Tes Wawasan Kebangsaan dan Upaya Pelemahan KPK dalam Perspektif Islam

Setelah reformasi, oligarki menyebar. Terjadi desentralisasi kekuasaan presiden kepada lembaga-lembaga seperti partai politik dan parlemen. Termasuk pula desentralisasi kekuasaan pusat ke daerah. Kontrol otoritarian di masa Orde Baru (Orba) digantikan penggunaan politik uang. Bahkan, di awal reformasi, aroma politik kekerasan dan intimidasi pun turut dirasakan”. (Vedi R Hadiz, 2005:262).


Oleh . Cahaya Timur
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Masih segar dalam ingatan kita tentang Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama ini. Sebagian besar masyarakat pun ikut bertanya urgensi apa yang menyebabkan sehingga kegiatan tersebut dilaksanakan. Padahal jika ditilik dari sejumlah pertanyaan yang diajukan, sama sekali tidak ditemukan adanya korelasi. Justru kontroversi, sehingga menimbulkan polemik dari sejumlah kalangan baik itu akademisi maupun pemerhati lainnya.
Padahal sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ke-75 anggota KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK tersebut adalah orang-orang lurus dan loyal dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Mereka adalah orang-orang pilihan yang masih mempertahankan integritas serta kehormatan KPK. Akan tetapi pada kenyataannya, justru mereka inilah yang disingkirkan dari dalam tubuh KPK itu sendiri. Walaupun diantaranya masih ada 24 orang yang dipertahankan dengan dalih akan dilakukan pembinaan kembali, sementara sisanya sebanyak 51 lainnya akan diberhentikan secara total. (Kompas.com, 30/05/21)

Sejumlah polemik yang dihasilkan hingga detik ini pun masih menyisakan tanya. Diawali dari ketidaklogisan soal yang diajukan dalam tes tersebut, di antaranya adalah “apakah bersedia melepas jilbab demi bangsa dan negara? Apakah mau jadi istri kedua atau ketiga? Kalau pacaran ngapain aja? Memilih Al-Qur'an atau pancasila?” (kompas.com, 8/5/21)

Pegawai yang tidak lulus tes pun mengungkapkan kekecewaannya terkait hal tersebut. Sedangkan yang menjadi penyelenggara TWK bukan saja dari pihak KPK, namun ada lima instansi yang turut serta, yaitu Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS), Pusat Intelijen TNI AD, Dinas Psikologi TNI AD, serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dan kesemuanya tidak disosialisasikan terlebih dahulu. (Kompas.com, 04/06/21)

Dengan demikian, maka terbaca dengan jelas berbagai fakta bahwa telah terjadi upaya yang dilakukan guna melemahkan tubuh KPK. Hingga mindset masyarakat pun ikut dimainkan.

Apakah TWK Dikaitkan dengan Pemahaman tentang Radikalisme?

Seolah-olah ada penggiringan opini yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat sehingga menciptakan Islamophobia publik. Terbukti dengan poin-poin pertanyaan yang diajukan. Bagaimana mungkin mereka dapat menyejajarkan antara al-Qur'an dengan pancasila? Kemudian adakah relevansi antara kecintaan terhadap NKRI dengan melepas jilbab? Apakah seorang muslimah yang ingin mempertahankan hijabnya sebagai suatu bentuk ketundukan kepada Sang Pencipta adalah wujud dari pembangkangan terhadap bangsa dan negara? Kemudian banyak pertanyaan lainnya yang juga tendensius sekali.

Padahal Indonesia adalah negara berpancasila yang sangat melindungi tiap-tiap warga negaranya dalam beragama. Seperti tertuang pada sila kedua yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bagaimana mungkin negeri yang berke-Tuhanan yang Maha Esa justru terkesan menghalang-halangi keinginan setiap rakyatnya dalam mengabdi kepada penciptanya? Sejak kapan orang yang berpegang teguh pada agamanya lantas berubah menjadi seorang koruptor alias mafia kerah putih? Bukan malah sebaliknya?

Akar Masalah yang Terjadi adalah Sekularisme dalam Kehidupan

Untuk itu hendaklah pemahaman kita ditata ulang kembali. Seraya menggali apa yang menjadi penyebab utama dari permasalahan tersebut di atas, sehingga seolah KPK terkesan berusaha untuk dihilangkan integritasnya. Padahal badan tersebut dibentuk guna memberantas segala macam korupsi di Indonesia yang notabene menjadi negara ketiga terbesar dalam prestasi sebagai negara koruptor se-Asia. Persoalan korupsi di negeri ini terus berlangsung secara sistemik sepanjang sejarah perkembangannya.
Semua itu tentu saja diakibatkan oleh terjauhkannya umat dari pemahaman terhadap agamanya (Islam kafah), sehingga hilang ketakwaan kepada Allah Swt. Agama dipisahkan dari sistem pemerintahan negara, sehingga melahirkan manusia-manusia yang sekuler dan juga individualis. Menciptakan neoliberalisme sehingga privatisasi berpusat pada kalangan tertentu saja.
Hal ini diungkap oleh Vedi R Hadiz dalam risetnya berjudul Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto sebagai berikut; “Setelah reformasi, oligarki menyebar. Terjadi desentralisasi kekuasaan presiden kepada lembaga-lembaga seperti partai politik dan parlemen. Termasuk pula desentralisasi kekuasaan pusat ke daerah. Kontrol otoritarian di masa Orde Baru (Orba) digantikan penggunaan politik uang. Bahkan, di awal reformasi, aroma politik kekerasan dan intimidasi pun turut dirasakan”. (Vedi R Hadiz, 2005:262).

Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya oligarki yang melanggengkan aksi korupsi.
Yang berikut, Aristoteles mengungkapkan bahwa oligarki secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘kekuasaan oleh segelintir orang’. Hal tersebut merupakan manifestasi dari sebuah pemerintahan yang buruk. Karena sifatnya yang elitis dan eksklusif. Mereka ini biasanya beranggotakan kalangan atas, serta tidak memerhatikan kebutuhan masyarakat luas apalagi yang membutuhkan. Sekelompok elite inilah yang bertindak sebagai the invisible hand dalam menjalankan roda pemerintahan. Mereka bermain di belakang layar, dengan menempatkan para pemimpin boneka sebagai perpanjangan tangannya.
Harus diakui politik oligarki sulit dijangkau hukum, licin bagai belut. Ia bekerja di ruang ruang tertutup antarelite. Sehingga memunculkan negosiasi jabatan publik yang kesemuanya melibatkan organisasi dan berbagai akses politik. Kemudian tumbuh subur bak jamur di musim penghujan dalam sistem pemerintahan hari ini.

Islam sebagai Solusi Mendasar dan Menyeluruh

Untuk itu, diperlukan seperangkat aturan sahih dan baku yang bersumber dari Sang Pemilik kehidupan manusia, Allah Swt. Hanya dengan menerapkan sistem Khilafah Islam saja, segala problematika tersebut dapat teratasi. Sebab dalam sistem pemerintahan Islam negara bertindak berdasarkan hukum syara yang bersumber dari Dzat yang Maha Agung. Cara Khilafah dalam menanggulangi korupsi dan oligarki adalah dengan menetapkan tiga pilar.

Yang pertama pilar individu. Dimana dalam sistem pemerintahan Islam, setiap orang ditanamkan ketakwaannya kepada Allah Swt. Terkoneksi baik dengan Sang Pencipta serta menjalankan semua ajaran Islam dalam berkehidupan.

Sebagaimana fiman-Nya;
أَفَحُكْمَ الْجٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Ma’idah : 50)

Kemudian yang kedua adalah adanya fungsi kontrol dari masyarakat. Sebab masyarakat bertindak sebagai pengawas yang senantiasa mengoreksi jalannya pemerintahan, jika tidak sesuai dengan hukum sara maka rakyat wajib mendakwahi Khalifah.

Dan yang ketiga adalah fungsi pemerintah itu sendiri. Dimana walaupun dalam sistem pemerintahan Khilafah menjalankan kekuasaan tunggal, namun tidak akan terjadi kesenjangan serta kesewenang-wenangan. Sebab Khalifah tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat aturan. Hanya Allah Swt yang berhak membuat hukum, sebagaimana firman-Nya;

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus." (QS. Yusuf : 40)

Segala upaya yang dilakukan guna menggiring opini sesat dan upaya Islamophobia melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) jelas wajar terjadi selama sistem pemerintahannya masih berkutat pada demokrasi Kapitalis. Oleh karena itu, tidak ada cara lain yang patut dilakukan selain mengganti sistem pemerintahan yang telah rusak hari ini dengan sistem baru yang bersumber dari Sang Pencipta. Lewat dakwah pemikiran, maka akan terbentuklah opini di tengah umat. Berdasarkan metode dakwah Rasulullah Saw.

Islam hadir sebagai solusi mendasar. Jika hari ini kita masih bertahan dalam sistem yang rusak, kemudian ditawarkan untuk beralih pada sistem yang lebih sempurna, lantas mengapa masih ragu dan takut untuk menerapkannya? Wallahu’alam bis showab.[]


photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Komisaris BUMN, Kompetensi atau Balas Budi?
Next
Mentimun, Rahasia Bentuk Tubuh Ideal
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram