"Alllah swt muliakan seorang wanita untuk menjadi sosok seorang ibu dengan mengalami proses melahirkan janin yang yang dikandungnya. Banyak proses dalam kelahiran salah satunya persalinan perut gantung."
Oleh: Sherly Agustina, M.Ag
(Penulis)
NarasiPost.Com-Allah Swt. berfirman: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (TQS. Al Baqarah: 286)
Proses persalinan anak pertama saya akhirnya Caesar (SC), sempat pembukaan satu dan induksi tapi tidak ada perkembangan. Usia kandungan saat itu menuju 43 minggu dan ternyata pada saat induksi, kata dokter kepala bayi oblig (miring tidak pada posisi depan panggul). Menurut dokter, kalaupun diinduksi akan percuma. Berat badan bayi saat itu 3,2kg yang tadinya 3,4kg, turun karena saya sempat sakit.
Setelah cek CTG, detak jantung masih normal, hanya saja ketuban sudah mulai keruh. Pasrah walau alm.mamah agak kecewa, karena masih berharap bisa melahirkan normal. Apalagi di kampung, tabu dengan proses persalinan SC dan alm.mamah dikenal orang sebagai yang dimintai air bagi yang ingin melakukan persalinan. Katanya, agar persalinan lancar, semacam air doa.
Merasakan persalinan SC menjadi sesuatu yang berat bagi saya, selain fisik agak lama pulih, mengurus bayi dibantu alm.mamah jadi merepotkannya, serta harus menghadapi sikap kecewa beliau. Bisa jadi tekanan batin itu terus mendera hati saya. Ditambah SC saya bermasalah, yakni mengalami perdarahan pasca kontrol, bukan pada dokter yang mengoperasi saya. Polosnya saya waktu itu, karena jarak RS dengan rumah alm.mamah sangat jauh kira-kira 2 jam perjalanan menggunakan mobil. Ketika kontrol, dokter yang mengoperasi saya tidak ada dan saya mendapat info bisa ke dokter lain.
Ternyata benar, saya dialihkan ke dokter lain, jika kontrol kehamilan bukan kontrol pasca operasi. Perdarahan tak dapat dihindari, sejak saat itu anak saya minum susu formula karena harus saya tinggal pergi bolak-baklik kontrol ke RS. Sedihnya kala itu, padahal ASI saya deras dan awalnya saya berharap bisa mengASIhi dengan full. Namun, kehendak-Nya berkata lain dan saya harus menerima kenyataan itu. Operasi kedua akhirnya dilakukan, dokter terpaksa membuka kembali jahitan SC saya. Sakitnya luar biasa, tubuh lemah tak berdaya menahan rasa perih dan sakit yang luar biasa.
Hingga saya pun tak bisa melakukan apa-apa, jangankan mengurus bayi, diri saya pun dibantu suami karena hanya bisa berbaring lemah. Makan tak nafsu, tak kuat jika kena angin hingga mengalami asam lambung. Suami melarang saya beraktivitas keluar selama 6 bulan, keluar rumah pun hanya kontrol. Saya yang terbiasa mobile keluar rumah sejak gadis, harus diam di rumah selama 6 bulan bukan sesuatu yang mudah. Makan, saya berusaha terus mendekat pada-Nya mengambil hikmah di balik semua ini. Pasrah pada qadha-Nya, bahwa apa pun yang terjadi adalah atas kehendak-Nya dan pasti yang terbaik dari-Nya.
Saat hendak operasi, suami sempat bertanya pada dokter, "Dok, apakah nanti persalinan anak kedua dan seterusnya bisa normal?" Sang dokter menjawab, "Tentu, dengan tiga syarat: Minimal jarak 2 tahun, dinding rahim tebal dan ada mules alami". Suami bahagia karena masih ada harapan di persalinan selanjutnya, semoga Allah memberikan jalan dan meridai.
Saya mulai program anak ke dua dengan suami ketika anak pertama sudah usia hampir 3 tahun. Saya dan suami selalu konsultasi dengan dokter yang mengoperasi saya. Suami menyarankan agar saya melakukan senam hamil agar membantu dalam proses persalinan normal nanti, sebagai istri saya berusaha untuk taat. Kebetulan jadwal senam hamilnya di waktu setelah saya mengajar di kampus, pulangnya dijemput suami. Atilah, anak pertama saya dititip pada pengasuh.
Sejak usia kandungan 7 bulan, saya rutin ikut senam hamil, sebagian kerjaan rumah pun saya lakukan sendiri agar membantu badan banyak bergerak dan tidak kaku. Belajar dari pengalaman persalinan yang pertama, sambil memperkuat tawakal. Hingga usia kandungan 40 minggu belum juga ada tanda-tanda mau melahirkan. Saya mulai cemas, suami pun sempat daftar SC pada RS rujukan tempatnya bekerja.
Setiap hari, saya coba berjalan-jalan di rumah dan melakukan banyak hal. Akhirnya menjelang 41 minggu, rasa mulas itu muncul, alhamdulillah. Segera saya telfon suami, lalu ke klinik tempat kontrol. Ketika sampai di klinik, ternyata sudah pembukaan 5. Yaa Allah, senangnya hati saya, walau harus melewati mulas yang luar biasa. Alm.mamah datang pada malam hari di detik-detik persalinan anak ke dua. Usaha memang tak mengkhianati hasil, tapi yang utama adalah kehendak-Nya yang sesuai harapan, sungguh anugerah yang luar biasa.
Sampai sini, saya masih belum mengerti dan tahu kalau perut saya adalah tipe perut gantung. Saya mencoba searching tentang perut gantung di google, ternyata tak banyak penjelasannya. Saat kontrol anak ke dua sebelum persalinan, saya sangat meminta pada bidan senior di kota saya agar anak kedua ini bisa lahir secara normal. Beliau hanya menjawab, "Nanti kita coba. "
Beliau tak pernah menjelaskan kalau perut saya adalah perut gantung, hanya motivasi saja yang diberikan. Setelah melahirkan anak ke dua di klinik beliau, beliau sempat bicara pada saya bahwa beliau deg-degan karena saya pernah SC sebelumnya, dan alhamdulillah bisa normal. Panggul dan vagina lentur karena pernah senam hamil.
Di bidan lain, tempat pertama kali saya kontrol anak ke dua, sempat terucap bahwa perut saya adalah tipe perut gantung. Saya masih bertanya-tanya, apa maksudnya? Akhirnya baru saya sadar, bahwa ketika hamil, perut saya besar sekali, seperti punya dua bayi. Bentuknya besar ke depan, bukan ke bawah.
Di kehamilan ke tiga saat kontrol, saya disarankan untuk memakai penyangga perut karena perut saya perut gantung. Agar bayi tidak mudah berubah posisi lagi, begitu penjelasan dokter. Lalu, saya coba bertanya pada bidan lain apakah tipe perut gantung agak susah untuk bayi masuk panggul? Jawabnya, ya. Dalam pikiran, jika sulit masuk panggul berarti sulit untuk normal. Tapi, anak ke dua saya alhamdulillah bisa lahir normal. Posisi bayi perut gantung bisa di depan panggul, namun ada kemungkinan berubah karena bentuk kehamilannya besar ke depan, bukan ke bawah.
Rasa pesimis sempat mendera, coba bertanya pada bidan senior di klinik lain. Beliau menjawab, "insya Allah bisa, nanti ada treatment-nya." Jawabannya membuat saya sedikit lega, karena dapat info klinik ini pro VBAC (vaginal birth after caesarean), maka saya mencoba ke klinik ini. Ternyata, pelayanannya mengesankan, pasien dibuat rilex dan disugesti positif. "Ini judulnya tinggal menunggu waktu", tiba-tiba bidan senior itu bicara. Di USG hasilnya cukup baik, beliau meminta asistennya melatih pernafasan pada saya dan treatment lain. Lalu, bidan senior ini menyuruh saya untuk melakukan jongkok-berdiri 300x sehari, tentu dicicil tidak sekaligus. Karena kondisi kehamilan saya sudah tua, jika tak mampu minimal 100x. Kaget bukan kepalang, apakah saya bisa? Dalam hati saya bertanya.
Seperti mendapat semangat lagi, karena pada saat itu usia kehamilan saya 40 minggu. Cobaan lain ketika saya hamil, berat badan bayi selalu besar di dalam. Padahal, saya sudah berusaha diet makanan dan olahraga dengan berjalan kaki dan banyak gerak melakukan pekerjaan rumah sendiri. Rasa cemas selalu menyelimuti, jika semakin hari berat badan bayi semakin bertambah, sementara belum ada tanda-tanda mulas alami. Khawatir SC lagi yang harus dilakukan, perasaan ini yang selalu menghantui saya.
