Ketiadaan Kemenristek selaku instansi tersendiri mengakibatkan ketidakmandirian arah riset dan teknologi negeri ini. Hal ini berarti akan membuka peluang penjajahan ristek oleh jaringan konglomerasi teknologi global selaku pemodal
Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Indonesia memiliki segudang mimpi, satu diantaranya adalah mendirikan Silicon Valley ala Indonesia. Terinspirasi dari negara Amerika yang memiliki Silicon Valley (lembah silikon), yakni kawasan yang memiliki banyak perusahaan yang bergerak pada bidang komputer dan semi konduktor. Maka diluncurkanlah mega proyek Bukit Algoritma. Sayangnya bersamaan dengan ini, pemerintah membubarkan Kemenristek untuk dimerger dengan Kemendikbud. Hal ini menyiratkan tanya, apa tujuan digulirkannya mega proyek ini? Siapa yang akan mengelolanya?
Dilansir dari www.cnnindonesia.com, (11/04/2021) bahwa politisi PDI Perjuangan sekaligus pendiri gerakan inovator 4.0 Budiman Sudjatmiko menjamin pembangunan Bukit Algoritma tidak menggunakan dana APBN sepeser pun. Proyek yang digadang-gadang membutuhkan dana sebesar 18 triliun itu berasal dari uang segar investor, lokal maupun asing. Kawasan ini akan dibangun di atas lahan seluas 888 hektarel di Cikadang dan Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat.
Tak hanya itu, Bukit Algoritma ini direncanakan akan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sehingga dapat memperoleh berbagai insentif fiskal dari pemerintah. Diprediksi proyek ini akan mampu mendorong pertumbuhan pasar properti di daerah Sukabumi dan sekitarnya.
Di balik prestisius-nya proyek ini, ada kabar mengejutkan terkait keputusan pemerintah yang disetujui DPR bahwa Kemenristek akan dilebur dengan Kemendikbud. Menristek, Bambang Brodjonegoro merasa lara dengan keputusan itu, berarti Kemenristek tidak lagi berdiri sendiri. Bersamaan dengan itu mencuat rencana pembentukan Kementerian Investasi berdasarkan Surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 perihal Pertimbangan Pengubahan Kementerian. (www.cnnindonesia.com, 11/04/2021)
Mega proyek Bukit Algoritma semestinya digarap oleh Kemenristek, lembaga kementerian resmi negara yang mumpuni di bidang riset dan teknologi. Bukan malah dileburkan lembaganya dan mega proyek ini dilemparkan kepada investor asing. Tak ayal hal ini mengundang tanya publik, sebenarnya demi siapa mega proyek ini dipersembahkan?
Penjajahan Ristek di Balik Mega Proyek Bukit Algoritma
Silicon Valley merupakan julukan bagi suatu kawasan di selatan San Francisco Bay Area, California, Amerika Serikat. Kawasan ini dipadati sekitar 2000-an perusahaan teknologi. Sebut saja Adobe Systems, Apple Computer, Google, Yahoo, Intel, Facebook, Twitter, Tesla dan masih banyak lagi. Kawasan ini ditunjang dengan keberadaan Stanford University yang kualitas pendidikannya super, bahkan profesor dari kampus ini senantiasa mendorong mahasiswa dan lulusannya agar membangun bisnis sendiri di kawasan ini. Aroma inovasi, kompetisi, dan investasi tercium sangat menyengat pada kawasan ini.
Pada 2015 lalu, Menristek Dikti saat itu Mohammad Nasir, bermimpi ingin memiliki Silicon Valley seperti di AS tadi. Beliau berjanji akan mengoptimalkan riset yang dilakukan oleh perguruan tinggi seperti ITB, IPB, UGM, dan UNDIP didukung kolaborasi dengan industri. (www.merdeka.com, 10/08/2021)
Sepertinya impian itu baru bisa direalisasikan tahun 2021 ini dengan diluncurkannya mega proyek Bukit Algoritma oleh Budiman Sudjatmiko. Dana fantastis sebesar 18 triliun dipastikan tidak diambil dari APBN, tapi dari investasi para investor.
Bukit Algoritma yaitu kawasan pengembangan riset teknologi dan SDM yang berbasis industri 4.0. Harapannya, kawasan ini mampu meningkatkan pembangunan infrastruktur di dalam negeri secara berkelanjutan. Hal tersebut sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam mewujudkan mimpi ini.
Dalam mega proyek Bukit Algoritma tersebut, Bintang Raya Lestari menjadi pemilik lahan, PT. Kiniku Bintang Raya menjadi investor, dan PT Amarta Karya sebagai kontraktor. (www.bisnis.tempo.co, 15/04/2021)
Mega proyek ini akan berstatus KEK yang mendapat insentif pemerintah. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), perusahaan yang tergabung di dalamnya akan mendapat keringanan dalam pajak, bea masuk, kemudahan izin usaha, pengiriman barang, hingga pengaturan tenaga kerja.
Peluncuran mega proyek Bukit Algoritma mengundang kontroversi di tengah publik. Mengingat pembangunan itu dilakukan di wilayah yang cukup berada di pedalaman, jauh dari akses perguruan tinggi, pusat penelitian, hingga kawasan industri. Bahkan lebih dari itu Indonesia termasuk negara yang sangat rendah dalam ekosistem penelitian dan pengembangan teknologi. Selain itu, inovasi yang mandeg, dan ketimpangan digital dalam sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sehingga hanya wilayah tertentu yang bisa mengakses internet. (www.cnnindonesia.com, 20/04/2021)
Berdasarkan hal itu maka patut dipertanyakan apakah Indonesia telah siap dan memenuhi syarat untuk menopang kawasan industri berteknologi tinggi semacam Silicon Valley?
Ketidaksiapan negeri ini semakin diperparah dengan keputusan pemerintah yang diamini para wakil rakyat, mereka justru nekad meleburkan Kemenristek ke dalam Kemendikbud di tengah masifnya peluncuran Bukit Algoritma ini. Hal itu tentu memiliki konsekuensi besar terhadap berjalannya mega proyek ini. Sebab ketiadaan Kemenristek selaku instansi tersendiri mengakibatkan ketidakmandirian arah riset dan teknologi negeri ini. Hal ini berarti akan membuka peluang penjajahan ristek oleh jaringan konglomerasi teknologi global selaku pemodal. Selanjutnya ketergantungan Indonesia pada asing akan menjadi konsekuensi yang tak bisa dihindari. Walhasil mega proyek ini tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat, paling banter hanya kecipratan remah-remah ekonominya saja. Lantas, siapa yang paling diuntungkan? Tentu saja para investor dan korporat kapitalis yang akan mendulang emas dari proyek ini.
Inilah dampak dari penerapan sistem sekuler kapitalisme yang di-support demokrasi. Kemandirian teknologi dan dukungan terhadap riset justru malah dikebiri. Inilah pembodohan sistemik. Umat tidak boleh terjebak pada agenda penjajah kapitalis yang diberi karpet merah oleh rezim sekuler.
Khilafah Mendukung Penuh Riset Teknologi demi Kemaslahatan Umat
Islam adalah agama sekaligus ideologi paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan dari A hingga Z. Ideologi Islam diterapkan secara menyeluruh dalam institusi Khilafah. Peradaban Islam pernah mencapai puncak kejayaan pada masa kekhilafahan yang berlangsung selama 13 abad, bahkan Khilafah islamiyyah tercatat dalam sejarah menjadi mercusuar dunia dalam aspek keilmuan dan kemajuan teknologi. Pada saat yang bersamaan Barat mengalami kegelapan dan buta teknologi.
Islam sangat memerhatikan ristek. Bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu dan mengembangkan teknologi. Allah Swt berfirman: “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (TQS. Al-Mujadalah: 11)
“ Hai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak bisa menembusnya kecuali dengan kekuatan.” (TQS. Ar-Rahman: 33)
Khilafah sangat memahami kebutuhan umat akan ristek sebagai penunjang kehidupan, khususnya aktualisasi ibadah, visi dakwah dan jihad. Khilafah menempatkan teknologi sebagai instrumen pendukung kemaslahatan umat. Oleh karena itu, akan diupayakan kemudahan akses, kepemilikan perangkat dan penggunaannya. Berbeda halnya dengan kapitalisme yang menggunakan teknologi demi menjajah.
Khilafah juga akan berdikari dalam pendanaan sektor ristek dalam negeri. Asing tidak akan diberi peluang secuil pun untuk menguasai umat dan negara dengan dalih investasi. Allah Swt berfirman:
“…dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (TQS An-Nisa:141)
Seluruh pendanaan ristek akan ditanggung Khilafah dari Baitul Mal, karena kas negara ini memiliki aliran dana yang berlimpah dan tak akan surut, di antaranya dengan pengelolaan secara tunggal dan mandiri negara terhadap SDA yang ada.
Demikianlah Khilafah menunjukkan ketegasan kepada pihak manapun yang hendak merugikan atau mengambil keuntungan di balik kelemahan umat Islam. Betapa piawainya khilafah dalam menciptakan ekosistem dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Khilafah begitu mandiri dalam membuat arah riset, memberikan dukungan penuh terhadap riset (baik secara kebijakan maupun finansial). Semua dilakukan demi kemaslahatan umat dan kegemilangan Islam.
Wallahu’alam bi ash-showwab[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]