakyat, bahkan mengamputasi aspirasi publik sekaligus meniadakan proses diskusi yang memfasilitasi kepentingan rakyat banyak.

Maka, jangan harap perkara hak-hak asasi manusia serta kemanusiaan yang adil dan beradab, akan menjadi parameter dalam pengambilan keputusan. Kalaupun topik ini dilejitkan semuanya hanya sebatas lip service di ruang-ruang majelis. Faktanya, selama rezim ini berkuasa, berbagai kebijakan publik yang telah digulirkan benar-benar menyakiti hati rakyat. Bahkan semakin menyusahkan kehidupan mereka.

Nyatanya, sistem demokrasi memang sudah cacat sejak kelahirannya. Berbagai kebebasan semu yang ditawarkan sengaja digunakan sebagai alat untuk membendung upaya perubahan, terlebih perubahan ke arah tegaknya sistem Islam. Sistem demokrasi kapitalisme yang lahir dari rahim sekularisme memang menafikan peran Sang Pencipta dalam kehidupan. Karenanya, mereka menuhankan akal, sebab rakyat alias akal manusialah sang pemilik kedaulatan. Darinya semua kebijakan dibuat sebagai solusi permasalahan kehidupan, sehingga tak perlu heran dengan keberadaan rezim demokrasi yang antikritik. Karena bagaimanapun juga, demokrasi tak akan mungkin mengakhiri hidupnya sendiri dengan merestui dibukanya ruang kritik secara leluasa.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat mendepak sistem bobrok ini dan menerapkan sistem yang melahirkan kebaikan untuk seluruh alam. Sistem yang menjamin keadilan dan kesejahteraan, serta memberi kebebasan dalam mengoreksi setiap kebijakan penguasa selama dalam koridor yang sahih demi menjamin kebaikan-kebaikan.

Syariat Islam Terpelihara dengan Muhasabah Lil Hukam

Islam dengan sistem pemerintahannya tegak berdasarkan akidah dan standar hukum syara’. Khalifah sebagai kepala negara beserta rakyat dalam Islam benar-benar menjaga prinsip ini. Sehingga, tak ada yang keistimewaan di antara keduanya. Upaya saling mengontrol dan menasihati akan ditumbuhsuburkan satu sama lain. Sebab, konsep penyelenggaraan kekuasaan Islam yakni dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah Swt, bukan untuk meraih kepentingan duniawi semata.

Islam mewajibkan setiap muslim untuk melakukan muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) sebagai bagian dari amar ma'ruf nahi munkar bagi setiap muslim. Allah Swt. berfirman
"Hendaknya ada di antara kalian, sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan, serta menyeru pada kema'rufan dan mencegah kepada kemungkaran” (Ali Imran:104).

Rasulullah juga meriwayatkan sebuah hadis lain terkait muhasabah lil hukkam. "Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya
(HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath).

Sungguh, memberikan kritik serta mengoreksi kebijakan penguasa merupakan sebuah kebaikan dalam Islam. Bahkan, Allah memberikan pujian kepada seorang yang melakukan amar ma’ruf kepada penguasa kemudian dibunuh sebagai penghulu syuhada. Inilah salah satu keutamaan dari muhasabah lil hukam.

Selain itu, Khalifah sebagai penguasa dalam sistem Islam merupakan manusia biasa, bukan seorang yang maksum seperti Rasulullah Saw. Maka, Khalifah berpeluang untuk melakukan kekeliruan dalam kebijakannya ketika keimanannya melemah. Untuk itu, muhasabah lil hukam sangat penting dalam sistem Islam. Dengan adanya muhasabah lil hukkam diharapkan penerapan Islam dapat terjaga dari segala penyimpangan. Sebab, ketika aktivitas ini tidak dilakukan tentu berpotensi mengakibatkan terjadinya pelanggaran dan runtuhnya pelaksanaan hukum Islam.

Oleh karena itu, ketika kita melihat kebijakan yang bertentangan dengan syariat Islam dikeluarkan dalam sistem demokrasi kapitalis hari ini, tak cukup hanya bersikap diam dan berdoa saja. Sebab, dengan begitu kita akan terus menerus berada dalam kungkungan sistem rusak dan merusak ini. Maka, perlu adanya upaya untuk mengoreksi penguasa sebagaimana kewajiban kita sebagai seorang muslim yang tidak rela melihat kebijakan zalim terus dirasakan oleh masyarakat.

Saatnya kita kembali pada sistem yang menerapkan seluruh syariat Islam di dalam seluruh aspek kehidupan. Sehingga, terwujud kepemimpinan yang mengurus dan melindungi rakyat dengan sepenuh hati, bukan penguasa penuh dengan ancaman dan sanksi. Kepemimpinan tersebut tiada lain adalah Khilafah ala minhaj nubuwwah. Tidakkah kita merindukannya?

Wallahu A’lam bish shawwab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Srikandi Penggerak Opini Islam
Next
Tandem Nursing
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback
4 days ago

[…] Baca juga: dengan-apakah-demokrasi-menjaga-eksistensi-dirinya/ […]

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram