Fiqih progresif adalah kedok lain dari liberalisme agama. Salah satu yang menjadi jalan masuknya adalah tafsir. Tafsir, dalam pandangan liberalis, tidak boleh dibatasi ruang pemikiran tertentu. Karena kebenaran agama bersifat relatif, sehingga jika terjadi perbedaan, tidak dipersoalkan. Kecuali jika tafsir itu dianggap bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I
NarasiPost.Com-Indonesia dihebohkan dengan viralnya pernyataan nyeleneh dari akun instagram @mubadalah.id dengan mengatasnamakan fiqih progresif. Disebutkan bahwa perempuan haid boleh berpuasa. Hal itu menimbulkan polemik di kalangan warganet. Beramai-ramai individu dan lembaga menyorotinya, bahkan MUI turut meresponnya. Sungguh, kebebasan pendapat yang kebablasan. Liberalisme telah menumbuhsuburkan fenomena macam ini. Bahkan, demokrasi pun turut melegalkannya. Terbukti, negara ini telah abai terhadap penjagaan syariah.
Dikonfirmasi detikcom, Imam Nakhai telah menghapus postingannya di Facebook karena menimbulkan kontroversi. Dia mengaku tidak mengirim artikelnya ke situs mana pun. Kenyataannya, tulisan tersebut diunggah di Instragram @mubadalah.id dan @indonesiafeminis dan viral diberitakan. Benar adanya bahwa isi artikel itu menjelaskan mengenai kebolehan perempuan haid berpuasa. (www.news.detik.com, 03/05/2021)
Demokrasi Menumbuhsuburkan Liberalisasi Syariah dan Pendapat Sesat
Ini bukan pertama kalinya pendapat sesat beredar di tengah masyarakat. Kebebasan berpendapat yang selalu kebablasan. Dalil Al-Qur’an diotak-atik sesuai kepentingan pihak tertentu. Menjamurnya orang-orang liberal yang seakan-akan membela Islam, padahal justru menjauhkan umat muslim dari pemahaman Islam yang benar.
Santer diberitakan seorang kyai bernama Imam Nakhai telah memposting tulisannya terkait kebolehan perempuan haid berpuasa. Dia mengatakan bahwa tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang melarang perempuan haid berpuasa. Ayat yang berkaitan dengan haid hanya mencakup dua hal, yaitu larangan berjima’ dan melakukan ibadah yang mensyaratkan suci, seperti salat dan sejenisnya. Sementara, syarat sah puasa bukan suci, tapi mampu. Tak hanya itu, bahkan dia mengutip salah satu hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang salat bagi perempuan haid, bukan puasa.
Sontak hal itu menuai kontroversi dari banyak kalangan, bahkan MUI menyampaikan sikapnya terkait polemik ini. Menurut wakil ketua MUI, Anwar Abbas, hadis dari Aisyah ra yang berbunyi: “Kami pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha salat.” (HR. Muslim)
Rasulullah Saw pernah bersabda: “Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak salat dan tidak berpuasa? Mereka menjawab, Ya.” (HR. Bukhori)
Berdasarkan dua hadis tersebut, ditarik kesimpulan bahwa perempuan yang haid tidak boleh berpuasa. Akan tetapi wajib mengganti hari-hari yang ditinggalkannya itu di luar bulan Ramadan. Bahkan ulama pun telah menyepakatinya. Masalah puasa adalah masalah ta’abuddi (ibadah) dan bukan masalah ta’aquli (rasional).
Disadari atau tidak, munculnya pandangan sesat ini dimotori oleh kemunculan fikih progresif oleh kaum liberal. Fiqih progresif merupakan progresifisme pemikiran Islam yang ingin mengembalikan misi ajaran Islam pada otentisitasnya, yaitu semangat pembebasan, sebagai alternatif bagi kebekuan ajaran Islam saat ini yang telah dikungkung oleh bentuk-bentuk pemikiran konservatif yang selalu mempertahankan sesuatu yang telah mapan. Di antara para tokohnya, yaitu Ali Syariati dan Hassan Hanafi (www.jurnal.iainpurwokerto.ac.id, 2015)
Fiqih progresif adalah kedok lain dari liberalisme agama. Salah satu yang menjadi jalan masuknya adalah tafsir. Tafsir, dalam pandangan liberalis, tidak boleh dibatasi ruang pemikiran tertentu. Karena kebenaran agama bersifat relatif, sehingga jika terjadi perbedaan, tidak dipersoalkan. Kecuali jika tafsir itu dianggap bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Inilah negeri demokrasi yang berasaskan sekularisme, sistem yang mengenyahkan agama dalam kehidupan. Ide liberalisme (kebebasan) sangat dijunjung tinggi, di antaranya kebebasan dalam beragama dan berpendapat. Hal ini menyebabkan pembiaran terhadap warga negara yang menyebarkan suatu pandangan yang mengobok-obok isi dari ajaran agama tertentu, penistaan menjadi tak terelakkan. Tak peduli lagi, apakah ide itu sesat atau berbahaya bagi masyarakat. Tak ayal, ini menjadi bukti akan ketidaktegasan pemerintah dalam menjaga syariah.
Bukan hanya lembek, pemerintah juga malah ikut menggencarkan liberalisasi syariah, semisal program moderasi Islam, sekolah dilarang mewajibkan siswinya mengenakan jilbab, toleransi agama yang kebablasan, dan lain sebagainya. Bahkan, ikut menumbuhkan pandangan menyimpang yang bisa menyesatkan umat. Hak warga negara biasa dijadikan alibi dalam melindungi kesesatan.
Khilafah Melindungi Umat dari Pendapat Sesat
Islam merupakan ajaran yang paripurna. Kekayaan khasanah keilmuannya begitu luas. Walau demikian, ada metode khusus dalam penggalian dan penafsirannya agar sesuai dengan yang dimaksud Allah sebagai Syari’ (Sang Pembuat Hukum). Hal ini dilakukan demi mencegah penafsiran sembarang pada dalil-dalil syara’. Khilafah sebagai institusi resmi yang menerapkan ajaran Islam bertugas sebagai penjaga akidah dan syariah Islam.
Khilafah akan melindungi umat dari berbagai munculnya pendapat sesat dan menyesatkan. Khilafah akan menjelaskan dan membantah penyimpangannya. Tidak akan melindunginya dengan dalih hak warga negara, sementara telah jelas kesesatannya.
Pelaku pencetus ide sesat dan penyebarnya akan ditindak tegas. Sementara, bagi orang-orang yang terjerumus ke dalamnya akan dibina agar kembali pada ajaran Islam yang lurus.
Khilafah akan menjaga dan melindungi akidah umat dan pemahaman ajaran agama Islam dari segala penyesatan, pendangkalan dan penistaan. Pembinaan terhadap ajaran Islam yang lurus akan diberikan dalam pendidikan formal dan informal. Dalam menghujamkan pemahaman ajaran Islam yang benar dilakukan dengan dalil, argumentasi, dan bukti. Selain itu, mengaktifkan akal pikiran juga perasaan mereka, sehingga semakin tertancap kuat.
Adapun berkaitan dengan hak warga negara, betul, bahwa Islam pun memberikan hak kebebasan meliputi kebebasan berakidah dan beribadah (memilih satu agama dan tidak mencampuradukkan ajarannya satu sama lain), kebebasan bertempat tinggal, kebebasan bekerja, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan berpendapat. Ajaran Islam telah mengatur mengenai kepemilikan individu, umum, dan negara. Bahkan terkait kebebasan berpendapat, pendapat yang terkategori amar ma’ruf nahyi munkar bukan lagi sekadar hak, tapi juga kewajiban.
Semua kebebasan ini tak boleh melampaui batas-batas yang telah ditentukan syara’, yaitu melakukannya dengan niat baik dan ikhlas serta terikat caranya dengan ajaran Islam.
Betapa indah dan elegannya penjagaan Khilafah terhadap akidah dan syariah Islam, serta hak warga negaranya. Sang Khalifah paham betul bahwa kekuasaan tertinggi yang dimilikinya dalam pemerintahan dan bersifat sentralistik selayaknya diberdayakan untuk kemaslahatan umat.
Maka, kita berharap Khilafah segera hadir dalam pentas dunia saat ini demi menaungi kehidupan masyarakat dengan adil, mulia, sejahtera agar terjaga agama dan hak warga negaranya.
Wallahu a’lam bi ash-showwab[]
Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]