Prank, Buah Pahit Kebebasan dalam Demokrasi

"Negara wajib memfilter setiap paham yang masuk ke tengah masyarakat, termasuk paham kebebasan yang dianggap sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sebab, tak ada kebebasan mutlak dalam individu manusia karena setiap perbuatan terikat dengan hukum Allah."


Oleh : Miliani Ahmad

NarasiPost.Com-Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) disebutkan bahwa bagi setiap individu yang melakukan kejahilan atau prank dapat dikenai denda hingga Rp10 juta. Sanksi ini berlaku jika prank yang dilakukan dapat menimbulkan kerugian, bahaya dan menyusahkan orang lain.

Pada pasal 335 RKUHP yang berbunyi, “Setiap orang yang di tempat umum melakukan kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, atau kesusahan dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.”
Lebih rinci yang berkaitan dengan denda diatur pada pasal 79 RKUHP dengan denda mencapai Rp10 juta bagi para pelaku prank yang masuk kategori II. Selanjutnya pada pasal 81 RKUHP juga diatur tentang waktu pembayaran denda. Jika melebihi tenggat waktu, maka harta kekayaan pelaku terancam akan disita.

Pertanyaannya, betulkah sanksi denda dan penyitaan kekayaan terhadap pelaku prank sebagaimana yang diatur dalam RKUHP tersebut mampu menuntaskan permasalahan prank selama ini?

Budaya Prank, Budaya Peradaban Liberal

Budaya prank beberapa tahun terakhir ini memang semakin marak kita temui. Belum lekang dari ingatan kita ketika beredar video prank di channel youtube milik Ferdian Paleka tahun lalu yang berisi konten bantuan paket sembako. Namun nyatanya, paket tersebut adalah paket yang berisi batu dan sampah yang diberikannya kepada para waria dan anak-anak. Kontan saja konten video tersebut mendapat hujatan dan kritikan.

Tak hanya di channel youtube, televisi-televisi pun tak mau ketinggalan menawarkan program serupa hanya karena ingin mengejar rating tinggi. Tujuannya agar income perusahaan bisa meningkat seiring jumlah iklan yang ditayangkan. Sungguh amat sangat disayangkan. Hanya karena mengejar target rating, liker, subscriber, dan juga keuntungan materi lainnya, prank seakan menjadi ladang bisnis bagi para youtuber dan insan pertelevisian. Masyarakat pun seakan mudah terpengaruh. Hingga akhirnya perilaku prank pun merambah ke rumah-rumah dan kehidupan masyarakat. Prank dianggap lelucon yang lucu, menggelikan sekaligus nenimbulkan kepuasan bagi pelaku.

Rasanya tak heran jika budaya prank banyak bermunculan dalam keseharian kita saat ini. Bukan tanpa alasan, sebab perilaku tersebut memang diayomi dalam tata aturan demokrasi. Salah satu pilar kebebasan penyangga demokrasi adalah kebebasan bertingkah laku. Pilar ini telah memberikan keleluasaan bagi setiap individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Tak lagi memperhitungkan apakah subjek atau korban prank akan mengalami kerugian baik kerugian materil ataupun immateril.

Sayangnya, langkah nyata untuk menyelesaikan perilaku rusak ini belum mampu diwujudkan. Sanksi bagi media, khususnya televisi kerap kali hanya bersifat teguran atau menghentikan program siaran. Begitupula sanksi terhadap individu masih terasa jauh.

Jikapun sanksi denda akan segera diberlakukan, nampaknya sanksi ini pun belum mampu mengurai masalah. Demokrasi yang mengamini pola hidup serba bebas (liberal) memang sudah berkarat dalam perilaku masyarakat. Ditambah pula dengan lemahnya pola pendidikan kepribadian (syakhsiyyah) yang berlandaskan keimanan, makin meniscayakan perbuatan prank akan tetap tumbuh subur dalam masyarakat.

Inilah sejatinya pangkal kerusakan perilaku masyarakat saat ini. Kebebasan bertingkah laku yang disanjung-sanjung dalam demokrasi nyatanya melahirkan pola interaksi yang rusak. Masyarakat kadangkala tak lagi mampu menakar apakah tindakan mereka benar atau salah, halal atau haram, membahayakan atau tidak. Semuanya hanya bertumpu pada satu tujuan, yakni mencapai kesenangan dan kepuasan. Jika sudah demikian, aturan seperti apa yang bisa diharapkan untuk menghentikan problem kerusakan ini?

Menakar Solusi Jitu Atasi Kerusakan Perilaku

Dalam Oxford Dictionaries, kata prank dimaknai sebagai sebuah cara atau trik yang dilakukan individu kepada individu lainnya yang bertujuan sekadar membuat candaan. Begitupula dalam Cambridge Dictionary, prank pun hampir dimaknai serupa, yakni trik untuk menciptakan kesenangan tetapi tidak sampai membahayakan dan menimbulkan kerusakan. Sedangkan menurut bahasa Indonesia sendiri, kata prank bermakna kelakar, gurauan, seloroh atau olok-olok.

Beragam definisi kata prank di atas sesungguhnya menunjukkan sebuah inti bahwa prank adalah trik yang bertujuan mencipkakan kesenangan baik dengan olok-olok, gurauan, ataupun candaan.

Dalam Islam candaan dibagi menjadi dua kategori, yakni candaan yang dibolehkan dan candaan yang tidak diperbolehkan. Candaan yang dibolehkan adalah candaan yang tak melanggar perintah syariat dan tidak terdapat unsur kebohongan ataupun merugikan pihak lain.

Rasulullah Saw dahulu pernah bercanda kepada seorang wanita tua. Wanita tua yang dimaksud pernah bertanya kepada Rasul, “Ya Rasul, mohon sertakan aku dalam do’amu agar Allah Swt berkenan memasukkanku ke dalam Jannah-Nya.” Kemudian Rasul pun menjawab bahwa di dalam surga tidak akan ada perempuan tua yang masuk ke sana. Sejurus kemudian wanita tua itu pun menangis. Ia merasa bahwa dirinya tak akan bisa masuk ke dalam surga karena dirinya yang sudah tua.

Rasulullah pun lalu menenangkannya dan berkata bahwa memang tidak ada wanita tua yang akan menghuni surga, sebab mereka semua akan berubah menjadi muda atas kuasa Allah. Jika beriman maka ia pasti akan masuk ke dalam surga dalam keadaan muda, lagi perawan nan menawan. Mendengar hal itu, sang wanita tua menjadi mengerti bahwa sesungguhnya Rasulullah sedang bercanda kepada dirinya. Rasul pun membacakan surat adz-Dzariyat ayat 35-37,

Kami ciptakan mereka (bidadari-bidadari) secara lansung, lalu kami jadikan mereka perawan-perawan yang penuh cinta dan sebaya umurnya.”

Kemudian wanita tua tersebut tertawa di hadapan Rasulullah sambil menampakkan giginya yang ompong.

Kedua, candaan yang tidak diperbolehkan adalah candaan yang dibumbui dengan unsur kedustaan, menimbulkan bahaya, menyakiti, dan menimbulkan trauma terhadap korbannya.
Pada masa Rasulullah Saw dahulu, prank atau candaan kategori ini juga pernah terjadi. Dikisahkan bahwa Rasulullah Saw sedang malakukan safar di malam hari. Dalam safar tersebut, salah seorang sahabat tertidur. Sahabat yang lainnya lalu berinisiatif menggendongnya lalu memindahkannya tidur di atas bukit. Saat terbangun, sang sahabat merasa terkejut dan ketakutan. Karena melihat ekspresinya yang demikian, para sahabat lainnya tertawa terbahak-bahak.

Menyaksikan hal tersebut, Rasul kemudian berkata,
“Tidak halal bagi seorang muslim membuat takut muslim lainnya.” (HR. Abu Dawud)

Dengan kejelasan hukum candaan di atas, maka prank/candaan yang dapat merugikan dan membahayakan orang lain terkategori perbuatan yang haram dilakukan. Untuk itulah setiap individu dari kaum muslim diwajibkan untuk terikat kepada setiap aturan agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan. Jangan sampai candaan yang dianggap sepele berimbas kepada pertanggungjawaban yang berat kelak di Yaumil Akhir.

Tak cukup hanya individu yang ditekankan, negara dalam hal ini penguasa, memiliki kewajiban utama untuk menjaga perilaku masyarakat agar sesuai aturan syariat. Negara wajib memfilter setiap paham yang masuk ke tengah masyarakat, termasuk paham kebebasan yang dianggap sebagai bagian dari hak asasi manusia. Jika telah berkembang, negara wajib meredamnya. Sebab, tak ada kebebasan mutlak dalam individu manusia karena setiap perbuatan terikat dengan hukum Allah.

Selain itu, negara pun wajib mengawasi media-media massa dan media sosial yang kemungkinan bisa menjadi wasilah propaganda bagi paham yang salah. Konten merusak dan konten yang berisi pemahaman yang menyimpang wajib dihentikan. Hal ini diupayakan agar jangan sampai hal tersebut mengontaminasi dan menjauhkan pemikiran umat dari pemikiran yang sahih (Islam). Serta yang tak boleh ketinggalan adalah bagaimana negara mampu menciptakan pendidikan yang mendukung terbentuknya manusia-manusia yang mampu menyelaraskan pemikiran dan perbuatannya berlandaskan akidah Islam. Sistem pendidikan ini harus mampu dijalankan dari ranah pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Tentunya kurikulum yang dipakai merupakan kurikulum yang tak bisa dilepaskan dari Al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan kurikulum yang berlandaskan ide manusia atau pula moderasi beragama.

Namun langkah-langkah tersebut akan amat berat diupayakan dalam sistem demokrasi sekuler saat ini yang menempatkan kebebasan sebagai junjungan dalam perbuatan. Hanya sistem Islamlah yang mampu mewujudkan tata kehidupan yang berkah. Islam dengan segala kesempurnaannya akan berupaya dengan maksimal mewujudkan sistem penangulangan kerusakan perilaku dengan mengoneksikan berbagai sistem, seperti sistem pendidikan, sosial, dan sistem sanksi. Semuanya akan dilakukan berlandaskan keimanan dan aturan sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah.

Maka, sudah saatnya umat membuang setiap pemikiran yang rusak dan merusak disertai upaya untuk mewujudkan hadirnya sistem Islam di tengah-tengah kehidupan. Bukankah Allah telah memberikan aturan terbaiknya, lalu mengapa kita belum mengupayakannya?

"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S Al-Hujurat ; 11)
Wallahua’lam bish-showwab[]


photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Waspada!!! Warisan Utang Indonesia
Next
Jamaah Haji Batal Berangkat, di Mana Tanggung Jawab Negara?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram