"Tampak seperti gaung antiradikalisme dalam seleksi pegawai KPK ataupun segala yang berbau Islam berusaha untuk dihindari. Karena pada dasarnya Islam adalah sistem yang hak dan akan meluruskan yang batil."
Oleh. Mimin Diya
NarasiPost.Com-Dari era Orde Baru hingga era demokrasi saat ini, negara tidak bisa lepas dari praktik korupsi dan kolusi. Uang negara yang seharusnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat harus digerogoti oleh para koruptor. Negara pun telah rugi besar hingga triliunan.
Kondisi demikian adalah akibat merasuknya pandangan di kalangan atas seperti money to power and power to money, artinya dalam meraih kekuasaan butuh modal besar dan ketika kekuasaan telah teraih saatnya mengumpulkan pundi uang demi mengembalikan modal serta melanggengkan kekuasaan.
Pada akhirnya negara berupaya membentuk lembaga berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Lembaga independen ini dituntut mampu bekerja secara profesional, intens, berkesinambungan, dan berjiwa pancasilais. Posisi KPK pun semakin dijunjung oleh negara lewat pengangkatan anggota menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara) melalui tahap seleksi pada bulan Mei 2021. Hasilnya sebanyak 1276 pegawai KPK lulus seleksi. Sementara 75 orang tidak memenuhi syarat setelah mengikuti Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Tes tersebut menilai dari segi aspek integritas, netralitas ASN, dan antiradikalisme. (Kompas, 6/5/2021)
Namun, beberapa pengamat politik menilai bahwa proses seleksi tidak tepat. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, TWK yang dijalani pegawai KPK berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Karena menyeleksi pegawai berdasarkan pandangan agama dan paham politik individu.(Kompas, 6/5/2021)
Apalagi beberapa pegawai yang tidak lulus juga sedang menyelidiki kasus korupsi.
Tentu dapat memicu pandangan di tengah masyarakat bahwa ada upaya melemahkan tubuh KPK. Di sisi lain, posisi KPK juga lemah setelah pemerintah dan DPR mengesahkan revisi UU KPK. Seperti revisi Pasal 21 ayat (4) dan (6) UU KPK yang memberi kewenangan dewan pengawas mengambil alih sebagian tugas pimpinan KPK, Pasal 47 UU KPK bahwa kewenangan menggeledah dan menyita harus melalui izin dewan pengawas dan Pasal 12B mengatur penyadapan juga harus melalui izin tertulis dewan pengawas. (Kompas, 25/9/2021)
Lantas, kapan korupsi dapat ditumpas hingga akar jika upaya ke arah sana dihadapkan pada jurang yang curam dan jalan yang penuh rintangan? Dan apa akar masalah utama munculnya budaya korupsi? Tentu jika ditelaah secara mendalam, masalahnya bukan sekadar personal semata. Apalagi sekadar melimpahkan kesalahan pada lembaga pendidikan semata, tanpa melihat akar masalah utama yang terletak pada sistem aturan yang diterapkan oleh negara.
Seperti pendapat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud Md, bahwa perguruan tinggi harus ikut bertanggungjawab atas korupsi di Indonesia yang semakin parah. Sebab, para koruptor itu umumnya adalah lulusan perguruan tinggi. Korupsi pun tidak lagi dilakukan di pucuk eksekutif, tetapi meluas secara horizontal ke oknum-oknum legislatif, yudikatif, auditif, dan secara vertikal dari pusat sampai daerah. (Detik, 26/5/2021)
Padahal sistem pendidikan dari dasar hingga perguruan tinggi jelas tidak bisa lepas dari sistem hukum negara, yakni sistem kapitalisme. Sistem ini dijalankan dengan jalan demokrasi dan paham-paham yang bertentangan dengan Islam, seperti sekularisme, liberalisme, hedonisme, pluralisme, materialisme dan imperialisme. Tampak jelas bahwa sistem pendidikan pun pasti bercorak yang demikian. Sistem inilah yang telah membuka peluang terjadinya korupsi, bahkan dalam penerapannya menimbulkan efek islamfobia.
Tampak seperti gaung antiradikalisme dalam seleksi pegawai KPK ataupun segala yang berbau Islam berusaha untuk dihindari. Karena pada dasarnya Islam adalah sistem yang hak dan akan meluruskan yang batil. Setiap kejahatan, kecurangan, dan kezaliman akan dihentikan melalui penerapan aturan Islam. Kaum muslimin pun mengemban amanah besar dalam melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Inilah sejatinya yang dianggap ancaman bagi eksistensi sistem kapitalisme, tidak terkecuali bagi orang-orang yang menjaga tiang sistem tersebut agar tetap berdiri.
Akan tetapi, sistem kapitalisme telah rusak dan menunggu keruntuhannya. Sistem yang jelas menyuburkan korupsi sudah tidak layak untuk dipertahankan. Sebagai gantinya harus diterapkan sistem Islam yang jelas benar. Islam memiliki aturan yang sempurna dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk melibas tuntas praktik korupsi.
Islam menanamkan iman dan takwa dalam setiap diri kaum muslim, termasuk para pejabat akan berhati-hati dalam menjalankan amanah jabatan. Karena kelak ada hari penghisaban yang amat adil di hadapan Sang Pencipta. Di sisi lain pegawai diberi gaji dan tunjangan hidup yang layak, dilarang menerima hadiah apalagi suap, dihitung kekayaaannya sebelum dan setelah menjabat, jika terdapat kelebihan yang tidak wajar harus diserahkan ke Baitul Mal, serta dihukum berat jika korupsi, karena telah melakukan jarimah (kejahatan) dan dikenai ta'zir baik dihinakan sebagai koruptor, hingga dihukum mati. Demikian Islam akan mampu menjadi solusi tuntas atas setiap masalah.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]