”Sesungguhnya pada setiap amalan ada masa semangat. Pada masa semangat tersebut ada masa bosan (futur). Maka barangsiapa yang (melampiaskan rasa bosannya) kepada sunnahku, sungguh dia telah selamat. Namun, barangsiapa yang memalingkannya kepada selain sunnah, sungguh dia telah binasa” (HR. Ibnu Hibban)
Oleh. Ummu Hanan
NarasiPost.Com-Pernahkah kita merasa tidak bersemangat dalam mengerjakan sebuah aktivitas? Atau memandang setiap amal yang kita lakukan hanya sebatas menggugurkan rutinitas? Sebutlah seperti berangkat kuliah, mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing, mencari referensi makalah di perpustakaan, dan semisalnya. Kita memang hadir untuk menjalankan perbuatan tersebut, namun ada sebuah ganjalan dalam hati, “Mengapa aku harus melakukannya? Aku jenuh..” Akhirnya tak ada yang tersisa darinya kecuali rasa lelah dan enggan untuk beranjak menuju capaian yang lebih tinggi.
Pernahkah kita mengalaminya di saat beragam perintah Allah dan Rasul-Nya menuntut segera ditunaikan dan kita sangat tidak bersemangat? Adakah kita merasa bosan harus senantiasa mengulang perkara yang sama setiap pekan bahkan pada hari dan jam yang sama? Merasa letih harus hadir dan mendengarkan kajian rutin, membuka kitab dan membacanya serta menyimak penjelasan sang ustazah yang boleh jadi kadar keilmuannya tak lebih dari kita. Terlebih ketika kita lah yang menjadi pengisi dalam kajian rutin tersebut. Terbayang sebuah suasana hampa yang penuh dengan keheningan saat kesempatan untuk bertanya diberikan. Semua seolah menjadi sekadar rutinitas. Tidak ada semangat, tak muncul kesungguhan dan ingin segera mengakhiri.
Padahal hakikatnya kita sedang menjalankan amal kebaikan. Ingatlah seruan penggungah dari Rabb semesta alam yang mengabarkan bahwa, “Barangsiapa datang dengan (membawa) kebaikan maka dia akan mendapat (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu” (TQS: Al Qashas: 84) dan juga ayat yang berbunyi l, “Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya” (TQS: Al An’am:160).
Begitu luar biasa balasan yang akan Allah curahkan pada pelaku kebaikan. Tetapi mengapa ada saat ketika beramal kebaikan tak lagi menggairahkan?
Ada sebuah ungkapan yang jamak diutarakan ketika seseorang merasa jenuh beramal salih, “Maaf, sepertinya saya sedang futur.” Lalu seketika hilangnya ia dari peredaran dunia nyata dan maya seolah menjadi permakluman. Seketika menjadi hantu yang bergentayangan entah ke bangunan kosong yang sebelah mana. Dia pun sangat menikmati peran sebagai hantu milenial alias ghosting dengan alasan sedang futur. Keberadaannya tak lagi dapat terendus, hilang dari kajian, enggan merespon chat, mengabaikan amanah dan akhirnya meminta opsi untuk diizinkan istirahat dari perjuangan dakwah. Sekali lagi, itu semua dilakukan semata karena merasa sedang futur.
Lantas, adakah futur menjadi penyebab utama hilangnya semangat beramal salih? Apakah sungguh karena futur lalu menjadi pembenaran bagi seseorang menjauh dari perintah Allah?
Dari Abdullah bin Amr, beliau berkata, Rasulullah Saw bersabda,”Sesungguhnya pada setiap amalan ada masa semangat. Pada masa semangat tersebut ada masa bosan (futur). Maka barangsiapa yang (melampiaskan rasa bosannya) kepada sunnahku, sungguh dia telah selamat. Namun, barangsiapa yang memalingkannya kepada selain sunnah, sungguh dia telah binasa” (HR. Ibnu Hibban)
Melalui penggalan hadis di atas kita dapati bahwa kondisi futur adalah manusiawi, artinya ada kalanya manusia merasa jenuh dalam melakukan suatu amalan. Hanya saja ketika rasa lemah itu muncul dalam beribadah dan beramal salih, maka Nabi Saw memerintahkan agar kita tetap berada dalam tuntunan Beliau Saw. Futur tidak menjadi sebuah pembenaran untuk meninggalkan sunnah Nabi Saw. Sebaliknya rasa futur adalah peringatan atas niat kita dalam melakukan amalan. Adakah niat kita selama ini lurus ikhlas karena Allah, atau ada terbesit keinginan meraih rida manusia? Sudahkah kita senantiasa menyibukkan diri dengan ragam ketaatan?
Alangkah bijak jika kita berkaca pada diri, mengapa futur bisa menghinggapi. Mungkin saja bukan perkara futur yang berperan besar dalam keenganan kita beramal salih selama ini. Bukan mustahil bahwa kitalah yang sesungguhnya telah disibukkan dengan perkara yang mubah hingga mengarah pada yang makruh, melalaikan dari yang wajib dan meninggalkan yang mandub. Mungkin kita sedang mengidap sindrom futuroholic hingga tak mampu lagi menilai kelemahan diri kecuali menisbatkannya pada futur. Hanya kepada Allah kita memohon petunjuk serta untuk istikamah di atas jalan tersebut. Wallahu’alam[]
Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]