Pulang kontrol saya lakukan perintah bidan tersebut, hari pertama 120x, hari kedua 140x dan hari ketiga saya jatuh sakit. Saya pun mencoba istirahat, malamnya melanjutkan aktivitas jongkok-berdiri 100x. Di kehamilan ini saya merasa sudah maksimal berusaha, jalan kaki setiap hari, senam hamil hampir setiap hari. Senam dari youtube saya ikuti agar bayi segera masuk panggul. Hingga pada suatu hari, saya mulai hopeless dan saya sampaikan pada suami bahwa saya menyerah, SC saja. Suami menguatkan, katanya, "kita ikhtiar lagi."
Hari ke-4 setelah kontrol, mulas rutin mulai muncul sambil terus melakukan pekerjaan rumah, saya nikmati rasa mulas itu. Makin cepat dan sakit, saya hubungi suami apakah ke klinik atau tidak. Suami segera pulang dari tempat kerja, karena melihat tanda-tanda persalinan pada diri saya. Kalau di kehamilam ke dua ketika sampai di klinik sudah pembukaan 5. Persalinan ke-3 ini ketika sampai ke klinik, baru mau pembukaan 2. Maasyaa Allah, sudah dari sebulan yang lalu kontraksi palsu menemani aktivitas saya. Bahkan beberapa hari sebelum persalinan begitu sakit dan saya pikir kontraksi asli. Sambil kajian, mengisi kajian, rapat, menulis, melakukan pekerjaan rumah saya coba menikmati kontraksi palsu itu.
Ya Allah, apakah perjalanan masih panjang melahirkan anak ke-3 ini? Pikir saya. Namun, saya mencoba untuk terus semangat dan optimis sambil dibantu bidan dengan berbagai treatment. Menjelang Maghrib ternyata semakin mulas, ketika diperiksa baru mau pembukaan 4. Tak lama, pecah ketuban dan saya langsung diajak ke ruang bersalin. Perasaan saya semakin tidak karuan, karena perjalanan masih panjang. Bidan senior datang ke ruang bersalin untuk memberikan treatment pada saya agar bayi segera masuk panggul. Walhasil, mulas semakin kencang dengan kondisi perut gantung, perut saya ditekan ke atas oleh bidan yang lain untuk mempermudah persalinan.
Atas izin Allah dengan berbagai treatment tersebut, kepala bayi sudah mulai tampak. Saat Maghrib baru mau pembukaan 4, alhamdulillah pada pukul 19.30 bayi lahir dengan sehat dan selamat, BB 3,6kg, panjang 50cm. Luar biasa pertolongan Allah, jika secara teori untuk sampai pembukaan sempurna dari pembukaan 4 butuh waktu 8 jam, begitu yang saya tahu dari internet. Namun, saya hanya 1,5 jam, dari pembukaan 4 menuju 9, bisa dilewati dengan cepat. Saya langsung bertakbir begitu ada suara bayi terdengar. Rasa senang dan haru begitu menyelimuti, lelah dan cemas terbayar semua.
Di persalinan ke tiga ini, mamah sudah tidak ada, mungkin bayi ini ada di perut saya sejak alm.mamah sakit. Beda halnya saat persalinan kedua, alm.mamah setia menemani saat mulas melanda hingga bayi lahir. Walau begitu, apa pun keadaannya tetap harus disyukuri karena masih ada bapak yang masih bisa melihat dan menemani saya.
Hikmah apa yang bisa dipetik? Bagi seorang wanita yang dikaruniai janin oleh Allah Swt. tentu berharap bisa melahirkan secara normal, sehat, dan selamat. Sebelum terjadi, kita masih bisa terus menyempurnakan ikhtiar sambil terus memperkuat tawakal. Persalinan anak pertama SC, berharap sekali di persalinan anak selanjutnya normal. Maka, teruslah berusaha melakukan kaidah kausalitas sesuai dunia kedokteran. Mencari dokter dan bidan yang pro VBAC, bukan hal yang mudah, tapi insya Allah bisa ditemui.
Apalagi dengan tipe perut gantung seperti saya, ada kemungkinan lebih sulit dari perut perempuan pada umumnya. Hanya kepada Allah lah saya meminta pertolongaan dan berserah diri, Allah itu dekat dan sesuai prasangka hamba-Nya. Tapi, kalaupun sudah berusaha semaksimal mungkin, kenyataan berkata lain tak sesuai harapan, maka yakinlah bahwa apa pun yang terjadi adalah bagian dari kehendak-Nya dan insya Allah yang terbaik Seburuk apapun dalam pandangan kita sebagai manusia yang lemah dan terbatas, kalau sudah terjadi, baru bisa dikatakan qadha/takdir. Tugas kita sebagai hamba-Nya adalah beriman pada takdir, baik atau pun buruk.
Allahu A'lam bi ash Shawab.[]
Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]