RKUHP Libas Nalar Kritis Rakyat

"RKUHP merupakan salah satu produk UU yang bermasalah sejak tahun 2019 tapi pemerintah terus berupaya mengantarkannya pada Prolegnas 2021. RKUHP bagaikan coretan yang membungkam nurani rakyat"


Oleh. Nurjamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Ketika politik mengajarkan bahwa tugas politikus sesungguhnya melaksanakan kehendak rakyat. Namun, yang terjadi mereka hanya mementingkan dirinya sendiri.”-Joseph Schumpeter.

Pandemi belum berakhir, krisis multidimensi masih berkecamuk, dan negara berada diambang kehancuran. Lambatnya penanganan dan tidak tepatnya solusi yang diambil pemerintah, menambah kompleksnya permasalahan saat ini. Dalam kondisi seperti itu, idealnya pemerintah memberikan kesempatan kepada para ulama, cendekiawan, dan masyarakat untuk urun pendapat memberikan solusi bagi problematika bangsa ini. Namun, alih-alih membuka ruang diskusi, pemerintah justru berencana mengesahkan RKUHP yang berarti menambah panjang deretan regulasi untuk membungkam sikap kritis rakyat.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah merampungkan sosialisasi Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di Hotel Luwansa, Jakarta. Sebelumnya 11 kota lain telah disinggahi demi sosialisasi ini.

Tim ahli penyusun RKUHP yang juga merupakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Markus Priyo Gunarto, mengatakan terdapat usulan perubahan bahkan penghapusan di beberapa pasal dalam RUU KUHP dengan berbagai alasan. (www.cnnindonesia.com, 15/06/2021)

Dari perubahan tersebut, terdapat pasal-pasal yang dinilai bermasalah dan berpotensi menjadi pasal karet. Pertama, terkait dengan Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam pasal 218-220 RKUHP. Pasal itu dianggap warisan dari kolonial Belanda karena awalnya digunakan untuk melindungi martabat ratu dan raja di Belanda.

Kedua, Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah yang diatur dalam pasal 240-241 RKUHP.

Ketiga, Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara yang diatur dalam pasal 353-354 RKUHP. Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet yang hendak mengekang hak dan kebebasan warga negara, bahkan bisa menjelma menjadi pasal subversif.

Keempat, Tindak Pidana Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi tanpa Izin yang diatur dalam pasal 273 RKUHP. Pasal ini mencerminkan politik perizinan yang diadopsi Belanda (rust en orde) juga pelegalan aktivitas memata-matai gerak rakyat pada tahun 1960-an.

Kelima, Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan yang diatur dalam pasal 281 RKUHP, bersinggungan dengan kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, dan hak atas informasi. Seharusnya, peradilan di Indonesia bersifat terbuka, sehingga pemberitaan bebas dilakukan. Akses informasi berkenaan proses peradilan dan keputusan hukum semestinya bisa diakses oleh masyarakat luas. (www.liputan6.com, 10/06/2021)

RKUHP Bukti Negara Otoriter

Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa pasal terkait penghinaan presiden dan wapres ini kembali dihidupkan? Padahal, pasal ini sudah ditolak Mahkamah Agung pada tahun 2006. Publik juga khawatir, hal ini akan mengganggu atmosfer politik di tanah air, terjadi over-criminalization atau kriminalisasi terhadap rakyat yang memberikan kritik kepada presiden dan wapres.
Meski pasal-pasal ini merupakan delik aduan. Tapi tidak ada batasan yang jelas apakah aduan ini hanya boleh diajukan oleh presiden dan wapres saja? Atau pendukung dan pihak yang merasa mewakili keduanya, bahkan aparat juga turut diterima aduannya? Hal seperti ini mudah saja dikondisikan oleh pihak pemerintah. Pastinya, pasal ini mampu menjerat siapa saja yang berseberangan dengan pemerintah, terlebih lawan politik dan rakyat yang kritis.

Bukan kali ini saja pemerintah memberikan kejutan sekaligus kado pahit bagi rakyat. Semakin hari, semakin banyak kebijakan nyeleneh yang diambil pemerintah. Hampir tidak ada kebijakan yang memihak rakyat. Semua nyata menunjukkan keberpihakan pada korporasi dan pemilik modal/kapitalis. Rakyat seringkali menjadi pesakitan dan korban dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Semua kebijakan ini tampak tergesa-gesa dan dipaksakan untuk legal, seakan memang ada pihak tertentu yang mengendalikan dan memberi titah.

RKUHP merupakan salah satu produk UU yang bermasalah. Pasalnya, RKUHP ini juga telah menuai kritik dari banyak kalangan di tahun 2019. Tapi hal tersebut tak diindahkan, pemerintah malah semakin bernafsu untuk mengantarkannya pada Prolegnas 2021. Parahnya, penyusunan rancangan ini sama sekali tidak melibatkan rakyat.
Rakyat baru tahu ketika pemerintah sudah menyosialisasikannya. Bukan untuk meminta restu dari rakyat, tapi sekadar informasi belaka. Inikah wajah asli demokrasi yang katanya menjamin kebebasan berpendapat bagi rakyat?

Jika melihat aneka kebijakan pemerintah saat ini tampak sekali aroma liberalisme-kapitalisme yang mendominasi. Hanya saja ada paradoks yang terjadi. Satu sisi, pemerintah semakin ugal-ugalan dalam mengelola negara dengan cara pandang kapitalisme. Sisi lain, pemerintah bersikap otoriter dengan memberangus nalar kritis rakyatnya. Ini menunjukkan penguatan otoritarianisme para penguasa kepada rakyat. Mengerikan sekali jika membayangkan negara ini menjelma menjadi negara otoriter dan diktator. Hukum dijadikan alat untuk menjaga kekuasaan. Sehingga, kebijakan apa pun yang diterbitkan pemerintah, walaupun zalim dan menyakiti rakyat, tetap bisa terus meluncur tanpa ada batu sandungan. Tersebab, rakyatnya dibungkam suaranya oleh RKUHP ini. Walau terkesan elegan, tapi ini sungguh licik.

Sebaiknya pemerintah meninjau ulang rancangan UU ini, karena tidak ada urgensi dan manfaatnya sedikit pun bagi rakyat. Bahkan, bisa menimbulkan keresahan dan memberi kesan pemerintah bersikap otoriter dan represif. Sebenarnya pemerintah tidak perlu repot-repot merancang pasal penghinaan ini, karena wibawa presiden tidak dijaga dengan pendekatan hukum pidana, melainkan dengan memberikan kesejahteraan, keadilan, perlindungan, dan pelayanan kepada rakyat.
Inilah yang seharusnya menjadi fokus pemerintah, terus membenahi diri, memahami akar permasalahan dan mencari solusi yang efektif dari aturan komprehensif untuk mengeluarkan negeri ini dari krisis multidimensi. Niscaya, rakyat akan menaruh simpati, menghormati, dan membela pemimpinnya jika amanah yang diberikan telah ditunaikan dengan baik.

Mengoreksi Penguasa merupakan Aktivitas Mulia dalam Islam

Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang memiliki perangkat aturan paripurna yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Ajarannya mengatur berbagai relasi, hubungan manusia dengan Al-Khalik, dirinya sendiri, dan sesama manusia (termasuk kepada penguasa). Khilafah merupakan institusi yang menaungi penerapan syariat Islam kafah. Betul, Islam adalah ajaran yang sempurna, akan tetapi yang menjalankannya adalah manusia, berpotensi lalai dan melakukan kesalahan. Oleh karenanya, Islam mewajibkan kepada warga negara untuk mengoreksi penguasa (muhasabah lil hukkam), baik terhadap perkataan, tingkah laku, kebijakan, dan interaksi penguasa dengan pihak tertentu.

Islam mewajibkan aktivitas mengoreksi penguasa, karena bagian dari keutamaan amar makruf nahi munkar. Ini demi menjaga stabilitas negara, agar tidak terjerumus pada otoritarianisme dan kebebasan yang kebablasan.
Rasulullah Saw secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya:

«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»

“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)

«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»

“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zalim itu) membunuhnya.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath)

Oleh karena itu, Khilafah akan membuka lebar ruang-ruang diskusi, akses untuk menyalurkan aspirasi melalui berbagai media. Bahkan, mendirikan suatu lembaga resmi yaitu Majelis Umat sebagai wadah bagi orang-orang yang mewakili kaum Muslim dalam menyampaikan pendapat sebagai bahan pertimbangan bagi Khalifah, juga mewakili nonmuslim untuk menyampaikan aduan terhadap kezaliman para penguasa atau penyimpangan pelaksanaan hukum Islam.

Gambaran kehidupan yang ideal sebagaimana yang ada dalam negara Khilafah mustahil diwujudkan dalam negara demokrasi yang memiliki cacat bawaan. Sistem demokrasi berpotensi represif dan antikritik. Melibas siapa pun yang mengganggu kepentingan penguasa dan para kapitalis. Buktinya, ‘keberisikan' rakyat dilibas dengan RKUHP.
Lantas atas dasar apa, kita masih mempertahankan sistem demokrasi yang secara vulgar mempertontonkan perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha kapitalis? Tega mengkhianati kesetiaan rakyat yang dahulu memberikan kekuasaan kepadanya untuk mengurusi urusan rakyat dan negara. Sungguh memuakkan.
Sudah saatnya rakyat sadar tabiat asli dari sistem demokrasi-kapitalis yang selalu memperalat rakyat, untuk memuluskan birahi kepentingannya. Menghalalkan berbagai cara dan tak segan menebas siapa saja yang berseberangan dengan keinginannya, melalui UU yang mereka legalkan.

Sungguh sistem ini tak layak pakai, karena hanya menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan. Mencampakkan sistem ini adalah pilihan terbaik yang masih bisa kita tempuh.
Gantilah dengan sistem Islam dan Khilafah yang terbukti adil dan mampu memberikan kesejahteraan dan keamanan bagi umat manusia. Jika tidak sekarang, maka kapan lagi? Inilah abad Khilafah, keniscayaan yang mustahil bisa digagalkan oleh siapa pun. Songsonglah tegaknya Khilafah dengan perjuangan dan doa kita bersama. Allahu Akbar!
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Realita Narkotika di Alam Kapitalis
Next
Mencetak Generasi Hamilul Qur'an
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram