Prahara Parpol, Bukti Kuatnya Syahwat Kekuasaan dalam Demokrasi

”Membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama; Kesemua hal ini tidak dapat digolongkan tindakan yang bermoral, namun metode-metode ini dapat memberikan kekuatan, namun bukan kemuliaan”.
(Machiavelli)


Oleh : Renita (Pegiat Literasi)

NarasiPost.Com-Panggung demokrasi Indonesia seolah tak pernah sepi dari hingar-bingar politik dan kekuasaan. Meskipun bukan tahun politik, drama perebutan suksesi kekuasaan kerap mewarnai partai politik hingga berujung pada dualisme partai. Ini pula yang terjadi pada Partai Demokrat setelah Kongres Luar Biasa digelar pada Jumat (5/3) di Deli Serdang. Dari hasil KLB tersebut, KSP Moeldoko didaulat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Kongres ini juga menyatakan AHY otomatis demisioner dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat.

Dalam rapat pimpinan bersama ketua DPD di DPP Demokrat, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yodhoyono (AHY) menyebut KSP Moeldoko sebagai aktor eksternal yang menjadi musuh bersama Partai Demokrat. Moeldoko dianggap telah bersekongkol dengan para kader yang sudah dipecat secara tidak hormat dalam tubuh Partai Demokrat. Pihak demokrat pun menganggap KLB ini ilegal, karena tidak sesuai dengan AD/ART partai.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari menilai adanya pelanggaran Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik pada kasus KLB Demokrat di Deli Serdang. Feri merujuk pada Pasal 32 dan 33 UU Partai Politik yang mengatur mekanisme penyelesaian jika terjadi perselisihan di internal partai. Pada pasal 32 disebutkan penyelesaian masalah internal partai dilakukan dengan membentuk mahkamah partai. Pasal 33 menyebutkan adanya mekanisme gugatan ke pengadilan negeri dan kasasi Mahkamah Agung jika tak selesai di mahkamah partai (nasional.tempo.co, 07/03/2021).

Pemerintah melalui Menko Polhukam, Mahfud Md mengungkapkan tidak bisa melarang atau mendorong adanya KLB PD di Deli Serdang. Mahfud beralasan hal itu berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Menurutnya, saat ini pemerintah masih menganggap kejadian KLB Sumut sebagai problem internal Partai Demokrat. Hal ini disebabkan belum adanya laporan atau permintaan legalitas hukum baru dari Partai Demokrat kepada pemerintah (news.detik.com, 07/03/2021).

Prahara partai politik bukanlah hal yang asing dalam sepak terjang demokrasi. Sebelumnya, berbagai konflik internal memang sudah menghantam berbagai parpol besar di negeri ini seperti PDI, PKB, PPP, Golkar, dan Hanura. Argumen yang menyertai pun beragam diantaranya dukungan politik yang berseberangan, sengketa internal dengan ketua umum, dinasti keluarga yang menguatkan kekuasaan dan argumen lain yang berujung adanya dualisme partai.

Prahara yang terjadi pada Partai Demokrat akhir-akhir ini, tentu membuat sebagian kalangan yang pesimis terhadap masa depan politik semakin antipati terhadap praktik kotor yang disuguhkan di dalamnya. Bagaimana tidak, sistem politik demokrasi semakin hari tampak semakin hina dan mengerikan. Keadilan semakin dikebiri sementara kezaliman kian diberi panggung. Anomali demokrasi begitu tajam terendus. Demokrasi seolah sedang menuju gerbong kehancurannya.

Adagium tak ada kawan dan lawan abadi yang ada hanya kepentingan abadi, sangat vulgar dipertontonkan dalam kisruh ini. Di saat ada kepentingan, mereka berangkulan dengan mesra, namun ketika visi berseberangan maka akan ditinggalkan begitu saja bahkan tak segan untuk mengudeta.

Panggung demokrasi begitu dielukan oleh pemburu kekuasaan. Sebab, sistem politik transaksional ini memang melegalkan dusta, tipu muslihat, saling sikut tanpa rasa malu dan kekejaman untuk mencapai ambisi politiknya. Suguhan hingar-bingar kegaduhan Partai Demokrat ini seolah mencerminkan watak Marchiaveliis para politikus yang berada dalam kampiun demokrasi hari ini.

Dalam bukunya II Principle – Sang Pangeran (1513), Machiavelli mengungkapkan bahwa untuk menjadi penguasa setidaknya membutuhkan adanya keberuntungan dan kemampuan diri. Selain itu ada cara lain selain kekuasaan yang berasal dari keberuntungan ataupun kemampuan diri, yaitu melalui kelicikan dan melalui bantuan teman-teman. Pada bagian ini Machiavelli merekomendasikan,
”Membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama; Kesemua hal ini tidak dapat digolongkan tindakan yang bermoral, namun metode-metode ini dapat memberikan kekuatan, namun bukan kemuliaan”.

Inilah realitas yang ada dalam demokrasi, dimana syahwat kekuasaan selalu bergejolak tak pernah surut. Berbagai cara dilakukan untuk meraih tampuk kepemimpinan, tak peduli halal-haram. Setiap ada peluang berkuasa, langsung diembat tak peduli meskipun harus mencabut nurani. Nyatalah demokrasi memang telah memandulkan aturan Ilahi, sehingga melahirkan manusia-manusia jumawa dan lupa diri.

Selain itu, ketika pemilu digelar mendadak para kontestan berlomba-lomba menjadi sosok alim. Tak segan menyambangi ulama untuk meminta restu dan menggelar doa bersama. Bahkan, amat ramah kepada rakyat menghembuskan janji manis kampanye. Namun, saat sudah berkuasa, semua seolah dilupakan. Rakyat dibuai oleh harapan semu hanya untuk mendulang suara ketika pemilu.

Dari sini kita melihat, partai politik dalam demokrasi memang tak mampu menghidupkan fungsi nasihat dan kritik bagi jalannya pemerintahan. Hanya adegan perebutan dan 'bagi-bagi kue' kekuasaan yang terus disajikan menggelinding bak bola salju. Alih-alih menyelesaikan konflik, pemerintah pun justru menjadi pihak yang berkepentingan mengambil untung dari kisruh tersebut. Pertanyaannya sampai kapan ini semua akan berakhir?

Lantas, bagaimanakah Islam memosisikan parpol dalam menghidupkan fungsi nasihat dan kritik bagi jalannya pemerintahan?

Parpol dalam Islam, Menjaga Keberlangsungan Aturan Ilahi

Dalam Islam, adanya parpol merupakan sebuah kewajiban dalam rangka memenuhi seruan Allah Swt. dalam surah Ali Imran [03] :104. Parpol dalam Islam berbeda dengan demokrasi yang menjadikan kepentingan pribadi sebagai asasnya. Asas yang mendasari terbentuknya parpol dalam Islam adalah akidah Islam, begitupun ikatan yang mengikat anggotanya.

Aktivitas utama parpol dalam Islam adalah dakwah, yakni untuk menyerukan Islam, mengajak nonmuslim untuk memeluk Islam, menyerukan dalam perkara yang makruf dan mencegah kemungkaran baik masyarakat maupun negara. Namun dalam kontek pemerinthan, fungsi parpol adalah untuk melakukan muhasabah lil hukam (mengoreksi kebijakan penguasa). Fungsi inilah yang akan menentukan keberlangsungan hukum Islam yang diterapkan di tengah umat.

Khalifah sebagai pemimpin umat Islam adalah manusia yang tidak maksum seperti Rasululullah Saw. Sehingga, mereka berpeluang untuk melakukan kekeliruan dan kesalahan dalam penerapan Islam. Terlebih, ketika kekuasaan berada dalam genggamannya. Maka, ketika ketakwaan dalam dirinya mulai melemah, kontrol masyarakat termasuk parpol ini sangat diperlukan untuk meluruskan kekeliruan khalifah.

Inilah partai politik ideologis yang berdiri kokoh di tengah-tengah umat dan menjadikan Islam sebagai pondasinya. Partai ini pula yang akan memimpin umat dan mengoreksi kebijakan negara jika terdapat kebengkokan, kemudian mengubahnya dengan lisan ataupun tindakan. Bahkan, jika kekufuran terpampang nyata, parpol tak segan untuk mengangkat senjata, atau melakukan people power. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan ketika umat menyerahkan kepemimpinannya dalam aturan Islam yakni Khilafah Islamiyyah.

Wallahu A’lam Bish shawwab.[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Prinsip Standar Manten Anyar
Next
Impor Berjaya di Negeri Kaya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Gita Aulianingtyas
Gita Aulianingtyas
3 years ago

Mantap ukhti Renita..
Analisa menarik ttg Politik ala machiavelli yg mjd basis para politikus demokrasi saat ini.
Semakin nyata borok nya dan umat menyaksikan itu.

Sangat berbeda dari politik Islam. Hanya Islam yg mampu melahirkan para pemimpin yg ikhlas dan beradab.

bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram