Ramadhan, Momentum Tepat untuk Kembali Taat pada Syariat

“Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/385)


Oleh: Miliani Ahmad

NarasiPost.com - Ramadhan tiba semua bahagia
Tua dan muda bersuka cita
Bulan ampunan bulan yang berkah
Bulan terbebas api neraka

Marhaban Ya Ramadhan
Marhaban Ya Ramadhan
Marhaban Ya Ramadhan
Marhaban Ya Ramadhan

Sepenggal bait lagu di atas sangat mewakili rasa bahagia umat setiap memasuki bulan mulia. Bulan yang selalu ditunggu di antara bulan-bulan lainnya. Bahkan kebahagiaan tersebut mutlak dimiliki oleh umat untuk menyongsong kehadirannya. Ada kebaikan yang Allah Swt sediakan bagi umat-Nya yang bersungguh-sungguh menyibukkan diri dengan amal dalam menjalani bulan berkah.

“Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/385)

Tapi, rasa bahagia itu belum dirasa sempurna. Masalah demi masalah hidup terus mendera. Pandemi yang sudah berlangsung belasan purnama belum juga menampakkan hilal kepergiannya. Sudah beragam derita terjadi selama wabah. Ribuan nakes meregang nyawa. PHK di mana-mana. Dunia pendidikan makin tak tentu arah. Apalagi kebijakan negara dalam menghadapi wabah makin membingungkan ratusan juta jiwa rakyatnya.

Jangan tanya masalah penghidupan rakyat. Banyak yang hidup melarat. Ekonomi makin kempang kempis. Napas rakyat makin tercekat akibat harga kebutuhan yang semakin meningkat. Pedasnya harga cabai menambah panas air mata. Belum lagi harga beras dan sembako lainnya terus merengsek menyentuh angka yang fantastis.

Sementara itu bagi kaum pria, mencari pekerjaan tidaklah mudah. Bergaji pun hanya ala kadarnya. Akhirnya, banyak yang banting setir menjadi pencuri, pembegal, perampok, mucikari atau bahkan menjadi pembunuh. Sungguh, kemelaratan telah menghantarkan rakyat pada perilaku maksiat. Na’udzubillah.

Di sisi lain, bencana dan musibah datang silih berganti. Bencana hidrometeorologi sangat rutin menghampiri. Hujan yang semestinya menjadi rahmat, malah datang seperti kiamat. Belum kering derita akibat bencana yang terjadi di pulau Kalimantan dan Sulawesi, kini musibah menyapu pulau Nusa Tenggara. Puluhan nyawa melayang. Ratusan rumah pun tersapu air bah. Fasilitas umum pun dipastikan tak bisa berjalan maksimal.

Seiring banyaknya derita dan musibah, bayang-bayang ketakutan juga terus menghampiri umat. Menggelindingnya bola panas terorisme makin membuat kekhusyukan Ramadhan seakan tenggelam. Umat dituduh menjadi biang keroknya. Efeknya, Ramadhan kali ini makin banyak aktivitas ulama dibatasi. Masjid-masjid banyak diawasi. Hingga akhirnya kesatuan umat kian terkoyak. Umat makin terkotak-kotak, saling curiga dan terpecah belah.

Sebenarnya negeri ini kurang apa. Hamparan hutan menghijau bahkan menjadi paru-paru dunia. Lautan biru begitu luas membentang. Harta karun berupa minyak, gas, emas begitu banyak tertanam di bumi pertiwi ini. Beratus-ratus ribu jenis fauna lautan tersedia, mampu menyediakan jutaan protein bagi rakyat. Belum lagi berkah tanah subur yang dilimpahkan atas negeri ini.

Apa sebenarnya yang terjadi pada negeri ini? Kemana perginya negeri gemah ripah loh jinawi, bukankah sumber daya alamnya mampu untuk mengentaskan masalah kemiskinan dan semua derita? Aneh, justru negeri ini terperangkap dalam dilema yang tak kunjung sudah. Kemiskinan merajalela, kemaksiatan makin tak terbilang jumlahnya. Tapi sayangnya Islam justru menjadi kambing hitamnya. Astaghfirullah.

Saatnya Muhasabah

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Dalam memaknai ayat di atas, Abu Aliyah mengemukakan bahwa kerusakan yang terjadi di muka bumi ini disebabkan oleh perbuatan durhaka manusia kepada Allah. Sebab, keberlangsungan dan kelestarian alam di bumi ini hanya bisa terjadi jika terdapat ketaatan pada diri manusia.

Pada prinsipnya, ketaatan tersebut harus termanifestasi dalam semua hal tak terkecuali sistem hukum yang berlaku di tengah manusia. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda,

“Satu hukuman (yang ditetapkan syara’ atas kejahatan) yang ditegakkan di muka bumi lebih baik bagi penduduknya daripada mereka diguyur hujan selama tiga puluh atau empat puluh hari.” (HR Ahmad)

Faktanya, pada kehidupan saat ini hukum-hukum yang lahir tak lagi mampu menghentikan kemaksiatan. Hukum hanya tertulis dalam lembaran-lembaran kertas yang tak memberi solusi ampuh. Penegakan hukum dirasa tebang pilih. Parahnya lagi hukum bisa diatur sesuai kehendak manusia.
Tak heran pada akhirnya zina bisa terjadi di mana saja. Riba menjadi transaksi legal dalam negara. Gaya hidup masyarakat makin bebas sebebas-bebasnya. Sinkretisme dianggap lumrah. Hedonisme dikampanyekan di banyak kanal media. Korupsi pun makin menggila. Aset SDA banyak terjarah.

Di sisi lain, ajaran Islam yang membawa keberkahan makin tak mendapat tempat. Syariah kafah tak lagi bisa didakwahkan dengan mudah. Agenda dakwah mulai banyak dipersekusi. Masjid-masjid diawasi. Para ulama kian dibatasi dengan sertifikasi. Proyek moderasi makin menggerogoti aturan Illahi.

Kondisi ini membuat umat semakin menjadi takut untuk mendekat pada syariat. Ajaran Islam dianggap monster yang layak dijauhi. Kerudung, jilbab, jihad, serta khilafah menjadi sesuatu yang dipandang tak lagi relevan untuk dibumikan. Maka wajarlah negeri ini seakan tercabut keberkahannya. Hukum Allah seakan menuai masalah dan layak untuk ditimbang kembali menurut akal manusia.

Kesemuanya ini bisa terjadi karena pangkal pengurusan kehidupan manusia telah meletakkan landasannya pada azas sekularisme. Sistem ini tak lagi menempatkan aturan Allah memiliki kedaulatan untuk mengatur kehidupan. Manusia dianggap memiliki hak prerogatif dalam menentukan mana yang benar atau salah. Mana yang boleh atau tidak. Seakan akal manusia sempurna untuk memutus segala perkara.

Padahal, penentuan hukum dengan memakai akal manusia pasti akan menimbulkan kecacatan, perselisihan dan persengketaan. Tabiatnya akal, ia bersifat lemah dan terbatas. Akal manusia tak akan mampu menjangkau apa pun yang akan terjadi di kemudian hari. Akal pun juga memiliki batas kemampuan untuk mengindera sesuatu yang berada di luar objek nalarnya. Sungguh, tak patut manusia pongah. llmu dan akal yang Allah titipkan sejatinya hanyalah setitik air yang tak sebanding dengan luasnya samudera ilmu Allah.

Waktunya untuk Kembali pada Ketaatan

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Q.S Al-baqarah : 183)

Islam telah menjelaskan bahwa tujuan terpenting dalam pelaksanaan ibadah puasa adalah membentuk ketakwaan. Sangat menarik mengetahui definisi takwa menurut perumpamaan Abu Hurairah tatkala ia ditanya seseorang tentang takwa.

''Pernahkah engkau melewati suatu jalan yang jalan itu penuh dengan duri? Bagaimana caramu untuk melewatinya?'' Orang itu pun kemudian menjawab, ''Apabila aku melihat duri, maka aku menghindarinya dan aku akan berjalan pada tempat yang tidak ada durinya, atau aku akan langkahi duri-duri itu, atau aku mundur.'' Abu Hurairah cepat berkata, ''Itulah takwa!'' (H.R Ibnu Abi Dunya)

Dalam tafsir Al-Azhar, Hamka menyebut bahwa kata takwa berasal dari kata wiqayah yang berarti memelihara. Maksudnya, takwa merupakan perbuatan memelihara kedekatan kepada Allah. Memelihara diri agar terhindar dari perbuatan yang dimurkai-Nya serta memelihara segala amal perbuatan yang diperintahkan-Nya.

Dalam Al-Qur’an pun Allah Swt. juga telah memberikan definisi takwa secara jelas.
''Itulah Alquran yang tidak ada satu pun keraguan di dalamnya. Ia adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa. Yaitu, mereka yang beriman kepada hal-hal gaib, mendirikan shalat, dan menyedekahkan sebagian harta yang mereka miliki dari rezeki Kami. Dan, juga mereka yang beriman dengan yang Kami turunkan kepadamu wahai Muhammad, dan yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelummu. Mereka juga beriman kepada akhirat. Itulah mereka yang mendapatkan petunjuk dari Tuhan mereka. Dan, mereka itulah orang-orang yang beruntung.'' (QS Al-Baqarah: 2-5).

Dari definisi di atas semakin jelas bahwa takwa tak akan pernah berlepas dari sikap taatnya seorang hamba kepada seluruh aturan-Nya. Baik dalam aspek vertikal maupun horizontal. Aturan-aturan beragam yang diturunkan, wajib untuk ditaati dan dilaksanakan secara kafah. Tak boleh pilih-pilih apalagi sampai mereduksinya.

Tak hanya dalam ranah individu, hukum Allah pun harus tegak dalam ranah bermasyarakat dan bernegara. Bahkan negara merupakan ujung tombak terlaksananya hukum Allah secara sempurna. Negara memikul tanggung jawab besar untuk menjamin seluruh pelaksanaannya.
Dalam mengaitkan antara agama dan negara, Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin mengatakan,

الملك والدين توأَمان فالدين أَصل والسلطان حارس وما لا أَصل له فمهدوم وما لا حارس له فضائع

“Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang”.

Indahnya kiasan yang diberikan sang imam dalam menyebut kesatuan antara agama dan negara. Namun sayang, kesatuan itu tak akan mampu terealisasi jika negara tetap bertumpu pada sekularisme. Ibarat minyak dan air, sekularisme dan Islam tak akan mampu untuk disatukan. Keduanya berbeda 180 derajat. Tak akan mungkin menemukan titik ideal bagi Islam untuk dapat hidup dalam habitat sekularisme.

Untuk itulah umat membutuhkan negara yang berlandaskan Islam dalam menjaga ketakwaannya. Umat membutuhkan junnah (pelindung) untuk memelihara imannya.

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”. (H.R al-Bukhari)

Maka, kunci terpenting untuk kembali pada totalitas ketaatan adalah dengan menghadirkan kembali junnah yang siap menata umat dengan segala aturan Allah. Dialah satu-satunya jalan keselamatan. Umat tak pernah merugi hidup dalam naungannya. Sebab dengan junnah umat menjadi mulia dan kehidupan menjadi berkah.

Sudah saatnya Ramadhan menjadi bulan perubahan untuk kembali kepada Islam dengan meningkatkan ketaatan dalam semua aspek kehidupan.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Q.S Al-A’raf : 96)

Wallahua’lam bish-showwab

Picture Source by Google


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
My Perfect Baby is Not Perfect
Next
Mempersiapkan Rumah Cahaya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram