"Program komcad ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Karena substansi UU PSDN Pasal 4 terkait ruang lingkup ancaman yang begitu luas, yaitu meliputi ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida, sehingga rentan disalahgunakan sebagai dalih untuk memberangus komunisme, terorisme, radikalisme, dan konflik dalam negeri"
Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I.
NarasiPost.Com-Isu radikalisme kembali dimainkan. Setelah sukses melemahkan KPK dengan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dengan dalih mensterilkan pegawai KPK dari paham radikalisme. Hal yang sama juga akan dilakukan Menag, Yaqut Cholil, kepada para ulama. Tak hanya itu, intervensi secara fisik dalam memberantas radikalisme pun akan dilancarkan. Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial di tengah masyarakat. Bayangkan saja, di tengah terjangan tsunami pandemi Covid-19 yang semakin membuncah, juga kesulitan hidup yang semakin mencekik masyarakat, pemerintah malah mengeluarkan program Komponen Cadangan (komcad) sebagai bentuk realisasi UU RAN PE. Wajar, jika banyak pihak yang mempertanyakan, atas urgensi apa program ini diluncurkan?
Sebagaimana dilansir dari www.kemhan.go.id bahwa Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang dipimpin Prabowo Subianto itu telah membuka seleksi pendaftaran komponen cadangan (komcad) untuk masyarakat sipil pada 2-7 Juni 2021. Syaratnya secara fisik, berada dalam rentang usia 18-35 tahun, sehat jasmani dan rohani, serta nircatatan kriminal. Sedangkan secara psikis, berideologi Pancasila dan setia kepada NKRI. Para komcad yang lolos akan langsung menerima pelatihan selama tiga bulan (Juni-September). Hal tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2021 sebagai peraturan pelaksanaannya. Komcad ini disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat dan kemampuan komponen utama dalam menghadapi ancaman militer, non
militer, dan hibrida.
Direktur Utama PT.Pindad Persero, Abraham Mode, menyebut pihaknya telah menyiapkan 25.000 pucuk senjata api SS2-V5 A1 berukuran 5,56 x 45 mm dengan berat tanpa peluru 3,35 kg dengan full magazine 3,71 kg. Dilengkapi dengan popor lipat, senapan ini memiliki jarak tembak efektif sejauh 200 meter. Senjata api inilah yang akan digunakan dalam pelatihan komcad. (www.kompas.com, 09/05/2021)
Komisioner Komnas HAM Bidang Pengkajian dan Penelitian, Sandrayati Moniaga menilai program ini salah kaprah. Karena pertahanan negara dalam arti menghadapi ancaman agresi merupakan tanggung jawab negara, tepatnya TNI sebagai komponen utama. Sementara rakyat sipil, dalam konteks bela negara, lebih tepat jika berkaitan dengan ketahanan sosial, ekonomi, dan budaya.
Tak ketinggalan koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai program komcad tersebut. Husein Ahmad sebagai salah satu anggota tim advokasi tersebut menilai pembentukan komcad itu bermasalah secara substansial dan prosedural. Secara substansial, hal tersebut bertentangan dengan HAM dalam konstitusi. Sementara secara prosedural, program itu terkesan terburu-buru dan minim partisipasi publik. (www.cnnindonesia.com, 31/06/2021)
Walau banyak pihak tak setuju. Namun, program ini tetap meluncur. Pemerintah bersikeras menganggap program ini urgen dilaksanakan, sehingga tidak mengindahkan pendapat yang berseberangan sedikit pun.
Komcad sebagai Bentuk Realisasi UU RAN PE
Sepertinya publik mesti menyegarkan kembali ingatan mengenai Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE). Program ini memberikan pelatihan bagi warga untuk polisikan pihak yang diduga melakukan tindakan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme ini. (www.cnnindonesia.com, 15/01/2021)
Kini, UU RAN PE itu bukan lagi isapan jempol, tapi nyata direalisasikan oleh pemerintah. Entah apa yang ada dalam benak pemimpin negeri ini dalam memetakan persoalan bangsa yang merundung negeri tercinta ini. Pandemi berkepanjangan dan semakin meroketnya kasus penyebaran dan kematian akibat virus Covid-19, kondisi ekonomi yang semakin nyungsep, dan krisis multidimensi yang semakin tak terkendali tampaknya tidak menjadi permasalahan utama negeri ini. Hal ini tampak dalam kebijakan pemerintah yang begitu santai dalam meresponnya. Sementara, sangat sigap merespon hal-hal yang berkaitan dengan terorisme dan radikalisme.
Mengutip data dari Global Fire Power, kekuatan militer Indonesia menempati peringkat ke-16 dari 40 negara, dengan prajurit aktif menembus angka 400 ribu personel. Jumlah ini masih memadai guna mengantisipasi hal yang tidak diinginkan. Sehingga pembentukan komcad belum dibutuhkan. Justru yang menjadi PR besar negara adalah perbaikan internal TNI, yaitu peningkatan profesionalitas personel TNI dan modernisasi alutsista.
Hendaknya pemerintah bersikap cerdas, bijak dan penuh empati dalam merespon berbagai peristiwa di negeri ini. Jangan sampai salah bertindak. Mencermati betul apa yang menjadi permasalahan masyarakat dan segera mengatasinya. Juga peka terhadap kebutuhan masyarakat dan berupaya seoptimal mungkin memenuhinya. Jangan sampai narasi kebencian, aroma politik apalagi kepentingan pihak tertentu mendominasi. Terlebih, program komcad ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Karena substansi UU PSDN Pasal 4 terkait ruang lingkup ancaman yang begitu luas, yaitu meliputi ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida, sehingga rentan disalahgunakan sebagai dalih untuk memberangus komunisme, terorisme, radikalisme, dan konflik dalam negeri. Apalagi personel komcad telah dibekali keterampilan menggunakan senjata api.
Tak hanya itu, UU ini pun rawan ditunggangi politik adu domba dan saling mencurigai antaranggota masyarakat. Sehingga keberadaannya bukan saja tidak urgen, tapi sangat berbahaya, karena berpotensi menimbulkan perpecahan. Ada kekhawatiran UU ini akan menyudutkan pihak tertentu. Sudah menjadi rahasia umum, UU Terorisme selama ini hanya mengadili pelaku terorisme yang beridentitas Islam. Sementara, tindak kekerasan teroris bahkan pemberontakan yang dilakukan selain oleh orang muslim, seperti di Papua tidak pernah ditangani layaknya kasus terorisme. Namun, hanya ditangani sebagai kelompok kriminal bersenjata biasa. Jangan sampai UU dan pembentukan program komcad ini kembali membuktikan bahwa pemerintah memang antiIslam. Bukan hanya itu, UU ini bahkan bisa menyasar pihak-pihak yang selama ini berseberangan dengan pendapat pemerintah. Karena terorisme khususnya radikalisme itu bisa diterapkan pada opini, aspirasi, ide dll, bukan tindakan fisik semata. Selain itu, dapat memicu konflik vertikal di tengah masyarakat. Penetapan komcad berupa sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional mengabaikan prinsip kesukarelaan. Karena verifikasi dan spesifikasi mutlak dilakukan oleh Kemenhan. Dengan demikian, UU ini tidak memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak properti warga negara. Hal ini akan membuka lebar ruang konflik SDA dan pertanahan antara negara dan masyarakat.
Wajar saja jika UU ini dianggap salah kaprah. Alih-alih menjaga keamanan negara dari ancaman. Justru memantik berbagai konflik baik antaranggota masyarakat, bahkan dengan pemerintah sendiri. Inilah yang dinamakan Indonesia berdarah-darah. Tanpa UU ini pun, konflik sudah bertebaran. Apalagi ketika sudah dilegalkan dan difasilitasi. Indonesia hanya tinggal menunggu masa kehancurannya. Inilah efek negeri yang melandaskan aturan kenegaraannya pada sekularisme dan kapitalisme yang terbukti bukan berasal dari ajaran Islam. Bahkan, paham ini cenderung memusuhi agama sekaligus pemeluknya. Karena secara prinsip, keduanya berbeda. Sekularisme-kapitalisme menafikan aturan tuhan dalam mengurusi kehidupannya, sementara Islam justru menjadikan aturan Rabb sebagai aturan hidup manusia dalam lingkup negara. Tak bisa ditutupi lagi, islamofobia akut telah merasuki rezim saat ini. Tampak dari segala kebijakan yang dikeluarkan, selalu memojokkan Islam dan kaum Muslim.
Islam Melarang Tajasus dan Perpecahan
Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang menjadikan wahyu Allah Swt sebagai sumber aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam kehidupan individu, masyarakat, maupun negara.
Islam melarang keras aktivitas memata-matai (tajassus) yang ditujukan kepada orang muslim. Berdasarkan firman Allah Swt: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)…" (QS al-Hujurat [49]:12)
Rasulullah Saw juga pernah bersabda: "… “Janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidik, janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling berbuat kerusakan…" (HR. Ibnu Majah)
Program komcad ini bukan hanya mendukung aktivitas tajassus bahkan sudah mengarah pada penyiapan personel juga pelegalan tindak persekusi antarwarga juga antarkelompok. Dengan memberikan pelatihan pada warga sipil tertentu dalam menggunakan senjata api guna mengantisipasi berbagai ancaman dalam negeri, jadi warga sipil yang dilatih militer berhadapan dengan warga sipil yang diduga mengancam negara. Maka dapat dipastikan keamanan negara akan terguncang oleh regulasi yang dibuatnya sendiri. Senjata makan tuan. Lantas sanggupkah negara menanggung kericuhan ini? Siapkah kita dengan kondisi Indonesia yang berdarah-darah tersebab perang saudara?
Di saat sulit seperti ini semestinya pemerintah dan masyarakat bersatu untuk keluar dari pandemi dan mengatasi krisis multidimensi yang terus mendera. Duduk bersama membahas solusi hakiki, agar bangsa ini mampu menyelesaikan berbagai permasalahan dan mampu bangkit dari keterpurukan serta hidup dalam keberkahan. Tundukkan hawa nafsu dan birahi kekuasaan, sadarilah bahwa pada akhirnya manusia harus kembali pada fitrahnya, yaitu pada aturan Al-Khaliq. Bukankah Islam telah membuktikan keberhasilan aturannya selama 13 abad lamanya? Sejarah tak bisa dibungkam, karena jejaknya nyata dan masih bisa kita saksikan hingga saat ini. Tingkat pertahanan dan keamanan negara di bawah aturan Islam dan kepemimpinan Khilafah telah mencapai puncak prestasinya.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]