Utang Negara Menggunung, Siapa yang Menanggung?

"Tanpa disadari utang yang berlangsung terus menerus telah menimbulkan ketergantungan. Realitas ini telah menjadikan rakyat di negeri ini terpenjara dalam kungkungan utang hingga anak cucu mereka. Parahnya lagi, utang yang tinggi telah melahirkan kebijakan pemangkasan subsidi yang semakin menekan tingkat perekonomian."


Oleh: Miliani Ahmad

NarasiPost.Com-Besar pasak daripada tiang. Peribahasa ini kerap dikaitkan dengan perilaku masyarakat yang konsumtif tetapi minim pendapatan. Akibat pola sikap demikian, banyak kalangan masyarakat yang terjebak dalam dilema utang. Lalu bagaimana jika dilema utang juga menghantui negara?

Di negeri ini, utang merupakan permasalahan klasik yang tak pernah hilang dalam kacamata APBN. Dari masa ke masa, rezim berganti rezim, utang seakan menjadi sahabat setia yang menemani kursi kekuasaan. Bahkan seiring neoliberlisme yang makin menancap di negeri ini, utang Indonesia terus saja mengalami pembengkakan.

Pada periode April 2021 utang negara meroket mencapai Rp6.527,29 triliun. Terjadi penambahan sebesar Rp82,22 triliun dibanding bulan sebelumnya yang bertengger di angka Rp6.445,07 triliun (finance.detik.com, 07/06/2021). Cepatnya laju pertumbuhan utang ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengamat. J. Rachbini seorang Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperikirakan bahwa di akhir periode kekuasaan rezim saat ini, penguasa akan mewariskan utang yang menggunung lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden selanjutnya (gelora.co, 05/06/2021).

Bukan itu saja, pembengkakan utang tersebut telah menimbulkan kekacauan kebijakan yang diambil negara. Di tengah lesunya perekonomian dalam negeri berbagai kebijakan kontradiktif justru hadir demi menambal utang negara. Di antaranya dengan berupaya menambah alternatif pajak baru dan juga merancang kebijakan untuk menaikkan tarif pajak seperti PPN. Tentu kondisi ini akan semakin menjepit kehidupan masyarakat.

Siapa yang Buntung?

Dalam paradigma kapitalisme, utang merupakan sumber utama pendapatan negara yang bergandeng erat dengan pajak. Pada laman Kementerian Keuangan disebutkan bahwa tujuan negara berutang karena adanya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara seperti fasilitas kesehatan dan ketahanan pangan, meningkatkan index pembangunan manusia (IPM) Indonesia dan pembiayaan pembangunan untuk penyediaan infrastruktur.

Tentunya, untuk membiayai itu semua tidaklah mudah. Apalagi dalam tata kelola kapitalisme, pembiayaan terhadap kebutuhan-kebutuhan prinsip rakyat dianggap membebani APBN. Maka solusi yang paling praktis adalah negara akan meliberalisasi sektor-sektor pokok seperti pendidikan dan kesehatan. Di samping itu, karena minimnya pendapatan, negara juga melakukan pengajuan pinjaman ke pihak-pihak swasta dalam negeri dan juga swasta luar seperti Asian Development Bank maupun World Bank untuk melakukan pembiayaan terhadap sektor-sektor lainnya.

Namun sayang, besarnya utang yang diterima tak sebanding dengan peningkatan taraf ekonomi negara. Mirisnya lagi utang-utang tersebut kadang bocor ke mana-mana. Dikatakan bocor karena dana yang dibelanjakan tidak sesuai dengan peruntukan, dikorupsi, dimanipulasi, atau bisa jadi sudah sesuai peruntukan namun tidak sesuai dengan target. Efeknya, pengunaan dana menjadi tidak efektif dan efisien. APBN makin terbebani. Pada akhirnya, menambah utang baru dianggap solusi untuk mengatasi masalah.

Tanpa disadari utang yang berlangsung terus menerus telah menimbulkan ketergantungan. Realitas ini telah menjadikan rakyat di negeri ini terpenjara dalam kungkungan utang hingga anak cucu mereka. Parahnya lagi, utang yang tinggi telah melahirkan kebijakan pemangkasan subsidi yang semakin menekan tingkat perekonomian. Rakyat semakin susah dibuatnya. Hingga naiknya angka kemiskinan menjadi sesuatu yang tak terelakkan.

Secara logika mestinya utang bertambah dapat berkorelasi dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Namun realitasnya, tingginya utang makin menambah tingkat jumlah kemiskinan, tingkat pengangguran dan ketimpangan (ratio gini). Badan Pusat Statistik merilis data bahwa pada Maret tahun 2020 jumlah penduduk miskin mencapai 26,42 juta jiwa. Melonjak tajam sebesar 1,28 juta jiwa dibanding Maret 2019.

Tauhid Ahmad selaku Direktur Eksekutif Indef mengakui bahwa utang yang didapat pemerintah terbukti tak mampu memberikan jaminan bagi kesejahteraan masyarakat. Menurutnya, jumlah utang tak seimbang dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sangat mahal cost yang harus dibayar pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan jumlah utang yang semakin tinggi (cnnindonesia.com, 15/10/2020).

Jika sudah begini, kemiskinan akan menjadi pangkal rusaknya tatanan kehidupan. Gejolak sosial akan bermunculan. Mulai dari kriminalitas, prostitusi, kekerasan terhadap anak dan perempuan, human traffiking, stunting dan gizi buruk, rendahnya tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Semuanya akan berimbas kepada masyarakat. Tak ayal kondisi ini makin mempersuram kehidupan rakyat kedepannya.

Di samping itu, dengan utang yang makin menggunung menjadikan Indonesia masuk dalam peringkat ketujuh dari daftar 10 negara yang memiliki utang luar negeri (ULN) terbanyak. Data tersebut diperoleh dari laporan World Bank yang bertajuk International Debt Statistic 2021. Sebuah gambaran yang miris di tengah kondisi kekayaan alam yang dimiliki negeri.

Sekali lagi, no free lunch. Tak ada pemberian tanpa kompensasi. Utang yang diberikan jika dipahami dengan benar sejatinya merupakan senjata politik yang digunakan negara-negara besar (kapitalis) untuk menjebak negara-negara miskin. Negara-negara kapital tersebut menjadikan negara-negara penghutang sebagai sapi perah yang siap dihisap habis-habisan.

Dalam kitab Politik Ekonomi Islam yang ditulis Abdurrahman Al-Maliki dijelaskan bahwa membiayai proyek-proyek melalui mekanisme utang luar negeri merupakan langkah yang amat berbahaya bagi eksistensi suatu bangsa. Tak hanya itu, utang luar negeri juga dapat memperpanjang penderitaan akibat musibah yang menimpa umat bahkan menjadi jalan bagi negara-negara penjajah untuk menjajah suatu bangsa.

Utang-utang tersebut memiliki dua kemungkinan. Bisa bersifat utang jangka pendek dan utang jangka panjang. Keduanya memiliki risiko yang tinggi. Pada utang jangka pendek berisiko menghancurkan mata uang negara yang mampu menciptakan krisis moneter. Negara kreditur hanya mau menerima pembayaran utang jika menggunakan mata uang dolar atau poundsterling. Negara kemungkinan besar tidak mampu melunasinya sebab bisa jadi muncul kelangkaan terhadap kedua mata uang tersebut. Pada saat itulah, negara patron seperti Amerika yang memiliki saham terbesar di IMF akan menekan negara-negara debitur untuk membeli mata uang dengan harga yang lebih tinggi. Hingga terpukullah mata uang negara tersebut.

Sedangkan utang jangka panjang meski dianggap toleran terhadap masa pelunasannya tetap saja akan memberikan beban tersendiri bagi negara penghutang. Utang akan menumpuk dan mengacaukan APBN. Utang tak mampu lagi dilunasi oleh harta bergerak, emas maupun uang. Jika negara gagal bayar akan sangat berkemungkinan mereka akan melego aset-aset negara semisal BUMN.

Pada akhirnya, rakyatlah yang harus menanggung semua itu. BUMN yang terjual ke tangan asing akan semakin meniscayakan liberalisasi sektor publik. Semua tak bisa lagi didapat dengan mudah dan murah. Sebab semuanya sudah terkapitalisasi secara sistemik.

No Utang, Islam Memberikan Jawaban

Untuk menilai apakah utang yang dipinjam dari kreditur luar berbahaya atau tidak bergantung dari sudut pandang sebuah negara. Jika utang dianggap bukan sebagai bagian bentuk intervensi maka mengambil utang bukanlah suatu masalah. Begitu pula jika dikatakan kejatuhan mata uang secara simultan tidak berhubungan dengan jatuh temponya pembayaran utang maka mengambil utang dianggap biasa. Atau jika privatisasi aset oleh pihak luar akibat gagal bayarnya negara terhadap utang tidak dianggap sebagai bentuk penjajahan maka mengambil utang tidak perlu dipermasalahkan.

Hanya saja, jika semua hal tersebut disandarkan pada semua logika tanpa parameter yang sahih pastilah akan menimbulkan kekacauan. Rakyat khususnya umat Islam hendaknya perlu memiliki sudut pandang khas sekaligus sahih dalam memandang masalah utang negara.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya, utang secara perlahan pasti akan memberikan beban berat bagi masyarakat. Meskipun utang mampu bermetamorfosa menjadi gedung-gedung bertingkat, jalan tol, LRT, dan sebagainya tetap saja kesemua itu belum memberikan arti yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.

Untuk itulah, Islam hadir memberikan jalan keluar. Dalam Islam, utang bukanlah komponen pokok yang menjadi sumber pendapatan negara. Baitul maal sebagai sebuah sistem keuangan negara memiliki tiga macam pos penerimaan besar. Yakni pos penerimaan dari zakat, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Ketiga pos ini akan dikelola secara optimal dan disalurkan sesuai peruntukannya.

Pada pos kepemilikan umum yang memiliki sumber pendapatan negara yang berasal dari tambang, hutan, kekayaan laut, dan sumber mata air. Kesemuanya merupakan milik rakyat dan wajib dikelola secara mandiri oleh negara. Jika hal ini mampu dijalankan secara optimal maka dapat kita bayangkan jumlah nilai riil pemasukan yang akan diperoleh negara pada pos ini. Dengan kelimpahan dana yang ada, negara tak perlu berutang untuk menutupi kekurangan anggaran.

Apalagi jika ditambah dengan dorongan keimanan rakyatnya yang berusaha untuk menunaikan pembayaran zakatnya, tentulah pos zakat akan semakin menambah penerimaan negara. Hanya saja pada pos ini, negara tak boleh mengeluarkan sepeser pun dana zakat kecuali untuk delapan ashnaf sebagaimana yang telah ditetapkan syara’. Selain itu pula ada pos ketiga yang merupakan pos harta kepemilikan negara. Kesemuanya, baik itu pos kepemilikan umum, pos zakat dan pos kepemilikan negara merupakan tiga komponen yang sifatnya tetap dan berhasil menjadi kunci solusi dalam menyelesaikan masalah keuangan negara.

Hanya saja ketiga sumber penerimaan di atas tak bisa ditegakkan di atas landasan kapitalisme. Dalam kapitalisme, harta kepemilikan umum telah beralih kepemilikan menjadi kepemilikan korporasi bahkan individu. Hingga wajar negara tak memiliki lagi sumber pendapatan secara penuh meskipun negeri ini berlimpah akan kekayaan sumber daya alamnya. Tak jelas lagi pengelolaannya termasuk pula zakat dan harta kepemilikan negara.

Selain itu pula, utang yang diterima juga menyalahi ketentuan syariah. Akad utang sendiri mensyaratkan adanya bunga. Bunga yang dimaksud dalam hukum Islam disebut riba. Maka, mengambil utang untuk keperluan apapun jika diakadkan adanya bunga maka wajib bagi rakyat untuk menolaknya. Sebab, riba termasuk dosa besar yang amat dibenci oleh Allah Swt.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang beIum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu." (QS Al Baqarah: 278-279).

Dengan demikian sudah selayaknya negeri ini berbenah. Jika ingin benar-benar terlepas dari jeratan utang, sudah saatnya syariat Islam dapat diterapkan secara sempurna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wallahua’lam bish-showwab[]


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Menginginkan Dunia Tanpa Prank!
Next
Futuroholic
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram