Semua mata memandang ke arah Aleena. Wanita itu menunduk dan menyimpan senyum. Ia bisa merasakan tatapan mereka, khususnya para lelaki, yakni bukan karena syahwat, tetapi kagum. Ia menaikkan tingkat ke-pe-dean dalam dirinya, agar tenang.
Oleh: Solehah Suwandi
(Bagian 6)
NarasiPost.Com-Maryam dan Aleena berpikir dalam benak masing-masing. Kedua gadis yang diam-diam mencintai Hasan itu bertanya-tanya dalam hati. Siapakah wanita yang bersama Hasan? Kenapa tampak begitu akrab? Saat mereka sedang dalam perjalanan, Aleena tak bisa mencegah keingintahuannya untuk bertanya.
“Emh … Dek, boleh tanya sesuatu?” suara Aleena memecah sunyi.
“Iya, Kak, boleh,” jawab Maryam tersentak. Ia kembali fokus menyetir motor dan sesegera mungkin membuang pikiran tentang Hasan. Lelaki asing yang bukan suami atau keluarga tak pantas dipikirkan.
Hufft … ia menghela napas kesal karena hatinya masih berharap pada manusia.
“Emh … Mar, Kak Hasan sudah menikah belum, ya?” Pertanyaan Aleena sama seperti pertanyaan dalam hatinya.
“Emh, kurang paham, Kak.”
Aleena menghela napas lagi. Rasa penasarannya tentang Hasan semakin membuncah.
Senin pagi yang cerah, Aleena memutuskan untuk berhijab ke kampus. Hatinya kini telah mantap karena berkerudung adalah wajib. Jika hatinya belum siap, maka ia akan perintahkan akal untuk memaksa dirinya berhijab.
Aleena keluar kamar dengan seragam gamis putih dan kerudung putih bunga-bunga. Meski jauh dari kata modis, pakaian ini lebih menenangkan baginya. Ia berjalan menghampiri kamar Maryam. Terdengar suara gadis itu sedang mengaji.
“Mar, nggak ngampus?” tanya Aleena dari balik pintu.
Maryam yang masih membaca Al-Quran, segera menutup kitabnya, lalu menghampiri Aleena. Ia membuka pintu dan senyumnya merekah saat melihat penampilan Aleena yang baru.
“Masyaallah, semoga istikamah, ya, Kak,” ucap Maryam. Matanya berkaca-kaca menyaksikan pemandangan indah itu.
“Aamiin. Makasih, ya, doanya,” Aleena tak kalah berbinarnya.
“Eh, ko belum ganti seragam, Mar?”
“Iya Kak. Maryam lupa kasih tahu, kalau hari ini gak ada mata kuliah, diganti hari besok.”
“Yaah, emh … Tapi … ya, sudahlah.”
“Kenapa, Kak?” tanya Maryam menangkap kekhawatiran.
“Emh, sebenarnya agak malu, Mar, tapi … bismillah, aku pasti berani.”
“Bismillah, Kak, ada Allah bersama kita. Jangan malu ketika semua yang kita lakukan adalah untuk menjalankan syariat Allah.”
“Iya Mar, makasih, ya.”
“Sama-sama, Kak.” Maryam tersenyum.
Aleena mengeluarkan motornya dari garasi kost. Beberapa anak kost memperhatikan penampilan Aleena yang kontras, hingga bertanya-tanya.
“Pakai jampi-jampi apa ya si Maryam bisa mengubah Aleena?”
Pertanyaan mereka tetap saja mengendap dalam benak. Mereka tak mau menanyakan langsung kepada Maryam, karena biasanya Maryam akan berbicara soal agama. Dan kebanyakan mereka malas membicarakan hal tersebut.
**
Semua mata memandang ke arah Aleena begitu gadis itu sampai parkiran FKIP. Ada yang mengucek mata berkali-kali karena tidak percaya dengan apa yang dilihat.
“Aleena! Astaga!” seru Shinta.
Aleena tersenyum saat temannya itu menghampiri dengan riak wajah kaget.
“Ini … Kenapa Aleena yang modis itu jadi kaya emak-emak berdaster? O may God! Gak bisa dipercaya! Elo kesurupan setan apa, Aleena!” suara Shinta meninggi. Tangannya menyentuh dahi Aleena.
“Elo enggak panas.”
“Ini adalah perintah Allah,” jawabnya gugup. Namun, hatinya terus berzikir agar Allah memberi kekuatan. Aleena berlalu saja meninggalkan Shinta yang masih bengong antara percaya dan tidak.
Semua mata memandang ke arah Aleena. Wanita itu menunduk dan menyimpan senyum. Ia bisa merasakan tatapan mereka, khususnya para lelaki, yakni bukan karena syahwat, tetapi kagum. Ia menaikkan tingkat ke-pe-dean dalam dirinya, agar tenang.
Tanpa disengaja, di pojok gedung B FKIP, Aleena menabrak seseorang hingga menjatuhkan beberapa buku.
“Kak Hasan?” seru Aleena begitu mengetahui pria yang ditabraknya adalah Hasan.
“Aleena?” Hasan terkejut bukan main.
Ia sampai tak berkedip hingga beberapa detik. Jantungnya tiba-tiba berdesir. Kecantikan Aleena bertambah sekian kali lipat dengan seragam syar'i. Beberapa saat, ia baru menyadari telah menatap wanita yang tak halal baginya. Hasan segera menundukkan pandangan dan mengucap istigfar. Aleena menjadi salah tingkah dengan jantung yang berdebar.
“Maaf, Kak, aku enggak sengaja.” Suara Aleena memecah kegugupan keduanya. Ini adalah kali kedua mereka bertabrakan di tempat yang sama.
“Emh, iya. Bagaimana kabarmu? Berpakaian seperti ini lebih terjaga,” ucap Hasan. Sekilas ia tersenyum pada Aleena.
“Alhamdulillah. Mohon doanya, semoga istikamah, Kak.”
“Insyaallah. Oh, ya, saya duluan,” pamit Hasan segera berlalu.
Aleena tertegun. Ia menatap kepergian Hasan.
"Ya Allah, jodohkan aku dengannya … Hasan Al Bana," pinta Aleena pada Allah.
Aleena melanjutkan langkahnya. Semua mata memandang dan berapa akhwat yang bahagia melihat perubahan Aleena menghampiri dengan mengucapkan selamat.
Pelukan demi pelukan dari teman perempuan membuat hati Aleena tersentuh. Ia sangat terharu, hingga matanya berkaca-kaca.
Kekhawatiran Aleena telah sirna. Nyatanya, pendosa sepertinya diterima di tengah-tengah mereka.
**
Usai perkuliahan, Aleena bergegas menuju Masjid Al Wasi’i. Di samping masjid, ada toko busana muslimah yang lengkap dengan harga terjangkau. Ia ingin membeli kaus kaki. Sebab, kaki juga bagian dari aurat.
Sampai di toko, Aleena dikejutkan oleh sesuatu. Jantungnya seperti berhenti berdetak beberapa saat.
“Kak Hasan?” Tak sadar, bibirnya berucap lirih penuh kekecewaan.
Sontak Hasan yang sedang membenarkan kerudung wanita di hadapannya mengalihkan pandangan ke sumber suara. Namun, lelaki itu malah tersenyum.
“Eh, ada Aleena. Kenalkan, ini Annisa, istriku,” ucap Hasan dengan wajah berbinar.
“Apa?” Kebenaran itu bagai pisau yang mecabik-cabik hatinya. Perih.
“Jadi selama ini Kakak sudah beristri?”
“Alhamdulillah Ukhti, kami baru menikah setengah tahun lalu,” kata Annisa. Wanita itu berkata dengan raut wajah dihiasi senyuman, menambah kecantikan yang lahir dari hati dan wajahnya.
Jadi …? Hati Aleena sangat hancur. Kesempatan untuk menikah dengan Hasan sudah pupus. Ia hampir menitikan air mata, menahan rasa sakit dalam hati. Dadanya terasa sesak. Bibirnya pucat pasi. Ia hampir saja limbung.
Aleena masih terpaku, saat kedua manusia itu berpamitan padanya. Yang ia lihat, hanya keromantisan yang tercipta di antara mereka.
“Ukhti, bolehkah aku menjadi madumu?”[]
photo : pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]