يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَة إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ, قَالَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُوْرِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَة مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ الله فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ, فَقَالَ قَائِلٌ يَارَسُولَ الله وَمَا الْوَهَنُ قَالَ: حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَة الْمَوْتِ
“Berbagai bangsa nyaris saling memanggil untuk melawan kalian sebagaimana orang-orang saling memanggil untuk menyantap hidangan mereka.” Salah seorang bertanya, “Apakah karena kami ketika itu sedikit?” Rasul menjawab, “Bahkan kalian pada hari itu banyak. Akan tetapi, kalian laksana buih di lautan. Sungguh Allah mencabut ketakutan dan kegentaran terhadap kalian dari dada musuh-musuh kalian. Allah pun menanamkan di hati kalian al-wahn.” Salah seorang bertanya, “Apakah al-wahn itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan benci kematian.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Penulis: Ustaz Yahya Abdurrahman
NarasiPost.com - Hadis ini juga dikeluarkan at-Thayalisi di dalam Musnad-nya, Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf-nya, Abu Nu’aim di Al-Hilyah, ar-Ruwiyani di dalam Musnad-nya, al-Baihaqi di dalam Syu’ab al-Îmân secara mawqûf dari Tsauban dan di dalam Dalâ’il an-Nubuwwah secara marfû’, Ibnu ‘Asakir di dalam Târîkh Dimasyqa, dan Ibnu Abi ad-Dunya di dalam Al-‘Uqûbât.
Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhim Abadzi Abu ath-Thayib di dalam ‘Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abû Dâwud menjelaskan, “‘an tadâ’â ‘alaykum” bermakna: mereka saling memanggil untuk memerangi kalian, menghancurkan kekuatan kalian dan merampas negeri dan harta yang kalian miliki.
Sabda Rasul Saw., al-akalatu adalah dalam bentuk jamak dari âkil (orang yang makan). Jadi kata itu bermakna: sekelompok orang yang makan bersama. Ilâ qash’atihâ, menurut Mula Ali al-Qari, bermakna: hidangan yang diambil tanpa penghalang dan pesaing sehingga mereka memakan hidangan itu dengan tenang dan satu barisan. Mereka juga mengambil apa yang ada di tangan kalian tanpa menderita kelelahan atau dharar yang mereka derita atau masalah yang menghalangi mereka.
Ia mengatakan di dalam Al-Majma’, hadis di atas bermakna: kelompok kekufuran dan umat-umat yang sesat akan saling memanggil untuk memerangi kalian; sebagian mereka memanggil sebagian yang lain guna berhimpun untuk memerangi kalian, menghancurkan kekuatan kalian dan menguasai negeri yang menjadi milik kalian.
Hal itu seperti sekelompok orang yang saling memanggil satu sama lain untuk sama-sama menyantap hidangan yang mereka peroleh tanpa penghalang sehingga mereka memakan hidangan itu dengan tenang tanpa kesusahan.
Rasul Saw. menjelaskan bahwa petaka itu terjadi bukan karena sedikitnya jumlah kaum muslim. Bahkan jumlah kaum muslim banyak, namun laksana buih di lautan. Banyak, namun tidak berbobot. Lemah dan tidak terjalin dalam ikatan yang kuat sehingga mudah diceraiberaikan.
Hadis ini menjelaskan bahwa faktor jumlah banyak bukanlah kunci keberhasilan selama bercerai-berai dan tidak bersatu. Hadis ini juga mengisyaratkan agar kaum muslim menjauhi hal-hal yang menjadikan kondisi mereka laksana buih di lautan, di antaranya sebab-sebab perpecahan, bercerai-berai.
Sebaliknya, kaum muslim harus mengupayakan dan mengedepankan persatuan dan ikatan yang menyatukan mereka dan membuat mereka kuat. Di tengah-tengah mereka juga harus ada kesiapan kolektif untuk berkorban. Persatuan dan kesiapan kolektif untuk berkorban itu merupakan bagian dari faktor keberhasilan dan kemenangan.
Karena kaum muslim digambarkan laksana buih, maka ketakutan dan kegentaran terhadap kaum muslim pun tanggal dari dada musuh-musuh mereka. Keadaan kaum muslim semacam ini menumbuhkan keberanian musuh-musuh mereka untuk menyerang mereka dan merampas harta benda dan kekayaan bahkan negeri mereka.
Adapun al-wahn, menurut pengarang ‘Awn al-Ma’bûd, bermakna: adh-dha’f (kelemahan). Menurutnya dan juga menurut ath-Thayibi, pertanyaan “mâ al-wahn” maksudnya adalah pertanyaan tentang apa al-wahn itu atau apa yang menyebabkan al-wahn itu.
Jadi yang ditanyakan oleh para sahabat adalah apa yang menyebabkan kaum muslim seperti itu. Kemudian Rasul Saw. menjelaskan bahwa sebabnya adalah cinta dunia dan benci kematian.
Cinta dunia dan benci mati saling terkait. Siapa yang cinta dunia, dia akan enggan untuk berpisah dan melepaskan apa saja yang bersifat duniawi. Karena itu dia akan membenci kematian karena kematian artinya memisahkan dia dari apa yang ia cintai.
Sebaliknya, siapa yang benci kematian, ia ingin bertahan selama mungkin di dunia, tidak ingin kehilangan apa yang dia miliki dan mengejar apa saja yang dia anggap menjauhkan dia dari kematian. Kebanyakan yang dikejar itu adalah harta dan tahta (kedudukan) karena dengan harta dan tahta itu dia menduga akan bisa “membeli” kehidupan.
Cinta dunia dan benci mati itu akan membuat orang menjauhi apa saja yang dia anggap mendekatkan pada kematian atau kesulitan. Dengan keduanya itu, seseorang pun akan enggan berbuat demi Islam, berdakwah, amar makruf dan nahi mungkar, mengoreksi penguasa, bersedekah, berinfak, berjihad, dan berjuang demi kemuliaan Islam.
Musuh-musuh Islam sangat paham akan rahasia kelemahan kaum muslim ini. Karena itu miliaran dolar mereka kerahkan untuk membuat kaum muslim jadi sosok pecinta dunia, pemburu harta dan tahta, pencari kenikmatan jasmani; atau untuk menjauhkan kaum muslim dari Islam dan perjuangan untuk Islam.
Karena itu, ide sekularisme, hedonisme, kapitalisme, materialisme, mengutamakan manfaat, dan sebagainya ditanamkan ke dalam benak dan disemai di hati kaum muslim. Dilakukan pula stigmatisasi dan monsterisasi Islam dan para pejuangnya.
Untuk menyelamatkan umat Islam, maka penyakit cinta dunia dan benci mati itu harus ditanggalkan dan dieliminasi dari diri kaum muslim. Para aktivis Islam, terutama para ulama, punya tanggung jawab besar dalam hal itu. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
Sumber: https://www.muslimahnews.com/2021/03/17/tanpa-pengorbanan-umat-akan-terhinakan/