"Negara hanya sebagai jalan yang menjembatani intelektual sebagai ‘peran utama’ dalam dunia akademik, dan pengusaha sebagai ‘peran utama’ dunia industri. Ruang lingkup ristek yang sangat luas ini tentu akan sulit apabila dijadikan alat dalam sektor pendidikan saja."
Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah Ch
(Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta)
NarasiPost.Com-Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menggabungkan Kementerian Riset dan Teknologi ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jokowi menginginkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjadi lembaga tersendiri.
Keinginan Jokowi itu pun berdasarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para wakil rakyat setuju atas peleburan tugas dan fungsi Kemendikbud dan Kemenristek. Dua kementerian tersebut akan berubah menjadi Kemendikbud dan Ristek. (cnnindonesia, 15/04/2021)
Juga pemaparan yang disampaikan oleh Menristek atau Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro dalam diskusi daring bertajuk “Membangun Ekosistem Riset dan Inovasi”, Ahad (cnnindonesia, 11/04/2021).
Dilema Kemenristek/BRIN seolah kehilangan pijakan dan buram akan tugas dan fungsinya. Sejak 2019 ketidakjelasan ini karena BRIN selama ini berjalan tanpa adanya dasar hukum yang jelas untuk menaungi seluruh unit organisasi yang diperlukan secara efektif, efisien, maksimal, dan optimal. Presiden Jokowi menandatangani Perpres tentang BRIN pada Maret 2020. Guna Perpres ini menjadi efektif, selanjutnya harus diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Namun, realitanya Perpres ini tak pernah diundangkan oleh Kemenkumham hingga setahun kemudian. Dengan alasan, ada pihak yang menginginkan BRIN harus terpisah dari Kemenristek, sebab BRIN seharusnya melakukan penelitian secara aktual. Sementara, menurut Bambang Brodjonegoro selaku Menristek/BRIN, BRIN merupakan badan yang terletak di bawah kementerian. Usai setahun tidak menemui jalan penyelesaian, pada akhirnya diputuskan BRIN dipisah dari Kemenristek.
Setelah peleburan ini, nasib Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) berbasis riset seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) belum diketahui kejelasannya apakah badan-badan ini tetap akan ada menjadi badan sendiri atau digabung ke dalam BRIN. Yanuar Nugroho, Mantan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan di Kantor Staf Presiden (KSP), juga menilai rencana penggabungan Kemenristek ke Kemendikbud menunjukkan aktivitas riset atau penelitian dan pengembangan (litbang) belum menjadi pengutamaan pemerintah. Padahal, riset dan inovasi sendiri memiliki keikutsertaan yang besar dalam membangun ekonomi dan manusia suatu negara. Jika melihat laporan tahunan Global Innovation Index (GII) hanya pada tahun 2018, Indonesia sudah sangat tertinggal jauh. Sedangkan Singapura termasuk sebagai satu-satunya negara Asia dan ASEAN yang menduduki lima besar dunia. Malaysia menduduki posisi ke-35 dan Thailand berada di peringkat 44. Sementara itu, Indonesia terletak pada urutan ke-85 dengan skor 29,8. Di ASEAN, Indonesia tercatat di peringkat kedua terbawah di atas Kamboja yang memiliki skor 26,7. Satu di atas Indonesia ada Filipina (31,6), kemudian Brunei (32,8), dan Vietnam (37,9).
Kendati demikian, pada tahun 2019 Badan Litbang mengklaim publikasi riset Indonesia menempati posisi pertama di ASEAN, tetapi kondisi ini bertolak belakang dengan kualitas riset dan inovasi yang mengalami stagnasi. Tentu sangat disayangkan di saat negara lain berlomba dalam mengembangkan riset dan inovasi yang jelas sangat berdampak positif pada pembangunan ekonomi. Cacatnya catatan ini seolah mencerminkan bahwa pemerintah kurang serius dalam menggarap bidang penelitian dan peningkatan kualitas manusia dalam hal inovasi. Negara maju percaya bahwa riset berpengaruh dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui peleburan ini juga, pemerintah seakan mengesampingkan peran riset hanya berada dalam ruang lingkup pendidikan saja. Bahkan anggota Komisi VII DPR Mulyanto menyebut penggabungan ini sebagai indikasi ‘hengkang’nya pemerintah.
Kapitalisme Menjarah Riset dan Inovasi
Dalam membangun tradisi keilmuan, termasuk dalam mengembangkan budaya riset di kalangan intelektual, sistem kapitalisme menjadikan falsafah keilmuannya pada aspek materi dan manfaat. Maka secara tidak langsung akan membentuk suatu sudut pandang para pengambil kebijakan terkait pengembangan riset dan inovasi.
Untung dan rugi dalam sistem kapitalisme lumrah adanya, dan menjadi standar dalam pengembangan riset dan inovasi. Padahal, riset dan inovasi merupakan hal terpenting dalam menghadirkan solusi atas berbagai permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Inkonsistennya pemerintah dalam memajukan riset dan mengembangkan inovasi intelektual dalam negeri memperlihatkan begitu besarnya ketergantungan atas hasil riset negara luar. Karena selama ini, Indonesia termasuk negara yang berlangganan impor hasil riset dan inovasi negara luar. Sementara di dalam negeri, pemerintah tidak memperhatikan secara khusus para intelektual, peneliti, maupun perekayasa dalam mengembangkan konsep riset dan inovasi.
Peran negara yang dialihfungsikan pada para pemilik modal kapitalis ini akhirnya membuat riset dan inovasi disetir oleh para investor. Sementara, negara hanya sebagai jalan yang menjembatani intelektual sebagai ‘peran utama’ dalam dunia akademik, dan pengusaha sebagai ‘peran utama’ dunia industri. Ruang lingkup ristek yang sangat luas ini tentu akan sulit apabila dijadikan alat dalam sektor pendidikan saja. Maka jika dikatakan bahwa penggabungan dua kementerian ini merupakan sebuah indikasi ‘hengkang’nya pemerintah.
Kontras dengan Peradaban Islam
Dalam negara Islam, yang pernah menjadi peradaban emas dunia selama kurang lebih 13 abad lamanya. Hasil dari sains akan diberikan apresiasi yang tinggi bagi siapa pun yang mempelajari dan mengamalkannya. Banyak penemuan intelektual muslim telah mengukir sejarah sebagai penyumbang peradaban dunia. Karya fenomenal Ibnu Sina dibidang kedokteran 'The Book of Healing' dan 'The Canon of Medicine'; Al Idrisi, ahli Geografi penemu Globe; Al Jazari ilmuwan muslim penemu pertama konsep robot modern dengan prinsip hidroliknya, yang kemudian tercipta jam otomatis dan juga pompa rantai tenaga air (Hidro Power). Selain itu, Maryam Asturlabi, sang ahli Astronomi, dengan penemuannya itu menjadi dasar bagi pengembangan teknologi Global Positioning System (GPS) hari ini. Di dalam sistem Khilafah Islam, mencari ilmu adalah sebuah kewajiban, mengamalkannya merupakan sebuah amal saleh dan mengajarkannya menjadi amal jariyah yang tak akan terputus pahalanya. Maka tak heran jika hasil karya intelektual muslim memang selalu menebarkan kebermanfaatan bagi sesama dan menghantarkan masyarakat dan negara semakin menuju kepada puncak ketakwaannya kepada Sang Pencipta.
Wallaahu a'lam bish-shawwab[]
Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]