Harus disadari bahwa ini adalah konsekuensi dari kita mengambil sistem kehidupan kapitalisme, yang sejak awal memang telah berkhidmat untuk menyokong kepentingan para pemodal saja. Bukan untuk memperjuangkan, nasib kaum yang papa.
Oleh: Aina Syahidah
NarasiPost.com -- Tak direstui itulah RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Penolakan dari publik sudah terlihat, dari sejak awal kemunculan, hingga kini pasca pengesahan 5 Oktober lalu. Protes massa yang masih terus bergulir menjadi bukti, betapa besar ketidaksetujuan mereka atas Undang-undang (UU) yang dilahirkan ini. Rakyat tentu tidak akan mungkin memprotes, bila saja semua berangkat dari aspirasi dan keinginan mereka.
Inilah yang kemudian membuat publik tidak habis pikir. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dosen Fisipol Universitas Diponegoro (Undip), Wijayanto, pengesahan Undang-undang ini membuat publik geleng-geleng kepala. “Pemerintah selalu ada saja caranya untuk menguji kesabaran kita, setelah kemarin UU KPK caranya juga seperti itu,” katanya kepada Kompas.com (6/10/2020).
Apa Sebenarnya Omnibus Law?
Secara harfiah, Omnibus Law dibangun atas kata omnis yang berarti banyak. Sedangkan dari segi hukum, Omnibus kerap disandingkan dengan kata law atau bill yang bermakna suatu peraturan yang dibuat berdasarkan hasil kompilasi beberapa aturan dengan substansi dan tingkatannya berbeda (amp.tirto.id, 06/10/2020).
Masih dari laman Tirto.id, Paulus Aluk Fajar dalam Memahami Gagasan Omnibus Law, menulis, omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once; inculding many things or having varius purposes. Definisi ini bila ditarik ke dalam kontes UU, dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebuah kebijakan tertentu, tercantum dalam berbagai UU, ke dalam satu UU Payung.
Di samping itu, Omnibus Law juga ternyata bukanlah hal baru. Beberapa negara di dunia seperti AS, Kanada, bahkan di Asia Tenggara ada Flipina dan Vietnam, sudah pernah menerapkan UU ini. Negara Paman Sam, bahkan telah membahas Omnibus Law sejak tahun 1840. Akan tetapi, apakah UU ini berhasil mengangkat masyarakat pada tampuk kesejahteraan? Dodek (2017:1) setidaknya mengatakan, Omnibus Law berkembang menjadi “undemocratic practice” (praktik yang tidak demokratis) dalam pembentukan undang-undang di parlemen.
Sebuah kondisi yang tidak demokratis tentu akan melahirkan sejumlah kekacauan. Apatah lagi di sistem demokrasi. Yang secara tidak langsung telah mengkhianati aturan main daripada sistem itu sendiri. Inilah kondisi yang juga dialami negeri hari ini. UU Cipta Kerja dilahirkan, namun bukan atas kehendak rakyat. Buktinya, penolakan dari mereka banyak bergulir.
Padahal, sebagai negara yang berkidmat pada sistem politik ala demokrasi, suara rakyat adalah prioritas utama. Dan para wakil rakyat harus memutuskan segalah sesuatu sesuai dengan kehendak dan aspirasi mereka. Payahnya, sistem ini tunduk pada kepentingan para kapitalis, yang telah mendanai proses kampanye dan kepentingan oligarki lainnya. Sehingga wajar, bila regulasi yang dihasilkan, membawa angin segar pada kalangan mereka saja.
Sebagaimana diketahui, dalam perjalanannya UU Omnibus Law atau yang biasa dikenal juga dengan UU Sapu Jagat ini hadir, untuk mengakomodasi kepentingan para pemodal. Bahkan dilansir dari laman Tirto.id (06/10/2020), peraturan dalam UU Omnibus Law ditujukan untuk memperjelas dan menyelaraskan peraturan perundang-undangan tentang investasi untuk mendorong investasi domestik dan asing di negara tersebut.
Hal serupa juga pernah diungkap oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, bahwa penerbitan Omnibus Law ialah untuk memperbaiki iklim investasi untuk menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di tanah air (kompas.com, 17/02/2019).
Di luar itu, Direktur Eksekutif Center of Development Studies sekaligus tenaga ahli DPR RI Adhi Azfar juga mengatakan, Omnibus Law pro terhadap asing yang sudah lama menguasai kekayaan alam Indonesia. “Kapitalis asing sudah lama hadir menguasai kekayaan alam Indonesia. Dengan disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, mereka kini sedang mempersiapkan ‘selametan’ pesta besar. Masuk ke tanah air makin merajalela” ujarnya (finance.detik.com, 05/10/2020).
Buah Kapitalisasi
Tak bisa dipungkiri bahwa lahirnya regulasi yang pro pada kalangan pebisnis, adalah imbas dari penerapan sistem kapitalis demokrasi. Karena memang keberadaan keduanya sejak awal memberi ruang bagi para kapitalis raksasa untuk melampiaskan syahwat penguasaannya atas SDA di suatu tempat/wilayah. Olehnya itu wajar pula, bila sejumlah produk kebijakan yang dilahirkan, membawa energi positif bagi para pemilik modal (baca: kapitalis).
Sistem demokrasi yang berfungsi mengatur sirkulasi dan mekanisme perpolitikan juga pada akhirnya akan tunduk kepada para kapitalis ini. Karena para elit politik yang berhasil duduk di kursi kekuasaan, punya utang budi kepada mereka. Bukan rahasia umum lagi bahwa jalannya kampanye di dalam pagelaran pesta demokrasi disokong oleh para pemilik modal atau pelaku usaha yang punya kemampuan materi di atas rata-rata. Mereka turut berjuang karena kelak berharap kemudahan izin usaha serta kepentingan bisnis lainnya.
Prinsip “No free lunch” yang masyhur dikenal di dalam tatanan kapitalis, menjadi penyulut para politikus melakukan transaksi politik balas budi. Tak ayal, dari sinilah agaknya bermula kepentingan rakyat kecil dikorbankan demi kepuasaan para cukong. Inilah kondisi real di sistem hari ini. Harusnya kondisi ini mampu menggugah kesadaran masyarakat. Bahwa suara mereka sejatinya hanya diburu ketika momen pemilihan tiba. Selepas itu, kepentingan para korporasilah yang didamba.
Olehnya itu, menyemai polemik panjang RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang sampai kini cukup menguras emosi, harus disadari bahwa ini adalah konsekuensi dari kita mengambil sistem kehidupan kapitalisme, yang sejak awal memang telah berkhidmat untuk menyokong kepentingan para pemodal saja. Bukan untuk memperjuangkan, nasib kaum yang papa. Wallahu a'lam.[]
Picture Source by Lampung Post
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected].