"Dunia perpolitikan memang penuh dinamika dan kejutan. Berbagai wacana sangat mungkin terjadi demi mendongkrak elektabilitas partai dan paslon yang diusungnya"
Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemilihan presiden dan wakil presiden dijadwalkan berlangsung pada tahun 2024. Meskipun masih sekitar 3 tahun lagi, tetapi aroma dan aura persaingan politik sudah sangat terasa. Setiap partai politik sudah bersiaga menyiapkan strategi kemenangan. Menyadari dengan terpecahnya suara muslim justru melemahkan partai Islam, maka digagas wacana poros Islam.
Dilansir dari www.news.detik.com, (16/04/2021) bahwa wacana koalisi poros Islam semakin menguat setelah pertemuan PPP dan PKS. Bahkan, disambut baik oleh partai Islam lain yakni, PKB dan PBB. Bukan hanya partai Islam, bahkan partai nasionalis pun akan ikut digandeng dalam koalisi, mengingat basis suara mereka yang cukup besar. Yusril Ihza Mahendra selaku ketua PBB menyatakan gagasan besar ini tidak mudah, karena perpecahan seringkali terjadi bukan disebabkan masalah fundamental yakni ideologi atau prinsip perjuangan, melainkan karena perbedaan kepentingan politik praktis partai di lapangan. Para pimpinan partai ini berharap pilpres 2024 tidak terjadi pembelahan masyarakat sebagaimana pada pilpres 2014 dan 2019.
Parpol Islam yang menolak adalah PAN. Wakil ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi, menyatakan pihaknya tidak akan tergabung dalam rencana koalisi poros partai Islam. Viva menyatakan bahwa simbol agama tidak perlu dibawa-bawa dalam politik di Indonesia. Karena bersifat kontraproduktif. (www.cnnindonesia.com, 16/04/2021)
Dunia perpolitikan memang penuh dinamika dan kejutan. Berbagai wacana sangat mungkin terjadi demi mendongkrak elektabilitas partai dan paslon yang diusungnya. Masyarakat harus cerdas dan sigap dalam mengamati dan tidak reaktif dalam merespon. Jangan sampai terjerumus pada pilihan yang keliru.
Demokrasi, Harapan Semu/bagi Kebangkitan Islam
Pemilihan pemimpin di negeri ini senantiasa berulang setiap 5 tahun. Partai politik memainkan berbagai strategi yang mampu mendulang suara dan merealisasikan kepentingan politiknya. Bahkan membentuk koalisi antarpartai menjadi sesuatu yang niscaya. Masyarakat disuguhi berbagai fenomena bahkan politik pencitraan yang mampu mengecoh keputusan politiknya di momen pesta demokrasi.
Kita temukan bahwa pergulatan dalam pilpres itu tidak menghasilkan apa-apa. Pemimpin yang terpilih tidak mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Bahkan keberadaan parpol termasuk partai Islam yang awalnya sangat lengket berkomunikasi dengan masyarakat saat masa kampanye, kemudian menjauh seiring dengan naiknya paslon yang diusung. Itu menunjukkan bahwa keberadaan partai politik Islam yang terjun dalam politik praktis ala demokrasi tidak efektif. Bahkan jauh panggang dari api. Kekecewaan kembali berulang dan masyarakat harus menelan pahit akibat pengkhianatan. Islam dan kaum muslim tetap terpojokkan.
Sangat disayangkan, selama jalur demokrasi masih ditempuh, semangat dan energi umat Islam untuk bersatu dan bangkit akan pupus. Karena watak demokrasi selamanya tidak akan memberikan peluang bagi Islam untuk berjaya. Umat Islam hanya akan jadi mainan oligarki kekuasaan para kapitalis. Miris, para tokoh Islam termasuk pemimpin partai politik Islam hingga kini masih banyak yang terjebak dalam aktivitas perjuangan politik praktis yang pragmatis. Banyak faktor yang mendasarinya, diantaranya:
Pertama, faktor internal pada kaum muslim termasuk tokohnya, dalam memahami hakikat Islam politik, yakni gambaran utuh tentang Khilafah sebagai satu-satunya institusi politik Islam yang hukumnya wajib, bahkan Rasulullah telah memberikan teladan dalam hal penegakkannya. Bahkan ketiadaan Khilafah menjadi qadhiyah mashiriyah (persoalan utama) di tengah masyarakat, yang wajib dicarikan solusinya. Ini terjadi diakibatkan dari pengaruh pemikiran sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) yang selanjutnya menjadi pemisahan agama dari negara/politik. Sehingga gambaran politik Islam tersamar bahkan tumpang tindih dengan gambaran politik sekuler.
Kaum muslim begitupun tokohnya telah terasuki pemahamannya dengan metode kompromi (jalan tengah) dibandingkan dengan metode ijtihad. Sehingga ketika dihadapkan pada berbagai persoalan, selalu asas manfaat yang diambil sebagai standar, bukan halal haram.
Kedua, faktor eksternal yaitu serangan pemikiran dan tsaqafah Barat yang menghantam kaum muslim. Diantaranya paham nasionalisme yang menyekat kaum muslim menjadi beberapa negara yang terpisah satu dengan yang lainnya. Masing-masing fokus mengurusi negerinya sendiri. Seakan-akan berbagai persoalan yang menimpa kaum muslim di berbagai belahan dunia ini tidak saling berkaitan. Padahal sejatinya kaum muslim sedunia itu bagai satu tubuh. Hal ini memudahkan penjajah kafir memetakan politik dan menyiapkan para pemimpin boneka yang propenjajah di negeri-negeri Islam. Tentu saja dengan melibatkan dan menyibukkan partai politik Islam yang ada untuk berkompetisi terlebih dahulu dalam pesta demokrasi.
Untuk mengatasi permasalahan itu perlu dilakukan edukasi/pembinaan (tatsqif), untuk melakukan kaderisasi dan menyadarkan umat tentang Islam politik. Dengan begitu energi potensial dari tokoh dan umat Islam akan terkumpul dan tersalurkan dengan benar.
Bukan Menyatukan Partai Politik Islam, Tapi Kesatuan Politik Islam
Islam merupakan ideologi yang memiliki seperangkat aturan yang paripurna. Semua ranah kehidupan diatur termasuk ranah politik dan partai politik yang ada di dalamnya.
Makna politik dalam Islam adalah mengurusi urusan umat sesuai dengan syariat Islam, baik dalam maupun luar negeri. Bukan sekadar pesta rakyat (pemilu) sebagaimana dalam politik demokrasi. Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang bangun di pagi hari tidak memikirkan kondisi kaum muslim maka bukan termasuk golonganku.” (HR. Al-Baihaqi)
Keberadaan partai politik menjadi kewajiban yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya:
“Dan hendaknya ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Al-Imran:104)
Ayat ini menunjukkan kewajiban adanya partai politik di tengah umat. Adapun keberadaan banyaknya partai Islam itu mubah, yang penting memiliki visi dan misi yang sama. Adapun bagi seorang muslim, terlibat dalam partai politik bukan sekadar meraih kekuasaan, tapi merupakan kewajiban dalam rangka amar ma’ruf nahyi munkar yang memiliki konsekuensi pahala dan dosa.
Oleh karena itu, partai politik Islam wajib memastikan tujuan perjuangannya adalah demi melanjutkan kehidupan Islam dengan cara menerapkan Islam kafah dalam bingkai Khilafah. Sehingga bukan sekadar urusan memilih sosok pemimpin, namun memahami pemimpin macam apa yang dipilih/diangkat. Bukan hanya itu tugas partai politik Islam adalah mengedukasi masyarakat tentang syariat Islam, hak dan kewajiban rakyat juga penguasa; muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) ketika melakukan penyimpangan atau kezaliman pada kebijakan-kebijakan publiknya; berhak mengangkat pemimpin (Khalifah), namun tak berhak memberhentikannya.
Dengan demikian, yang dibutuhkan umat Islam saat ini bukan penyatuan partai politik Islam, karena berbeda itu adalah rahmat, lagi pula itu bagian dari sunnatullah, melainkan yang dibutuhkan adalah penyatuan politik Islam, yaitu tegaknya institusi politik Islam yang telah Allah wajibkan yaitu Khilafah. Hal itu bisa terwujud jika partai-partai politik Islam yang ada telah menyatukan visinya terlebih dahulu yaitu membebaskan umat dari cengkeraman Kapitalisme global.
Fakta menunjukkan bahwa Barat bisa berkuasa karena ditopang ideologi kapitalisme yang diadopsi negara. Sementara ideologi Islam hanya diadopsi individu, paling banter kelompok saja. Walhasil, kekuatan tidak berimbang, negara melawan kelompok. Sehingga perjuangan untuk mewujudkan kekuatan politik Islam ideologis selalu dihadang dan dilumpuhkan.
Oleh karena itu, mewujudkan kekuatan politik Islam ideologis berupa negara Khilafah adalah kebutuhan umat yang paling mendesak saat ini. Inilah kekuatan riil umat sebagai penyeimbang pertarungan antarideologi di kancah dunia. Saatnya Khilafah memimpin dunia.
Wallahu ‘alam bishowwab[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]