Jika saat ini kau merasakan kecewa pada hal yang disebut “rumah”, belajarlah dari sana agar kelak anak-cucumu tak merasakan hal yang sama.
Oleh: Dila Retta
NarasiPost.Com- “Awalnya aku mengira, rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Rumah adalah tempat beristirahat dari penat; tempat merasakan kehangatan kasih sayang dan perhatian.
Awalnya aku mengira, Ayah adalah sosok pahlawan, persis seperti yang kawan-kawanku ceritakan, orang pertama yang akan membela, apabila ada yang melukai anaknya. Ayah adalah sosok pria berwibawa, yang gagah di hadapan dunia, namun manja ketika berada dalam rumah.
Awalnya aku mengira, jika Ibulah satu-satunya orang yang tak akan meninggalkanku sendirian, orang pertama yang senantiasa dapat merasakan, setiap hal yang aku sembunyikan. Ibu adalah sosok wanita berkarisma, yang senantiasa menyambut anak-anaknya dengan senyuman dan pelukan cinta, setiap kali memasuki rumah.
Sayang, itu hanyalah sebatas kisah. Aku hanya pernah mendengar dan melihatnya dalam sinema, tidak berlaku dalam kehidupan nyata.
Aku tidak seberuntung mereka.
Yang kusebut rumah, hanya berisi kebisingan akan berbagai umpatan. Yang kukenal sebagi sosok ayah, tak ubahnya seperti komandan perang. Yang kukenal sebagai sosok ibu, hanyalah wanita lemah yang senantiasa bersahabat dengan air mata.
Aku kecewa pada hal yang disebut sebagai rumah.
‘Tumbuhlah menjadi orang hebat; jadilah seperti dia, jangan sepertinya; kamu harus melakukan ini, jangan melakukan itu!’
‘Cukup kataku! Ini hidupku! Aku butuh dukungan, bukan tuntutan atau penghakiman! Jika bukan dari keluarga, dari mana kudapatkan itu semua? Haruskah aku menjadi seperti mereka yang hidup di jalanan dan melakukan tindakan brutal, agar kalian perhatikan?’
Kemudian, Ayah pergi meninggalkan rumah. Ibu hanya diam tak bersuara.
Selang beberapa waktu, aku melihat Ayah telah memiliki keluarga baru. Ibu banting tulang demi mencukupi kebutuhanku, pulang larut malam, tak memiliki kesempatan untuk memperhatikanku.
Jadi, apakah ini yang disebut keluarga?
Sahabat, ilustrasi tersebut bukanlah kisahku, namun, kuangkat dari kejadian di sekelilingku, agar kita bisa memetik pelajaran darinya.
Tumbuh dalam keluarga yang tak utuh memang menyakitkan, seolah sedang menanggung seluruh beban sendirian. Kita dituntut untuk senantiasa tegar.
Memang menyakitkan rasanya jika tidak merasakan arti hadirnya keluarga, merasa kesepian, tertekan, bahkan terkadang terlintas dalam pikiran ‘mengapa aku harus dilahirkan?’
Tapi, tunggu. Pernahkah kita memikirkan lagi pertanyaan itu?
‘Mengapa aku harus dilahirkan?’
Sahabat, Tuhan tak pernah menciptakan hamba-Nya sia-sia begitu saja.
Ketika Tuhan mengizinkan kita untuk merasakan hidup di dunia, itu artinya kita memang diperlukan untuk menyelesaikan suatu tujuan.
Barangkali, saat ini, kita ditakdirkan untuk berada di tengah-tengah keluarga yang seperti demikian, karena Tuhan percaya hanya kitalah yang mampu. Tuhan percaya, hanya kitalah yang kuat untuk melalui hal itu.
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
[QS. Al-Baqarah: 286]
Menangis dan memaki apa pun yang terjadi, tidak mungkin bisa mengubah apa yang sudah Tuhan kehendaki. Belajarlah menerima dan rida terhadap takdir yang telah Allah gariskan. Belajarlah berdamai dengan diri sendiri dan menikmati setiap keadaan dalam hidup ini.
Bukankah manusia itu tumbuh untuk berkembang? Bukankah setiap masalah akan menjadikan lebih dewasa? Bukankah kita termasuk orang yang kuat, jika telah Tuhan percayakan untuk menghadapi ujian hebat?
Lihatlah sisi baiknya ….
Kamu telah menjadi pribadi yang cukup hebat mandiri dalam segala hal, mampu menaklukan berbagai tantangan, yang bahkan, untuk sebagian orang di luar sana, tantangan itu terasa sangat sukar hingga mereka lebih memilih untuk menghindar.
Sayang, kamu tidak benar-benar sendiri. Cobalah beranikan diri untuk keluar dan melihat dunia. Maka, kau akan temukan beberapa kawan yang amat sangat peduli. Setiap orang di dunia ini, sudah memiliki porsi bahagianya masing-masing, tak usah pusing.
Kamu pasti akan menemukan, seorang kawan yang dapat menjadi penopang saat sedang rapuh, yang siap mendengarkan kisah kesah, yang kita rasa, yang senantiasa berusaha menghibur saat kita merasa jatuh tersungkur.
Ya, di luar sana, pasti ada seseorang seperti itu. Tuhan sudah menyiapkannya untuk kita.
Tugas kita adalah, temukan dia!
Jangan hanya terpaku pada permasalahan yang tidak mungkin dapat kau selesaikan. Cobalah berdamai dengan keadaan.
Tak mudah memang menjadi seperti ini. Setiap hari, kamu terus saja melihat kejadian-kejadian yang memekik hati.
Kamu mungkin kecewa pada hal yang disebut “rumah”. Tapi pernahkah terpikirkan, perihal apa yang orang tuamu rasakan? Mengapa mereka memilih bertahan atau justru memilih jalan perpisahan?
Beberapa di antara mereka mungkin memilih bertahan. Meskipun terkadang, dirimulah yang menjadi korban pelampiasan amarahnya. Tidak, bukan karena mereka tidak sayang, tapi karena sudah terlalu lelah menanggung beban, dan tidak tahu harus kemana mengutarakan, entah itu ibumu, atau ayahmu.
Agar tidak terlihat lemah, mereka menutupi duka yang dirasa dengan mengungkapkan amarah. Seketika, emosi mereka meledak-ledak tanpa aba-aba, membesarkan hal-hal remeh, dan menyalahkan kita atas hal tersebut.
Terasa tidak adil bukan?
Padahal bukan dirimu yang salah.
Dan seketika itu pula, kamu menjadi kalut dengan keadaan, memvonis mereka salah, mengutuk dirimu sendiri karena terlahir dan tumbuh dalam keluarga yang tak memiliki cinta.
Tunggu … benarkah tak memiliki cinta? Jika tak memiliki cinta, mengapa orang tuamu menikah? Mengapa mereka mempertahankan hubungan pernikahan, hingga usiamu sedewasa ini? Mengapa beberapa foto di album kenangan menunjukkan, jika mereka tersenyum bahagia dan saling berpelukan?
Kehidupan rumah tangga itu rumit, tidak sesederhana yang ada dalam pikiran kita.
Ada dua pemikiran berbeda, yang dituntut menyelesaikan satu persoalan sama. Pun tidak semua orang memiliki kedewasaan, meski usia telah menunjukkan angka yang cukup matang.
Dalam rumahmu, pernah ada kasih sayang. Tapi mungkin, saat ini, kasih sayang itu layu karena tak ada lagi yang merawatnya.
Mereka yang membangun rumah, telah memasuki usia senja, tak lagi memiliki kekuatan untuk merapikan reruntuhan.
Inilah saatnya, tugas merapikan, beralih dalam genggaman tanganmu!
Dalam rumahmu itu, pernah ada kasih sayang. Tugasmu, tumbuhkan lagi kasih sayang itu. Munculkan lagi kenangan-kenangan yang dapat menguatkan. Dan jika mereka melampiaskan amarahnya padamu, sabarlah …vredam egomu. Mereka lebih lelah.
Tahukah kamu, mengapa mereka lebih memilih melampiaskannya padamu? Karena mereka percaya, hanya dirimu yang bisa menenangkan.
Tahukah kamu, rasa sakit mereka akan semakin bertambah, jika yang kau lakukan saat itu, justru balik membentak mereka. Dan tahukah kamu, seberapa dalam penyesalan mereka, setelah sadar telah melukai anak tersayangnya dengan ucapan dan umpatan, seberapa dalam penyesalan mereka, saat mengetahui ada air yang menetes dari mata anaknya.
Beberapa di antara mereka, ada pula yang memilih jalan perpisahan. Mereka memutuskan semua hubungan, karena tak ingin terus menerus merasakan kesakitan.
Kuberi tau padamu. Bahkan keputusan untuk berpisah pun, itu berlandas cinta. Mereka lebih memilih pergi, daripada harus bersama tapi saling menyakiti.
Selalu ada hikmah dalam setiap masalah. Bahkan untuk setiap hal buruk yang terjadi pun, kelak akan memberikan pelajaran yang amat berarti. Hingga pada suatu waktu, kita bersyukur kepada Tuhan, karena telah memberikan ujian itu.
Jika saat ini kau merasakan kecewa pada hal yang disebut “rumah”, belajarlah dari sana agar kelak anak-cucumu tak merasakan hal yang sama.
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]