Perempuan, Terorisme dan Stigma terhadap Ajaran Islam

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”(QS At Taubah: 29)"


Oleh. Miliani Ahmad

NarasiPost.Com-Kondisi penghujung Sya'ban makin memanas. Mendekati Ramadhan, suasana iman seakan makin terusik dengan adanya berbagai stigma yang dialamatkan kepada umat dan santer berkembang di berbagai media. Tragedi bom Makassar dan penyerangan di Mabes Polri semakin memojokkan umat. Apa daya narasi sesat sudah terlanjur menggelinding liar. Framing sudah berhasil dilakukan yang memperjelas opini bahwa Islam adalah sumber terorisme radikalisme.

Menilik pada dua kondisi tragedi di atas, ternyata terdapat keterlibatan perempuan dalam serangkaian aksi tersebut, yaitu dengan teridentifikasinya dua perempuan dari tiga pelaku aksi teror.

Dilansir dari Kompas.com (03/04), adanya keterlibatan perempuan dalam serangkaian aksi terorisme beberapa tahun terakhir di Indonesia telah menunjukkan tren yang meningkat. Hal demikian diungkapkan oleh Milda Istiqomah selaku Peneliti Hukum dan HAM LP3ES Universitas Brawijaya Malang. Menurutnya, situasi yang demikian sudah semestinya dijadikan warning bagi Indonesia. Sebab, di tahun 2018 dan 2019 lalu terdapat 13 serta 15 orang perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme.

Milda pun menilai, selama 20 tahun terakhir telah terjadi pergeseran peran perempuan dalam aksi terorisme. Pada awalnya mereka hanya menjadi pihak yang berada di belakang layar atau invisible rules, seperti menjadi fasilitator, pembawa pesan, propagandis dan ideological supporter. Kemudian peran ini berubah menjadi visible rules.

Terorisme Bukan Ajaran Islam

Setiap manusia, agama atau masyarakat manapun di dunia ini pastilah secara umum bersepakat bahwa terorisme merupakan tindakan kezaliman. Pun demikian dengan Islam. Dalam pandangan Islam, melakukan teror apalagi sampai mencelakai diri sendiri maupun pihak lain adalah keharaman. Sehingga, tidak diperkenankan bagi setiap muslim melakukan tindakan-tindakan zalim, seperti aksi terorisme.

Selain itu, Islam juga memandang bahwa aksi terorisme seperti bom bunuh diri bukanlah bagian dari jihad. Sebab, keduanya merupakan aktivitas yang berbeda dan tak bisa dikaitkan satu sama lain. Jihad merupakan syariat yang datang dari Allah Swt dengan memiliki tujuan tertentu dan dalam rangka menjadikan seluruh dunia ini hidup dalam rahmat-Nya. Sementara terorisme merupakan aksi teror yang bertujuan untuk menciptakan ketakutan dan menciptakan ketidakkondusifan situasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Secara definisi, jihad adalah berperang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat-Nya. Jihad merupakan ajaran yang agung sampai Nabi Saw. pun menyebut jihad sebagai Dzirwah Sanam Al-Islam (puncak amal tertinggi dalam Islam).

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”(QS At Taubah: 29)

Namun, berperang yang dimaksud tak bisa ditafsirkan secara serampangan. Terdapat ketentuan-ketentuan dari jihad seperti kapan jihad dilaksanakan, mengapa dilakukan dan bagaimana mekanisme pelaksanaannya. Jihad sendiri terbagi menjadi dua jenis yaitu jihad difa'i (defensif) dan jihad ofensif. Dalam jihad pun terdapat adab-adab yang wajib dipatuhi.

“Dengarkan, wahai orang-orang, karena aku akan memberitahukan kepadamu sepuluh peraturan untuk membimbingmu dalam medan perang. Jangan melakukan pengkhianatan dan jangan menyimpang dari jalan yang benar. Kalian tidak boleh memutilasi mayat musuh. Jangan membunuh anak-anak, ataupun perempuan, ataupun orang tua. Jangan merusak pepohonan, dan jangan pula membakarnya, terutama pepohonan yang subur. Jangan membunuh hewan ternak musuh, kecuali untuk dijadikan makanan. Kalian harus mengampuni orang-orang yang mengabdikan diri mereka untuk urusan keagamaan; jangan ganggu mereka.

Berperanglah fii sabilillah dengan menyebut nama Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah, berperanglah dan jangan mencuri harta rampasan perang, jangan berkhianat, jangan mencincang mayat dan janganlah membunuh anak-anak.” (HR Muslim 1731).

Berdasarkan pandangan sekilas tentang jihad di atas, semetinya hal tersebut menjadi landasan bagi berbagai pihak agar tidak tergesa-gesa menyebut dan mengkaitkan aksi pelaku sebagai bagian dari jihad yang terdapat di dalam Islam. Meskipun pelakunya menyebut bahwa aktivitasnya adalah jihad namun, butuh ketelitian dari berbagai pihak untuk meluruskannya. Tak boleh memakai kacamata kuda dan membuat berbagai kesimpulan secara prematur.

Di sisi lain, adanya keterlibatan perempuan dalam sejumlah aksi teror memang merupakan sebuah fakta. Namun, upaya untuk mengkaitan keterlibatan tersebut dengan Islam jelas menunujukkan adanya upaya untuk memperkuat proyek kontraradikalisme terhadap kaum perempuan.

Bagi pihak-pihak yang terus berupaya mencari kesalahan Islam, mereka menganggap bahwa perempuan telah mengalami distorsi peran secara radikal akibat fanatisme agama yang diyakini. Asumsi yang demikian jelas menyesatkan. Mereka tidak boleh mengeneralisasi bahwa ajaran Islam telah meradikalkan kaum perempuan. Sebab, kecacatan pemikiran seorang individu seperti perempuan dalam merepresentasikan nilai-nilai Islam tidaklah bisa dianggap sebagai kecacatan Islam sebagi dien yang memiliki kemuliaan. Cacat pemikiran yang demikian bisa dialami oleh siapapun yang memeluk agama manapun.

Selain itu, menyebut perempuan berperan sebagai ideological supporter sungguh amat tendensius. Menurut mereka, peran ideological supporter telah menjadikan perempuan memiliki andil dalam memelihara dan mengembangkan aksi-aksi terorisme radikalisme. Mengapa asumsinya bisa sampai demikian? Karena mereka menganggap bahwa perempuan telah melakukan regenerasi ideologi jihad terhadap anak-anaknya.

Tentu framimg ini amat menyakitkan. Bagaimana mungkin bisa dikatakan seorang perempuan (ibu) yang mendidik anaknya dengan ajaran Islam kafah seperti jihad dianggap sebagai pola pendidikan untuk mencetak teroris? Bagaimana mungkin anak-anak mereka tidak mengenal syariat-Nya, bukankah sudah menjadi kewajiban bagi kaum ibu untuk memperkenalkan Islam dan ajarannya kepada generasi. Sungguh, narasi “ideological supporter” ini telah menjadikan peran ibu sebagai madrastul 'ula dianggap sebagai peran yang sangat berbahaya.

Perempuan Ujung Tombak Perubahan

Sejak agenda War on Terorism (WoT) resmi dijalankan oleh global, sentimen kebencian terhadap umat Islam semakin meningkat. Narasi resmi yang telah dikeluarkan oleh George W. Bush yang secara lugas menunjuk Islam sebagai biang aksi kehancuran WTC pada 2001 silam telah membuat mata dunia menjadi buta.

Tanpa landasan dan bukti yang kuat, serta merta AS segera memerangkap negara-negara di dunia dengan kebijakan kontraterorisme. Lahirlah konvensi-konvensi global untuk melawan terorisme (baca : Islam). Setiap negara yang memilih bersama Amerika akan langsung meratifikasi semua konvensi kemudian menjalankannya, tak terkecuali Indonesia.

Maka, proyek ini sebenarnya sudah lama berjalan namun, relevansinya harus tetap dipertahankan. Untuk itulah, genderang isu terorisme akan terus ditabuh setiap saat agar dunia tetap terjaga dari sebuah momok menakutkan, yaitu kebangkitan Islam.

Barat amat menyadari bahwa kebangkitan Islam sebagai musuh abadinya bukanlah isapan jempol belaka. Bahkan, NIC sebuah lembaga tink-tank milik AS telah memprediksi tanda-tanda kebangkitan tersebut. Kekhawatiran inilah yang telah membuat Amerika merancang grand design global untuk menghadapi Islam dengan cara mengajak dunia berperang bersama dalam proyek WoT.

Selain itu, Barat pun meyakini bahwa Islam bukanlah lawan yang mudah dijatuhkan hanya dengan sekali pukulan. Masalah keyakinan yang dimiliki umat terhadap agamanya nyatanya menjadi faktor sulitnya Islam untuk ditundukkan. Apalagi bibit-bibit kecintaan umat terhadap dien-nya semakin tumbuh dengan adanya kesadaran dari kaum perempuan untuk mendidik generasi dan mencerdaskan sesamanya dengan Islam menunjukkan tren peningkatan secara signifikan.

Maraknya komunitas-komunitas perempuan hijrah dengan menunjukkan simbol-simbol Islam seperti jilbab dan kerudung makin membuat Barat serta para umala'-nya meradang panas dan semakin membencinya. Apalagi, kesadaran ini tak hanya sebatas simbol. Mereka pun semakin mencintai syariah-Nya dan berupaya untuk melaksanakannya dengan penuh keimanan. Diantaranya kaum perempuan juga semakin berupaya untuk menjauhi riba yang secara jelas merupakan tindakan keharaman.

Jika hal ini dibiarkan terus menerus bukan tidak mungkin kebangkitan umat Islam akan semakin cepat. Apalagi dalam kondisi pandemi, kapitalisme sebagai ideologi dunia sedang menghadapi sakaratul mautnya. Inilah benang merah yang bisa kita tarik mengapa narasi paksa terlibatnya perempuan dalam pusaran terorisme begitu gencar didengungkan. Barat tak menginginkan kaum perempuan menjadi tonggak perubahan bagi kebangkitan Islam sekaligus menjadi pelaku penumbang peradaban kapitalisme.

Maka, menjadi poin yang amat penting untuk menjauhkan perempuan dari Islam kafah dan kebangkitannya. Untuk itu simbol-simbol seperti kerudung dan jilbab (gamis) akan terus dicitraburukkan. Perempuan-perempuan yang menggunakannya akan distempel dengan ciri-ciri pelaku terorisme. Tak hanya simbol, kegiatan perempuan pun akan dibatasi dengan stigma bahwa perempuan yang terlibat aktif dalam aktivitas syiar Islam kafah merupakan bagian dari aktivitas terorisme.

Endingnya, perempuan akan merasa fobia terhadap syariat-Nya. Mereka akan enggan untuk memakai jilbab dan kerudung karena akan selalu dicurigai. Bahkan kaum perempuan pun akan semakin jauh untuk mengenali syariah-Nya dengan enggannya mereka mencari ilmu dan mendakwahkan Islam kepada generasi dan masyarakatnya.

Inilah sejatinya yang diinginkan oleh mereka yang membenci Islam. Maka, sudah semestinya kita sebagai umat terbaik tidak serta-merta bersepakat dengan berbagai narasi media dan pihak-pihak yang mendiskreditkan umat khususnya perempuan dalam serangkaian aksi terorisme.

Di sisi lain, dengan adanya upaya stigmatisasi yang terus berulang ini sudah selayaknya umat semakin sadar bahwa umat membutuhkan satu kesatuan institusi politik, yakni khilafah. Karena dengan khilafahlah pertarungan ideologi ini bisa apple to apple. Khilafah akan menjadi institusi pelindung bagi umat yang tak gentar untuk menabuh genderang perang menghadapi negara-negara kuffar yang terus menerus merongrong dan menelanjangi kehormatan syariat dan kaum muslim.

Untuk itu butuh langkah nyata untuk menegakkannya. Salah satunya dengan umat menceburkan dirinya dan terlibat aktif dalam perjuangan penegakan syariah dan khilafah dalam jamaah politik yang konsisten menegakkan mahkota kewajiban umat (khilafah).

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

Wallahua'lam bish-showwab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Temulawak, Si Kuning Penuh Khasiat
Next
Budaya Malas Baca, Cerminan Bangsa yang Gagal
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram