Rapuhya Gencatan Senjata Israel-Palestina

"Akar masalah krisis Israel-Palestina adalah pendudukan, penjajahan, pengusiran serta perampasan wilayah. Jadi, untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki adalah dengan mengembalikan wilayah dan kedaulatan Palestina di tangan kaum muslim seperti sedia kala"


Oleh : Ikhtiyatoh, S.Sos (Pemerhati Sosial dan Politik)

NarasiPost.Com-Mesir kembali menjembatani ‘gencatan senjata permanen’ antara Israel-Palestina. Meski sebelumnya telah disepakati gencatan senjata (21/5), Israel masih terus melakukan serangan terhadap warga Palestina. Perang selama 11 hari setidaknya menunjukan kepada dunia siapa yang terang-terangan berada di pihak Israel ataupun di pihak Palestina. Bahkan siapa yang hanya berbasa-basi memberi dukungannya. Serangan yang begitu menyakitkan karena terjadi saat muslim Palestina seharusnya bersuka cita di hari raya.

Amerika Masih Setia

Peperangan yang diduga berawal dari ketegangan di Syaikh Jarrah, Yerusalem Timur. Sekitar 70 keluarga Palestina di Syaikh Jarrah diminta mengosongkan rumah sebelum tanggal 2 Mei 2021. Penggusuran paksa dilakukan demi membangun pemukiman baru Israel. Pada Oktober tahun lalu, 12 keluarga juga diusir melalui putusan pengadilan hakim Israel. Rumah yang telah kosong kemudian diberikan kepada pemukim Yahudi. (mediaindonesia.com, 15/4/2021)

Namun, di bulan April juga sudah muncul bibit konflik lainnya. Israel melakukan sabotase speaker masjid Al-Aqsa. Dikutip dari laman cnnindonesia.com, menyebutkan setidaknya korban warga Gaza yang meninggal dunia akibat peperangan berjumlah 232 orang termasuk 66 anak-anak. Sebanyak 1.900 orang luka-luka dan 120 ribu orang lainnya harus mengungsi akibat hancurnya pemukiman (21/5/2021). Beberapa hari kemudian, Kementerian Kesehatan Palestina menyebutkan korban meninggal bertambah menjadi 254 orang termasuk 39 perempuan dan 66 anak-anak (viva.co.id, 26/5/2021).

Korban warga sipil cukup besar di saat Israel mengklaim serangan dilakukan untuk menumpas teroris Hamas. Bahkan kantor berita Al-Jazeera dan Associated Press roboh diserang rudal Israel. Serangan rudal dilakukan dengan dalih kantor berita tersebut menjadi markas anggota Hamas. Belum lagi kondisi permukiman, fasilitas umum dan pemerintah yang hancur lebur.

Tampak masyarakat di berbagai belahan dunia, seperti Indonesia, Malaysia, Australia, Kanada, Inggris, Spanyol, Perancis hingga Amerika tumpah ruah di jalanan melakukan aksi dukungan terhadap Palestina. Meski demikian, pemerintah Amerika melalui kepemimpinan Biden secara terang-terangan menunjukan keberpihakannya terhadap Israel. Amerika masih menunjukan kesetiaanya menjaga Israel.

Dalam konferensi pers, Biden menyatakan tidak ada perubahan komitmen AS dan partainya atas dukungannya terhadap keamanan Israel. Biden juga menyatakan tidak akan ada perdamaian selama Palestina belum memberi pernyataan tegas akan pengakuan hak keberadaan Israel sebagai negara Yahudi yang merdeka. (cbncindonesia.com, 22/5/2021)

Basa-basi Perdamaian Dunia

Selama AS menjadi sekutu Israel, selama itu pula harapan kemerdekaan Palestina melalui PBB sebatas retorika. AS telah berulang kali menggunakan hak vetonya menolak resolusi PBB dalam upaya meredakan krisis dua negara ini. Sementara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) lainnya, yaitu Inggris, Rusia serta Perancis telah diketahui merupakan negara sekutu pemenang Perang Dunia I. Negara-negara tersebut turut bertanggungjawab atas jatuhnya wilayah Palestina ke tangan zionis Israel.

Cina yang juga merupakan anggota tetap DK PBB secara terang-terangan menunjukan keberpihakannya terhadap Palestina. Dukungan ini mampu meningkatkan citra Cina dimata internasional. Namun, dukungan tersebut nyatanya lebih menunjukan adanya kepentingan Cina akan jalur sutra dibanding isu kemanusiaan. Tentu dunia tidak lupa bagaimana perlakuan pemerintah Cina terhadap muslim Uyghur. Aneh jika Cina peduli kemanusiaan di Palestina, tapi abai terhadap derita muslim Uyghur.

Dengan demikian, mengharapkan PBB dalam mewujudkan perdamaian dunia hanyalah ilusi. Sementara mengharapkan negeri-negeri kaum muslim untuk benar-benar respek dengan krisis Palestina juga tampak sebatas mimpi. Negeri penganut ‘nations state’ menjadi minim empati terhadap nasib bangsa lain. Rasa nasionalisme telah mencabut ikatan akidah umat Islam. Di depan layar, negeri muslim seolah membela Palestina. Namun, dibelakang layar mereka bergandengan tangan, begitu mesra melakukan bermacam kerjasama.

Jangankan mengharapkan negeri luar, Otoritas Nasional Palestina atau Palestine Nation Authority (PNA) yang dipimpin oleh Mahmoud Abas sendiri tidak melakukan banyak upaya saat terjadi serangan. PNA menyerahkan sepenuhnya kepada Hamas, tindakan apa yang perlu dilakukan saat terjadi serangan. Palestina tidak memiliki tentara resmi seperti angkatan udara, laut dan darat. Namun, mereka memiliki PNA, yaitu Pasukan Keamanan Nasional. Otoritas ini memiliki perjanjian bilateral dengan Israel. Dari perjanjian tersebut, Israel memiliki hak membatasi ukuran, persenjataan dan struktur pasukan. Israel juga berhak meninjau calon yang direkrut serta menahan persetujuan. Jumlah PNA pada tahun 2007 disebutkan sekitar 42.000 personel. (kompas.com, 18/5/2021)

Sementara itu, kedatangan bantuan Mesir disambut meriah warga Gaza dengan kibaran bendera. Selain bantuan medis, Mesir juga membantu mengevakuasi anak-anak saat terjadi perang. Penyambutan ini tampaknya masih berkaitan dengan kebijakan pembukaan gerbang perbatasan Gaza yang berada di dekat Rafah (9/2). Gerbang perbatasan yang ditutup Mesir-Israel selama bertahun-tahun, kini dibuka tanpa batas. Meski demikian, ada pihak yang mewaspadai pembukaan gerbang tersebut akan dimasuki penyusup. Mengingat, pembukaan gerbang dilakukan bersamaan dengan isu pemilu 2021 di Palestina. Namun, warga Gaza begitu antusias menyambut rombongan dari Mesir.

Pada Kamis (29/4/2021), Mahmoud Abbas mengumumkan pemilu ditunda. Sebelumnya direncanakan pemilihan legislatif akan digelar tanggal 22 Mei serta pemilihan presiden tanggal 31 Juni. Penundaan pemilu ini didasarkan atas ketidakpastian izin Israel untuk melakukan pemilihan di Yerusalem Timur. Sementara pemilu harus terlaksana di semua wilayah, Hamas menolak penundaan tersebut (28/4). Sempat terjadi aksi unjuk rasa hingga kritik keras atas penundaan pemilu. (kompas.com, 2/5/2021)

Padahal, pelaksanaan pemilu tersebut diyakini sebagai langkah rekonsiliasi Hamas-Fatah. Kurang lebih selama 15 tahun Palestina tidak melakukan pemilu. Terakhir, pada pemilu 2006 Hamas menang telak. Dikutip dari laman voaindonesia.com, Komisi Pemilihan Palestina menyatakan Hamas mendapat 76 kursi sementara Fatah 43 kursi dari total 132 kursi parlemen. Hamas menuntut pemerintahan baru sementara Fatah tidak mau berkoalisi dengan Hamas. (27/1/2006)

Terjadilah bentrokan sengit antara Hamas-Fatah. Muncul “Dokumen Para Tahanan” yang kemudian dijadikan dasar dilakukannya referendum. Akhirnya Mahmoud Abbas dari Faksi Fatah kembali menjabat melalui referendum. Pemilu yang kemudian direncanakan lagi tahun 2017, gagal. Israel-Palestina kembali memanas setelah mantan Presiden Donald Trump mengumumkan Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Melihat rentetan fakta di atas, terselip sebuah pertanyaan, adakah kaitan antara bibit konflik yang muncul di tengah isu pemilu Palestina 2021?

Kemerdekaan Hakiki

Gencatan senjata adalah solusi yang rapuh. Kesepakatan seperti ini telah berulangkali dilanggar Israel. Sementara ‘gencatan senjata permanen’ tampak sekadar retorika demi normalisasi hubungan Palestina-Israel seutuhnya. Sesuai dengan keinginan Amerika, yaitu berdirinya dua negara Israel dan Palestina yang berdaulat, dengan Yerusalem sebagai ibukota bersama. Tapi sungguh, Israel tak akan puas hanya menguasai sebagian wilayah Palestina.
Harus terus diingat, akar masalah krisis Israel-Palestina adalah pendudukan, penjajahan, pengusiran serta perampasan wilayah. Jadi, untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki adalah dengan mengembalikan wilayah dan kedaulatan Palestina di tangan kaum muslim seperti sedia kala.

Menjadi wajar jika Hamas yang selama ini memperjuangkan kemerdekaan hakiki tersebut dicap teroris. Mengingat, Hamas tidak memiliki pandangan yang sama dengan Israel-sekutu.
Di saat tak ada satupun negara demokrasi yang sudi mengirimkan militer ke Palestina dan sebaliknya, mereka hanya mengirim retorika. Tampaklah, krisis Palestina membutuhkan sebuah negara dimana ia memiliki batas wilayah yang jelas dan dikuasai kaum muslimin. Keamanan negara tersebut berada di tangan kaum muslim serta menerapkan hukum Islam secara menyeluruh. Ia adalah Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah.

Kondisi Palestina sendiri tidak memiliki batas wilayah yang jelas karena sebagian wilayah dikuasai Israel. Wilayah Palestina pun mudah disusupi dan diserang Israel sewaktu-waktu, menunjukan keamanan mereka tidak berada di tangan kaum muslimim. Sementara hukum yang diterapkan juga tidak sepenuhnya memakai hukum Islam.

Jadi, solusi tuntas atas krisis Israel-Palestina bukan melalui negara-negara penganut sistem demokrasi. Bagaimanapun juga, pemegang kunci adalah anggota tetap DK PBB, sementara selama ini Israel menjadi kuat karena disokong oleh mereka. Tak hanya Amerika yang mengirim alutsista ke Israel, tapi juga Jerman, Italia, Kanada, serta Inggris.

Jika menengok ke belakang, upaya Israel dalam mengambil wilayah Palestina selalu mengalami kegagalan, yaitu di saat Khilafah masih ada. Maka sebaliknya, Israel baru bisa tersingkir dari Palestina jika Khilafah kembali tegak dan jaya.Hanya Allah yang Mahatahu, kapan kemenangan itu datang. Teringat sebuah Hadis :
Ada tiga orang yang akan saling membunuh di sisi simpanan kalian; mereka semua adalah putera khalifah, kemudian tidak akan kembali ke salah seorang dari mereka. Akhirnya muncullah panji-panji hitam dari arah timur, lalu mereka akan memerangi kalian dengan peperangan yang tidak pernah dilakukan oleh satu kaum pun… (lalu beliau menutur-kan sesuatu yang tidak aku fahami, kemudian beliau berkata:) Jika kalian melihat (khalifah yang membawa panji-panji hitam) tersebut, maka bai’atlah dia! Walaupun dengan merangkak di atas salju, karena sesungguhnya ia adalah khalifah Allah al-Mahdy.” (Matan milik Ibn Majah Juz 4 hal.412 No.4084 cet; Darul Ma’rifah)

Hanya dengan Islam, kemuliaan Al Quds kembali terjaga. Tempat sebelumnya tiga agama bisa berdampingan melakukan ibadah. Insha Allah akan datang masa kedamaian, yaitu masa ketika Khilafah tegak dan menjadi perisai, memimpin umat Islam di seluruh penjuru dunia sesuai dengan janji dan izin Allah Swt. Insya Allah. Wallahu ‘alam bish showab.[]


photo : pinterest

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Menggenjot Pariwisata Terdampak Covid, Menggerogoti APBN
Next
Prahara Cinta(Kebenaran)
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram